al-Kindi dan al-Farabi

Pencetus Terapi Musik
Seni musik yang berkembang begitu pesat di era keemasan Islam, tak hanya sekedar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan al-Farabi (872-950 M) telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi.

Lalu sebenarnya apa yang disebut dengan terapi musik ? Terapi musik merupakan sebuah proses interpersonal yang dilakukan seorang terapis dengan menggunakan musik untuk membantu memulihkan kesehatan pasiennya. Sejak kapan peradaban Islam mengembangkan terapi musik ? Dan benarkah musik bisa menjadi alat terapi untuk menyembuhkan penyakit ?

R Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog Muslim pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M, al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik.

“Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba untuk menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total,” papar Saoud. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan Muslim lainnya yakni al-Farabi (872-950 M). Aipharabius — begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya— menjelaskan tentang terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect.

Amber Haque (2004) dalam tulisannya bertajuk Psychology from Islamic Perspective:
Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists “, mengungkapkan, dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa.

Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani. Prof Nil Sari, sejarawan kedokteran Islam dan Fakultas Kedokteran University Cerrahpasa Istanbul mengungkap perkembangan terapi musik di masa kejayaan Turki Usmani. Menurut Prof Nil Sari, gagasan dan pemikiran yang dicetuskan. ilmuwan Muslim seperti al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani. “Mereka antara lain; Gevrekzade (wafat 1801), Suuri (wafat 1693), Au Ufki (1610-1675), Kantemiroglu (1673- 1723) serta Hasim Bey (abad ke-19 M).

“Para ilmuwan Muslim di era kejayaan Ottoman itu telah melakukan studi mengenai musik sebagai alat untuk pengobatan,” papar Prof Nil Sari. Menurut dia, para ilmuwan dari Turki Usmani itu sangat tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia. Tak heran, jika Abbas Vesim (wafat 1759/60) dan Gevrekzade telah mengusulkan agar musik dimasukan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik. Usulan Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik, aritmatika, geometri dan astronomi kepada para mahasiswanya.


Teori Terapi Musik

Menurut Prof Nil Sari, masyarakat Turki pra-Islam meyakini bahwa kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata “ku” / “kok” (suara). Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dan suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi.

“...Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’. Lalu jadilah ia.” (QS: Albaqarah:117). Setelah Islam bersemi di Turki, masyarakat negeri itu masih tetap meyakini kekuatan suara. Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Usmani meyakini bahwa musik dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan antara badan, pikfran dan emosi, sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang.

Prof Nil Sari mengungkapkan, para ahli terapi musik di zaman Ottoman menyakini bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu atau emosi seseorang dengan tempera- men tertentu dipengaruhi oleh ragam musik tertentu. “Para ahli musik di era Turki
Usmani menyatakan, makam (tipe melodi) tertentu memiliki kegunaan pengobatan tertentu juga,” papar Prof Nil Sari.

Ada sekitar 80 ragam tipe melodi yang berkembang di masyarakat Turki Usmani. Sebanyak 12 diantaranya bisa digunakan sebagai alat terapi. Menurut Prof Nil Sari, dari teks-teks tua dapat disimpulkan bawa jenis musik tertentu dapat mengobati penyakit tertentu atau perasaan tertentu.

Pada era kejayaan Kesultanan Turki Usmani, terapi musik biasanya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti: pengobatan kesehatan mental; perawatan penyakit organik, perbaikan harmoni seseorang yakni menyeimbangkan kesehatan antara badan, pikiran dan emosi. Musik juga diyakini mampu menyebabkan seseorang tertidur, sedih, bahagia dan bisa pula memacu intelijensia.

Prof Nil Sari mengungkapkan, para ilmuwan di era Turki Usmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam proses alam,. Musik dapat berfungsi meningkatka mood dan emosi secara keseluruhan. Uniknya, para ilmuwan di era Ottoman sudah mampu menetapkan jenis musik tertentu . Misalnya jenis musik huseyne dapat mengobati demam. Sedangkan, jenis musik zengule dan irak untuk mengobati meningitis Masyarakat Barat baru mengenal terapi musik pada abad ke-17 M. Adalah Robert Burton lewat karya klasiknya berjudul The Anatomy of Melancholy yang mengembangkan terapi musik di Barat. Menurut Burton, musik dan menari dapat menyembuhkan sakit jiwa, khususnya melankolia.

Malah, masyarakat Amerika Serikat (AS) baru mengenal terapi musik sekitar 1944. Pada saat itu, Michigan State University membuka program sarjana terapi musik. Sejak 1998, di Amerika telah berdiri The American Music Therapy Association (AMTA). Organisasi ini merupakan gabungan dari National Association for Music Therapy (NAMT, berdiri tahun 1950) dan the American Association for Music Therapy (AAM berdiri 1971).

Terapi musik merupakan salah satu kontribusi peradaban Islam dalam dunia kesehatan dan kedokteran. Di era modern ini, musik tetap menjadi salah satu alat untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Terapi musik menjadi salah satu bukti pencapaian para ilmuwan Muslim di era keemasan.


Musisi Muslim Pencetus Terapi Musik

AL-Kindi

Al-Kindi atau al-Ktndus adalah ilmuwan jentus yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad Saat itu panji-panji kejayaan Islam dikerek oleh Dinasti Abbasiyah Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yakni al-Amin (809-813), al Ma’mun (813-833) al-Mu’tasim, al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861).

Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu termasuk kedokteran membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika

Khalifah aI-Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya al-Mu’tasim, posisi al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran al-Kindi pula paham yang mengutamakan rasionalitas tiu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.

Menurut al-Nadhim selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi diternukan. Karya karya yang dihasilkannya menunjukkan bahwa al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan luas dan dalam.

Ratusan karyanya itu dipilah ke berhagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling baryak adalah tentang geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.



Al-Farabi
Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King’s College London, lnggris, menjuluki pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasil dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.

Sosok.dan Pemikiran al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya berpengaruh besar terhadap dunia Barat.

“Ilmu Logika al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa ujar Carra de Vaux. Tak heran bila para intelektual merasa berutang budi kepada al-Farabi atas ilmu. pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental mempengaruhi pikiranl-pikiran Ibnu Sina dan lbnu Rush.

Al-Farabi atau masyarakat Barat rnengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, al-Farabi tidak menulis autobigrafi dirinya.

Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagamana al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu.Sina. Tak heran, bila muncul beragam versi mengenai al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan. lbnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah al-Farabi berasal dari Persia. Mohammed lbnu Mahmud al-Sahruzi juga menyatakan al Farabi berasal dan sebuah keluarga Persia.

Qitb al-Din Shirazi

Ilmuwan asal Persia di abad ke-13 M ini dikenal sebagai seorang penyair, namun kontribusinya bagi pengembangan sains sungguh sangat besar. Saintis bernama Qotb al-Din Shirazi itu telah menyumbangkan pikirannya dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, fisika, teori musik, filsafat dan sufi.

Shirazi terlahir di kota Shiraz pada Oktober 1236 M. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang memegang teguh tradisi sufisme. Sang ayah, Zia ‘al-Din Mas’ud Kazeruni sangat masyhur sebagai seorang ahli fisika dan dokter, sekaligus seorang pemimpin sufi Kazeruni.

Zia ‘al-Din menerima jubah sufi dari Shahab Omar al-Din Suhrawardi. Kemudian jubah tersebut diberikan Shirazi ketika masih berusia 10 tahun. Sajak itulah, Shirazi menggunakan jubah sufi sebagai berkat dari ayahnya. Selanjutnya, ia juga menerima jubah dari tangan Najib al-Din Bozgush Shirazni, seorang sufi terkenal saat itu.
Minatnya untuk mempelajari sains telah tumbuh sejak kecil. Ia menimba ilmu pengobatan/kedokteran dari ayahnya. Saat ia masih kecil, ayahnya telah mempraktikkan dan mengajarkan pengobatan di Rumah Sakit Mozaffari di Shiraz. Menginjak usia 14 tahun, Shirazi sudah dianggap sang ayah menguasai ilmu kedokteran/pengobatan.

Setelah Shirazi menguasai ilmu kedokteran, sang ayah tutup usia. Tugas ayahnya di rumah sakit dibebankan kepadanya. Ia menggantikan ayahnya menjadi seorang dokter atau ahli pengobatan mata di Rumah Sakit Mozaffari di Shiraz.

Untuk memperdalam kemampuannya di bidang kedokteran, Ia berguru pada sejumlah dokter senior seperti Kamal al-Din Abu’l Khayr, Sharaf al-Din Bushkani Zaki dan Shams Al-Din Mohammad Kishi. Ketiganya merupakan dokter yang menguasai buku Canon of Medicine karya seorang ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina.

Setelah satu dasawarsa menunaikan kewajibannya sebagai seorang dokter Shirazi memutuskan untuk berhenti. Ia lalu mulai mencurahkan waktu untuk pendidikan lanjutan di bawah bimbingan seorang astronom terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi. Ia rela meninggalkan kampung halamannya demi berguru pada Nasir al-Din al-Tusi yang membangun observatorium Maragha.

Dia meninggalkan kota Shiraz pada 1260 M dan tiba di Maragha sekitar tahun 1262 M. Shirazi pun memutuskan untuk bekerja di observatorium itu. Di Maragha, Qotb al-din melanjutkan pendidikannya di bawah pimpinan Nasir al-Din al-Tusi, yang juga merupakan gurunya dalam mempelajari Al-Esharat wa’l-Tanbihat yang ditulis Ibnu Sina.
Al-Shirazi kerap berdiskusi dengan gurunya untuk membahas berbagai kesulitan yang dihadapinya dalam belajar. Sebagai seorang ilmuwan, Shirazi pun berhasil menguasai buku Canon of Medicine dan memberi komentar atas karya Ibnu Sina yang dikenal sebagai dokter agung itu.

Ia terinspirasi untuk memberi komentar terhadap hasil karya Ibnu Sina itu, setelah membaca komentar Fakhr al-Din Razi pada Canon of Medicine. Saat bekerja di observatorium, ia juga mempelajari astronomi. Salah satu proyek ilmiah penting yang turut diselesaikannya bersama al-Tusi adalah pembuatan tabel astronomi baru dalam buku astronomi Zij. Pada surat wasiatnya, al-Tusi memberi nasihat kepada putranya Sil-a-Din untuk bekerja dengan Shirazi dalam menyelesaikan Tabel Zij.

Shirazi menetap di Maragha dalam waktu singkat. Kemudian dia hijrah ke Khurasan untuk belajar kepada Najm al-Din Katebi Qazvini, di kota Jovayn. Ia pun menjadi asisten sang guru. Beberapa saat setelah tahun 1268 M, ia berpergian ke Qazvin, Isfahan, Baghdad dan kemudian di Konya Anatolia.

Menurut catatan sejarah, saat itu Shirazi sempat bertemu dengan penyair Persia Jalal Al-Din Muhammad Balkhi (Rumi) yang sangat terkenal. Di Konya, dia mempelajari Jam’e al-Osul dan Ibnu Athir serta Sadr al-Din Qunawi. Gubernur Konya, Mo’in al-Din Parvana, mengangkat al-Shirazi sebagai hakim dari Sivas dan Malatya.

Pengangkatan itu terjadi seiring dengan usahanya menyusun buku Meftah al-meftah, khtiarat al-mozaffariya, dan komentarnya tentang Sakkaki. Pada 1282 M, dia menjadi utusan Ilkhanid Ahmad Takudar ke Sayf al-Din Qalawun, penguasa Mamluk di Mesir. Dalam suratnya kepada Qalawun, penguasa Ilkhanid menyebut Shirazi sebagai seorang ketua hakim.

Di akhir hayatnya, al-Shirazi sangat aktif mengajarkan buku Canon of Medicine dan Shefa yang ditulis Ibnu Sina kepada murid-muridnya di Suriah. Ia lalu hijrah ke Tabriz. Shirazi meninggal sekitar 1311 M. Ia dimakamkan di kota Carandab. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang tak pernah puas untuk belajar.

Hal itu dibuktikannya dengan menggunakan 24 tahun masa hidupnya untuk belajar kepada sejumlah guru. Tak heran, jika dia terkenal sangat luas pengetahuannya. Pada masa itu, dia dikenal sebagai sosok yang pandai dan memiliki rasa humor yang tinggi. Dia juga seorang pemain catur yang andal serta piawai memainkan alat musik bernama Rabab, sebuah instrumen favorit dari penyair Persia, Rumi.

Dia dan gurunya Nasir Al-Din Tusi mengkritisi Almagest-nya Ptolemy. Dia juga meneruskan belajar optik dari Alhazen. Shirazi juga dikenal sebagai ilmuwan yang memberi penjelasan yang benar untuk formasi pelangi, yang dijabarkan oleh para pelajar di Kamal al-Din Al-Farisi. Selain astronomi dia menulis tentang obat serta matematika.


Karya Sang Ilmuwan
Ilmuwan Muslim yang tak pernah henti menuntut ilmu itu memberikahi sejumlah kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan bagi dunia ilmu pengetahuan dalam beberapa bidang lainnya. Ia telah berjasa menyumbangkan pemikirannya bagi pengembangan matematika, geografi, astronomi, psikologi, teologi, agama filsafat maupun bidang pengobatan.


Matematika
Dalam bidang matematika, ia menghasilkan sebuah karya fenomenal bertajuk Tarjoma-ye Tahrir-e Oqlides. Ini merupakan sebuah karya dalam bidang geometri yang ditulis dalam bahasa Persia yang dituangkan dalam 15 bab. Sebagian besar buku itu berisi terjemahan dan karya Nasir Al-Din Tusi. Karya ini selesai dikerjakan pada November 1282 M dan didedikasikan untuk Mo’in al-Din Solayman Parvana. Ia juga menghasilkan karya Risala fi Harkat al-Daraja, sebuah karya dalam bidang matematika.


Geografi dan Astronomi
Sedangkan dalam bidang astronomi, Shirazi menghasilkan Ektiarat e-mozaffari. Ini merupakan risalah mengenai astronomi di Persia yang dituangkannya dalam empat bab dan diekstraksikan dari karyanya yang lain Nehayat af-Edrak. Karya telah didedikasikan untuk Mozaffar-al-Din Bulaq Arsalan.

Fi harakat al-dahraja wa ‘l-nesba bayn almostawi wa’l-monhani merupakan karya lainnya yang berupa sebuah tulisan sebagai lampiran untuk Nehayat al-Edrak. Selain itu dia juga menulis kitab al-Tuhfat al-Shahiya yang diselesaikannya pada 1284 M. Keduanya dipersembahkan untuk model pergerakan planet dan peningkatan pada prinsip Ptolemy,” tutur ES Kennedy dalam karyanya bertajuk Late Medieval Planetary Theory.
Karya lain dalam bidang astronomi adalah Ketab fa’alta wa Ia talom fiil-hay’a, sebuah karya berbahasa Arab dalam bidang astronomi, ditulis untuk Asil-al-Din, anak dari Nasir al-Din Tusi. Karya lainnya dalam bidang astronomi adalah Aarh Tadkera Nasiriya


Fitsafat
Dalam bidang filsafat, Ia mampu menghasilkan sebuah karya bertajuk Dorrat al-taj fi gorrat al-dabbaj. Karya Qutb al-Din Al-Shirazi yang paling terkenal adalah Durrat al-Taj Iighurratt al-Dubaj ditulis dalam bahasa Persia sekitar AD 1306 (705 H). Kitab itu merupakan sebuah ensiklopedia filsafat yang ditulis untuk Rostam Dabbaj, penguasa tanah Gilan di Iran.

Kitab itu juga membahas pandangan filosofis tentang Imu alam, teologi, logika, urusan publik, etnis, mistik, astronomi, matematika, aritmatika dan musik. Ia juga menghasilkan Sarh Hekmat al-esraq Sayk Sehab-al-Din Sohravardi, sebuah karya filsafat dan mistik Shahab al-Din Suhrawardi dan filsafat illuminasinya dalam bahasa Arab.


Pengobatan
Pada bidang pengobatan, Ia menghasilkan kitab Al-Tohfa al-sa’diyajufa, sebuah komentar lengkap terhadap Canon of Avicenna yang ditulis dalam bahasa Arab. Adapula Resala fiil-Baras, sebuah risalah pengobatan dalam penyakit kusta atau lepra dalam bahasa Arab. Selain itu, ia juga menghasilkan Resala fi bayan al-hajat elail-tebb wa adab al-atebba wa wasaya -hom.


Bidang Lainnya
Dalam bidang agama, sufi, teologi, retorika, dan lainnya, Shirazi menghasilkan karya Al-Entesaf, serta Fath al-Mannan fi tafsir alQor’an, sebuah komentar tafsir Alquran yang ditulis dalam empat puluh jilid berbahasa Arab. Tak hanya itu, dalam bidang teologi dia juga membuat karya bertajuk Hasia bar Hekmat al-’ayn, sebuah komentar dan Hekmat al-layn yang ditulis Najm-al-Din ‘Ali Dabiran Katebi.

Ia juga menulis Moskelat al-e’rab, Moskelat al-tafasir serta atau Moskelat al-Qor’an. Ilmuwan yang satu ini juga menulis Meftah al-Meftaha, sebuah komentar pada bagian ketiga Meftah’ al-’olum, sebuah buku tentang tata bahasa Arab dan retorika yang ditulis Abu Ya’qub Seraj-al-Din Yusof Skkaki Khawarizmi.

Ibnu Abi Usaibi'ah

Ia menghimpunkan karya-karya tidak kurang 380 biografi ahli ilmu kedokteran yang tidak terkira nilainya kepada sejarah sains Arab.

Ibnu Abi Usaibi’ah adalah seorang ahli kedokteran Muslim Arab dan ahli bibliografi serta merupakan Seorang ahli sejarah kedokteran pertama yang menulis sejarah kedoktoran Arab.

Nama lengkapnya Muwaffakuddin Abu al-Abbas Ahmad bin al-Kassim bin Khalifah bin Yunus al-Khazraj. Beliau berasal dan sebuah keluarga dokter. Ayahnya sendiri adalah dokter mata dan lahir di Damaskus setelah tahun 590H/1994M.

Ibnu Abi Usaibi’ah gemar menuntut ilmu dari kecil. Pada mulanya ia berguru pada Ibnu al-Baythar, yang memberinya pelajaran botani. Di rumah, ia belajar ilmu kedokteran dari sang ayah (meninggal pada 649H/1251M) dan ar-Rahbi (meninggal 631H/1233M). Ilmu yang ia peroleh kemudian dipraktikkan di Rumah Sakit Nun Damaskus dan Rumah Sakit Nasiri di Mesir.

Kemudian pada 634H/1236M dia bekerja pada pemerintahan Izzuddin Ayhak al-Mu’azzami di Sarkhad. Versi lain menyebutkan bahwa pada tahun 1236, Ia diutus oleh dokter Saladin ke Mesir dan dilantik memimpin sebuah rumah sakit (Nasiri). Setahun kemudian ia menarik diri dari jabatan tersebut dan memenuhi panggilan tugas dari Kesultanan Damaskus di Salkhad. Di sanalah ia meninggal dunia pada 668H/1270M.

Karya-karyanya yang terkenal antara lain Isal -at al-Munajjimin, At-Tajaril-wa al-Fawii’id, Hikayat al-Atibua’ Fi ilajat al-Adwa, dan Ma’alim at- Umam.
Selain karya-karya tersebut di atas, dia juga banyak menulis syair-syair. Namun, karyanya yang paling masyhur ialah Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba (Sejarah Hidup para Dokter). Ia menghimpunkan karya-karya tidak kurang 380 biografi ahli ilmu kedokteran yang tidak terkira nilainya kepada sejarah sains Arab.

Karangannya ini sekaligus menunjukkan betapa Ibnu Abi Usaibi’ah rajin menyalin secara harfiah dan merinkaskannya. Kemudian diperjelaskan dan diperkuat dengan bahan-bahan tambahan yang ada.

Biografi itu disusun per negara dan per generasi serta dengan susunan berukuran kecil (berbentuk naskah kecil dan disempurnakan pada 540H/1242 M. Ia juga menambahkan dengan bahan-bahan baru yang diambil daripada karya Ibnu al-Qifti, Tarikh al-Hukama. Semua ini dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah jilid besar pada 667H/12 68M.

Kitab Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba disusun dengan gaya sastra tingkat tinggi. Gaya popular kitab itu dikaji oleh A Muller seorang penulis yang juga menyiapkan teks edisi yang didasarkan pada kedua bentuk susunan tersebut di atas. Kitab itu kemudian dicetak di Mesir pada 1299H/1882M.

Di samping itu, Najamuddin bin Fahd pula pernah menyusun buku mini secara alfabet. Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba merupakan karya yang diterbitkan kemudian dalam beberapa edisi komersial dan dicetak ulang Dar al-Fikr Beirut pada 1955-1956M.
Beberapa orientalis beranggapan buku ini diakui sebagai buku teks yang penting sejak pertengahan abad ke-19. Sebuah terjemahan Perancis buku ini diterbitkan oleh Sanguinetti (1854-1856 M), sedangkan terjemahan bahasa Jerman diusahakan oleh Hamed Waly.

Pada 1958, M do Algiers, H Jahier dan Abdel Kader Noureddin bersama-sama mengedit, menterjemahkan dan memberinya tambahan bab anotasi tentang para ahli kedokteran Barat Muslim.


Dokumentasikan 400 Dokter

Kitab ‘Uyun al Anba’ fi Tabaqat al- Atibba’ pantas untuk disanjung sebagai buku hebat di zamannya dan beberapa abad setelahnya. lbnu Abi Usaibi’ah melakukan riset mendalam sebelum akhirnya menerbitkan kitab ini. Betapa tidak? Dalam kitab itu, mendokumentasikan kehidupan 400 dokter terkenal masa itu.

Ke-400 dokter itu berasal dari lintas bidang spesifikasi dan agama, Buku iyu menjadi best seller di zamannya dan menjadi rujukan para dokter dan calon dokter di abad pertengahan. Kitabnya sama larisnya dengan kitab-kitab kedokteran yang ditulis para sarjana kedokteran Muslim saat itu.

Hanya sayangnya, dalam manuskrip yang diterjemahkan Muller ke dalam bahasa Jerman, deskripsi mengenai lbnu Natis dihapuskan. Sekalangan pakar sejarah menyebut, saat itu ada indikasi kecemburuan profesi antara Nafis-Ibnu Abi Usaibi’ah.

Namun, anggapan itu ditepis setelah di Perpustakaan Zahiriya di Damaskus, ditemukan kitab asli Usaibi’ah yang di dalamnya menguraikan secara lengkap tentang kepakaran lbnu Nafis. Bahkan di akhir catatannya, Usyaibi’ah menuliskan catatannya bahwa Nafis adalah dokter terkenah di masanya.

Nasiruddin al-Tusi

Saintis Agung Abad 13
Sejarawan sains kerap menyejajarkan kemasyhuran Nasirudin al-Tusi dengan Thomas Aquinas. Betapa tidak, al-Tusi memang seorang saintis Agung yang terlahir di dunia Islam pada abad ke-13 M. Kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern begitu luar biasa. Hidupnya didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Islam. Al-Tusi pun dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.

Ilmuwan asal Persia ini bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibnu al-Hasan Nasiruddin al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, Persia — sekarang sebelah timurlaut Iran.
Ia begitu masyhur. Tak pelak, jika al-Tusi memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi dan Khuwaja Nasir. Ia terlahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat terus menginvansi wilayah kekuasaan Islam. Satu demi satu, kota-kota Islam dihancurkan dan jatuh ke tangan bangsa Mongol.

“Pada masa itu dunia diliputi kecemasan,” papar JJ O’Connor dan EF Robertson. Hal itu membuat rasa aman dan ketenangan para ilmuwan terusik, sehingga sulit untuk mengembangkan pengetahuannya. Dihadapkan pada situasi sulit seperti itu, al-Tusi pun tak dapat mengelak. Al-Tusi tetap belajar dengan segala keterbatasan yang dihadapi. Ayahnya adalah guru pertama baginya. Sejak belia, al-Tusi- digembleng ilmu agama oleh sang ayah yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Keduabelas. Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, al-Tusi juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari pamannya.

Menurut O’Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dan pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual al-Tusi. Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain: logika, fisika, metafisika. Ia begitu tertarik pada al-jabar dan geometri.

Ketika menginjak usia 13 tahun, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan yang brutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah memapelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan.

Untuk menimba ilmu lebih banyak lagi, al-Tusi hijrah dari kota kelahirannya ke Nishapur — sebuah kota yang berjarak 75 km di sebelah barat Tus. Di kota itulah, sang saintis agung menyelesaikan pendidikan filsafat, kedokteran dan matematika. Dia sungguh beruntung, karena bisa belajar matematika dari Kamaluddin ibn Yunus. Kariernya mulai melejit di Nishapur. Pamornya kian mengkilap, sehingga ia mulai dikenal sebagai seorang sanjana yang hebat.

Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Tus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Ismailiyah Nasiruddin Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk bergabung. Tawaran itu tak disia-siakannya. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, Ia mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232.

Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan — cucu Jengis Khan — pada tahun 1251 akhirnya menguasai istana Alamut dan meluluhlantakannya. Nyawa al-Tusi selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam memperlakukannya dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan.

Meski telah menjadi penasihat pasukan Mongol, sayangnya al-Tusi tak mampu menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yang membumihanguskan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258. Terlebih, saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta’sim yang lemah. Terbukti, militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.

Meski tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan dirinya dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Hulagu sangat bangga karena berhasil menaklukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuwan terkemuka seperti Al-Tusi bisa bergabung bersamanya,” papar O’Connor dan Robertson dalam tulisannya tentang sejarah al-Tusi.

Hulagu juga amat senang, ketika Nasiruddin mengungkapan rencananya untuk membangun Observatorium di Malagha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan Malagha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259, al-Tusi pun mulai membangun observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada hingga sekarang.

Observatorium Malagha mulai beroperasi pada tahun 1262. Pembangunan dan perasional
observatorium melibatkan sarjana dari Persia dibantu astronom dari Cina. Tekonologi yang digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nasiruddin, salah satunya adalah kuadran azimuth.


Pencapaian Sang Ilmuwan
Selama mendedikasikan hidupnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, al-Tusi telah menulis beragam kitab yang mengupas bermacam Ilmu pengetahuan. Di antara kitab yang berhasil ditulisnya itu antara lain: kitab Tajrid-al‘Aqaid, sebuah kajian tentang limu Kalam; serta Al-Tadhkirah fi’ilm al-hay’ah, sebuah memori tentang ilmu astronomi.

Kitab tentang astronomi yang ditulis al-Tusi itu banyak mendapat komentar dari para pakar astronomi. Komentar-komentar itu dibukukan dalam sebuah buku berjudul Sharh al-Tadhkirah (Sebuah Komentar atas Al-Tadhkirah) yang ditulis Abd al-Ali ibn Muhammad ibn al-Husayn al-Birjandi dan Nazzam Nishapuri.

Selain itu, al-Tusi juga menulis kitab berjudul Akhlaq-i-Nasri yang mengupas tentang etika. Kitab lainnya yang terbilang populer adalah Al-Risalah Al-Asturlabiyah (Risalah Astrolabe). Kitab ini mengupas tentang peralatan yang digunakan dalam astronomi. Di bidang astronomi, al-Tusi juga menulis risalah yang amat popuIer, yakni Zij-i ilkhani (Ilkhanic Tables). Ia juga menulis Sharh Al-Isharat, sebuah kritik terhadap hasil kerja lbnu Sina.

Selama tinggal di Nishapur, al-Tusi memiliki reputasi yang cemerlang, sebagai ilmuwan yang beda dan yang lain. Pencapaian mengagumkan yang berhasil ditorehkan al-Tusi dalam bidang matematika adalah pembuatan rumus sinus untuk segitiga, yakni;

a / sin A = b / sin B = c / sin C.



Kontribusi Sang Ilmuwan

Astronomi
Ia menulis beragam kitab yang mengupas tentang Astronomi. al-Tusi juga membangun observatorium yang mampu menghasilkan tabel pergerakan planet secara akurat. Model sistem plenaterium yang dibuatnya diyakini paling maju pada zamannya. Dia juga berhasil menemukan sebuah teknik geometrik yang dikenal dongan al-Tusi-couple. Sejarah juga mencatat, al-Tusi sebagai astronom pertama yang mengungkapkan bukti observasi empiris tentang rotasi bumi.

Biologi
Ia juga turut memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu hayat atau biologi. Ia menulis secara luas tentang biologi. Al-Tusi menempatkan dirinya sebagai perintis awal dalam evolusi biologi. Dia memulai teorinya tentang evolusi dengan alam semesta yang terdiri dari elemen-elemen yang sama dan mirip. Menurutnya, kontradiksi internal mulai tampak dan sebagai sebuah hasil, beberapa zat mulai berkembang lebih cepat dan berbeda dengan zat lain. Dia lalu menjelaskan bagaimana elemen-elemen berkembang menjadi mineral kemudan tanaman, kemudian hewan dan kemudian manusia. Dia juga menjelaskan bagaimana variabilitas heriditas merupakan faktor penting dalam evolusi biologi mahluk hidup.


Kimia
Al-Tusi mengungkapkan versi awal tentang hukum kekekalan massa. nilah salah satu kontribusinya yang paling penting dalam ilmu kimia. “Zat dalam tubuh tak bisa sepenuhnya menghilang. Zat itu hanya mengubah bentuk, kondisi, komposisi, warna dan bentuk lainnya yang berbeda.”


Matemtika
Selain menghasilkan rumus sinus pada segitiga, al-Tusi juga seorang matematikus pertarna yang memisahkan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang terpisah dari matematika.

Najamuddin at-Tusi

Pencetus Dalil-Dalil Umum

Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin At-Tufi mungkin masih terasa asing di telinga. Namanya memang tidak setenar Yusuf AlQaradhawi, Ibnu Taimiyah, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhari, atau Imam Muslim.
Namun, di kalangan tokoh Muslim dan peminat ilmu hukum Islam, ketokohan ulama asal Bagdhad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyah, sang guru At-Tufi.

Al-Tufi dikenal sebagai salah seorang ulama Mazhab Hambali, yang kritis dan tajam dalam menetapkan hukum-hukum Islam, terutama berkaitan dengan kemashalahatan umat.
Contohnya, dalam kasus potong tangan bagi yang mencuri. Dalam kasus tertentu, hukum potong tangan bagi pencuri ini, menurut At-Tufi, tidak perlu dilakukan manakala orang yang mencuri ini terpaksa melakukan perbuatan tersebut demi keselamatan jiwanya.

Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab RA saat ia menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada saat kepemimpinannya, sang pencuri tidak dipotong tangannya. Mengingat, sang pencuri terpaksa melakukan pencurian di rumah majikannya karena sudah beberapa bulan gajinya tidak dibayar.

Padahal, Ia sangat membutuhkan uang gaji tersebut untuk makan anak dan istrinya yang sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Khalifah Umar RA, sang pencuri ini malah diberikan sejumlah uang dan sang majikan ditiberikan hukuman dengan membayar gaji pada pencuri tersebut. Kejadian kasus ini, At-Tufi melihat bahwa dalil-dalil Alquran yang qathi (sudah jelas hukumnya) masih bisa berubah apabila ada persoalan lain yang manfaatnya lebih besar.

Menurutnya, langkah Khalifah Umar RA yang tidak melaksanakan potong tangan kepada si pencuri bukan berarti tidak melaksanakan hukum Allah, melainkan menyelamatkan jiwa si pencuri. Ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah (maksud hukum Islam), yakni menyelamatkan jiwa (Hifzh aI-Nafs), memelihara agama (Hifzh al-Din), menyelamatkan harta (Hifzh al-Maal) , memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl), dan memelihara akal (Hifzh al-Aql).

Begitu pula mengenai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin, (Lan Yufliha al-Qaumu wa law amruhum Imra’atan), tidak akan bahagia suatu kaum, apabila menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Menurut AtTufi, hadis mi bukan ermakna umum, melainkan khusus. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masrarakat Arab jahiliyah yang melararg perempuan untuk keluar rumah. Karena larangan tersebut, mereka jarang sekali terlibat dalam persoalan-persoalan kemayarakatan. Oleh karena itu, kata At-Tufi, akan sangat berbahaya menyerahkan kepemimpinan negara atau masyarakat kepada kaum perempuan yang mereka sendiri tidak mengetahui perkembann masyarakat.

Sebaliknya, tambah A-Tufi, di zaman sekarang ini sudah banyak kaum perempuan yang bersekolah dan memiliki kemampuan serta keahlian, baik ekonomi, politik, maupun pendidikan. Karena itu, At-Tufi membolehkan kaum perempuan untuk memimpin sebuah negara.
Selain masalah ini, masih banyak lagi pandangan At-Tufi yang kritis dalam memahami hukum Islam. Ia tak segan-segan mengkritik ulama-ulama yang menetapkan hukum berdasarkn sumber yang ada, tanpa menelaah tujuan besar dari hukum Islam (Maqasid al-Syariah).

Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa’id at-Tufi as-Sarsari al-Baghdad ial-Hambali. Ia lebih terkenal dengan panggilan At-Tufi, nama sebuah desa di daerah Sarsar Irak. Di desa inilah, Najamuddin At-Tufi dilahirkan pada 657 H (1259 M) dan meninggal dunia pada 716 H (1318 M). Selain At-Tufi, ia juga populer dengan panggajian Ibn Abu Abbas.

Berdasarkan keterangan ini, Najamuddin lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke Kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada 1258 M.
At-Tufi adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa alim ulama yang masyhur di zamannya. Berbagai disiplin ilmu dipelajari At-Tufi, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, mantiq, sastra, teologi dan sebagainya. Adapun tempat-tempat yang pernah dikunjunginya untuk menuntut ilmu pengetahuan adalah Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat lainnya yang banyak bermukim para alim ulama yang masyhur.

Pada usia muda, At-Tufi belajar di desa kelahirannya dengan mempelajari dan menghafal kitab fikih Mukhtasar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-Husein bin Abdullah bin Ahmad al-Khiraqi dan mempelajari ilmu nahwu Kitab al-Luma’ karya Abu al-Fathi Usman bin Jani. Kemudian, At-Tufi belajar fikih kepada Syeikh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sirsari salah seorang ahli fikih Mazhab Hambali yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Bauqi.

Pada 691 H, At-Tufi pergi ke Kota Baghdad dan belajar kitab Fiqh al-Muharrir karya Muhiduddin Ibn Abd al-Salam bin Taimiyah pada Syeikh Taqiyuddin Az-Zarairati—salah seorang ahli fikih Irak. Di samping itu, At-Tufi juga belajar bahasa Arab dan ilmu sharaf pada Abu Abdullah Muhammad Ibn al-Husein al-Muwassili. Kemudian, ia juga belajar ushul fikih pada An-Nasr al-Faruqi dan alim ulama lainnya. Sesudah itu, At-Tufi mempelajari ilmu faraid dan logika. Pada saat yang sama, ia belajar hadis pada ar-Rasyid bin al-Qaimi, Ismail bin At-Tabbal, Hafiz Abd al-Rahman Sulaiman al-Hirani, dan ahli hadis Abu Bakar al-Qulanisi serta ulama lainnya.

Tahun 704 H, At-Tufi mengunjungi Kota Damsyiq untuk belajar hadis pada Ibn Hamzah, Taqiyuddin Ibn Taimyah, al-Maz, dan al-Barzali. Setahun kemudian (705 H), At-Tufi berkunjung ke Kota Kairo dan belajar pada al-Hafiz Abd al-Mukmin bin Khallaf , Qadi Sa’duddin al-Harisi, penulis Mukhtasar, kitab Sibawaihi.

Menurut Mustafa Zaid, dalam kitabnya Al-Maslahah, At-Tufi dikenal sebagai seorang
yang sangat cerdas dan mempunyai ingatan kuat. Ingatan kuat dan kecerdasan adalah faktor penting dalam belajar. Karena, ingatan merupakan gudang penyimpanan data dan informasi yang penting. Sedangkan, kecerdasan sangat berguna untuk pengembangan keilmuan.

Muhammad Mustafa Syalabi, dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam, menyebutkan, selain cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat, At-Tufi juga dikenal dengan cara berpikirnya yang rasional dan ia penganut berpikir bebas. Dalam berpikir bebas ini, At-Tufi disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Karenaitu, Syalabi menyebut ketiga ulama tersebut (At-Tufi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim—Red) sebagai trio penganut berpikir bebas dan Mazhab Hambali. Diduga, cara At-Tufi dalam berpikir bebas itu karena pengaruh dari gurunya, Ibnu Taimiyah.

Dari petualangan At-Tufi menuntut berbagai disiplin ilmu di atas, terlihat bahwa At-Tufi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Syalabi menyebut At-Tufi sebagai seorang ulama yang luas ilmunya.

Pada tahun 714 H, At-Tufi menunaikan ibadah haji. Tahun berikutnya (715 H), ia pun berhaji lagi. Kemudian, ia kembali ke Syam dan bertempat tinggal di Palestina hingga meninggal pada tahun 716 H.

Karya-Karya At-Tufi
Najamuddin At-Tufi dikenal sebagai seorang ulama yang luas pengetahuannya. Tak heran, ia menguasai berbagai bidang ilmu, seperti ilmu fikih, tafsir, hadis, nahwu, dan sebagainya.
Ia juga banyak menulis buku dan kitab sesuai dengan disiplin ilmunya. Mulai dari Alquran dan hadis, ilmu ushuluddin (teologi), fikih, ushul fikih, bahasa, serta sastra. Karya-karyanya sebagai berikut :

1. Bidang Ilmu Alquran dan Hadis

a. Al-Iksir fi Qawa’id at-Tafsir
b. AlIsyarat al-Ilahiyat al-Mahabis Al-Ushuliyah
c. Idah al-Bayan an Ma’na Umm Alquran
d. Mukhtasar al-Ma’alim
e. Tafsir Surat Qaf dan an-Naba’
f. Jadl Alquran
g. Bagiat al-wasil ila Ma’rifat al-Fawasil
h. Daf’u at-Ta’arud ‘amma Yuham at-Tanaqud fi al-Kitab wa al-Sunnah
i. Suarh al-Arba’in Nawawiyah
j. Mukhtasar at-Turmudzi.


2. Bidang Ushuluddin (Teologi)

a. Bagiat as-As’il Ummahat al-Masa’il
b. Qudwat Al-Muhtadin ila Maqasid ad-Din
c. Halal al-‘Aqdi fi Ahkam al-Mu’taqid
d. Al-Intisarat al-Islamiyat fi Daf’I Syubhat an-Nasraniyah
e. Dar’u al Qaul al-Qabih fi at-Tahsin wa at-Taqbih
f. Al-Bahir fi Ahkam al-Batin wa Al-Zhahir
g. Radd ‘ala al-Itthadiyah
h. Ta’aliq ‘ala al-Anajil wa Tanaqudiha
i. Qasidat fi Al-Aqidah wa Syarhuha
j. Al-Azab al-Wasib ‘ala Arwah an-Nawasib.


3. Bidang Ilmu Ushul Fikih

a. Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah
b. Syarh Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah (tiga jilid)
c. Mukhtasar al-Hasil
d. Mukhtasar al-Mahsul
e. Mi’raj al-Wusul ila Ilm al-Ushul
f. Az-Zari’ah ila ma’rifah asrar Asy-Syariat.


4. Bidang Ilmu Fikih

a. Ar-Ryad an-Nawazir fi al-Asybah wa an-Naza’ir
b. Al-Qawa’id al-Kubra
c. Al-Qawa’id al-shugra
d. Syarh Nisf Mukhtasar al-Khiraqi
e. Muqaddimah fu Ilm Al-Fara’id
f. Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (dalam fikih Asy-Syar’i)


5. Bidang Bahasa, Sastra, dan lainnya

a. Daf’u al-Mulam al-Ahl al-Mantiq wa al-Kalam
b. Al-Risalah al-Uluwiyat fi al-Qawa’id al-Arabiyah
c. Gaflat al-Mujtaz fi Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz
d. Tuhfat Ahl al-Adab fi Ma’rifat Lisan al-Arab
e. Al-Rahiq al-Salsal fi al-Adab al-Musalsal
f. Mawaid al-Haisi fi Syi’ri Imri’ al-Qais
g. Asy-Syi’ar al-Mukhtar ‘ala Mukhtar al-Asy’ar
h. Syarh maqamat al-Hariri (tiga jilid)
i. Izalat al-Ankad fi Masalat Kad
j. As-Sa’qat al-Gadabiyat fi al-Radd ‘ala Minkar al-Arabiyah

Dari sejumlah karya At-Tufi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut, enam kitab di antaranya dijadikan referensi oleh oleh Mustafa Zaid dalam bukunya Al-Maslahat fi at-Tasyri’I al-Islami wa Najamuddin at-Tufi, keenam karya tersebut adalah Al-Iksir fi Qawaid at-Tafsir (bidang tafsir), Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah dan syarah-nya (dalam bidang ushul fikih), As-Sa’qaf al-Gadabiyah fi ar-Radd ‘ala Munkari al-Arabiyah (dalam bidang sastra), Mukhtasar at-Turmudzi 9dalam bidang hadis), Syarh al-Arba’in Nawawiyah (dalam bidang hadis), dam al-Isyarat al-Ilahiyah ila al-Mahabis al-Ushu;iyah (dalam bidang Alquran).

Al-Baitar

Penemu HINDIBA Obt Kanker

Kanker merupakan penyakit mematikan yang ditakuti umat manusia. Badan kesehatan dunia, WHO memperkirakam pada 2020, kanker akan menjadi penyakit penyebab kematian nomor wahid di dunia mengalahkan serangan jantung. Menurut prediksi WHO, pada 2030, akan ada 75 juta orang yang terkena kanker di seluruh dunia. Sejatinya, kanker bukanlah penyakit baru. Di era kejayaan peradaban Islam, para dokter Muslim telah mampu men- diagnosis dan mengobati penyakit kanker. Tak hanya itu, dbkter Muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Baitar pun telah menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit yang mematikan itu.

Adalah al-Baitar, seorang ilmuwan Muslim abad ke-12 M yang berhasil menemukan ramuan herbal untuk mengobati kanker bernama Hindiba, Ramuan Hindiba yang ditemukan a1 Baitar itu mengandung zat antikanker yang juga bisa menyembuhkan tumor dan ganguan-gangguan neoplastic.

Kepala Departemen Sejarah dan Etika, Universitas Istanbul, Turki, Prof Nil Sari dalam karyanya Hindiba: A Drug for Cancer Treatment in Muslim Heritage, telah membuktikan khasiat dan kebenaran ramuan herbal Hindiba yang ditemukan al-Baitar itu. Ia dan sejumlah dokter lainnya telah melakukan pengujian secara ilmiah dan bahkan telah mempatenkan Hindiba yang ditemukan al-Baitar.

Menurut Prof Nil Sari, Hindiba telah dikenal para ahli pengobatan (pharmacologis) Muslim, serta herbalis di dunia Islam. “Umat Muslim telah menggunakan ramuan untuk menyembuhkan kanker jauh sebelum dokter di dunia Barat menemukannya,” ungkap Prof Nil Sari. Setelah melakukan pengujian secara ilmiah, Prof Nil Sari menyimpulkan bahwa, Hindiba memiliki kekuatan untuk mengobati berbagai penyakit.

Hindiba dapat membersihkan hambatan yang terdapat pada saluran-saluran kecil di dalam tubuh, khususnya dalam sistem pencernaan. “Tapi domain yang paling spektakuler adalah kekuatannya yang dapat menyembuhkan tumor,” ungkapnya. Untuk melacak khasiat dan ramuan Hindiba, Prof Nil Sari pun melakukan penelitian terhadap literatur pengobatan masa lalu. Ia melacak dua masterpiece ilmuwan Muslim, yakni Ibnu Sina lewat Canon of Medicine serta ensikiopedia tanaman yang ditulis al-Baitar. “Ketika kami melihat teks lama secara lebih dekat, kami melihat adanya kebenaran yang sedikit sekali kami ketahui tentang ramuan tanaman (herbal) cli masa lalu,” ungkapnya.

Dalam teks ‘ peninggalan kejayaan Islam itu dijelaskan bh Hindibà herbal lainnya dibagi menjadi dua kelompok utama, yakni herbal yang diolah dan herbal yang tak diolah. Menurut teks pengobatan kuno, keampuhan pengobatan kanker dengan menggunakan Hindiba didasarkan atas pertimbangan teoritis pengobatan, yakni efek obat-obatan medis beroperasi sesuai dengan sifat dan konstituen. Menurut Prof Nil, konstituen yang dihasilkan dan dekomposisi akan memiliki efek yang disebut energi.

Potensi kualitas panas dan dingin dalam sifat obat akan keluar sebagai hasil dekomposisi dalarn tubuh, Komponen aktif komponen alami yang panas akan segera bereaksi. Akan tersebar melalui janingan secara efektif. Konstituen panas bereaksi sebelum konstituen dingin dan membersihkan hambatan dalam saluransaluran kecil pada bagian tubuh dan memperlancar penyebaran konstituen dingin. Kemuclian, unsur dingin itu datang dan mulai berfungsi menjalankan fungsinya. Dalam risalah kedokteran berbahasa Arab, peninggalan era keemasan Islam, disebutkan bahwa semua jenis pembengkakan seperti kutil atau benj olan telah menyebabkan gangguan pada saluran.

Sedangkan kanker digambarkan sebagai massa yang keras.Diidentifikasi sebagai pembengkakan yang keras, kanker berkembang dan kecfl kemudian menjadi besar ditambah dengan rasa sakit, Mengutip catatan Ibnu Sina dalam Canon of Medicine, Prof Nil Sari mengungkapkan, tumor atau kanker, bila dibiarkan akan semakin bertambah ukurannya. Sehingga kanker itu akan menyebar dan merusak.

Akarnya dapat menyusup di antara elemen jaringan tubuh. Prof Nil Sari menemukan gambaran serupa tentang kanker dalam manuskrip pengobatan di era Usmani. Menurut Ibnu Sina, tumor digolongkan menjadi dua, yakni tumor panas dan dingin. Thmor yang berwarna dan terasa nangat saat aisentun masanya ctiseout tumor panas, sementara tumor yang tidak berwarna dan terasa hangat disebut tumor dingin. Ibnu Sina menyebut kanker sebagai bentuk tumor yang berada di antara tumor dingin.

Khasiat Hindiba diteliti Prof Prof Nil Sari dengan menyajikan data yang mendalam mengenai latar belakang teori percobaan invivo dan invitro dengan sari herbal dan Turki. Ia memulai dart filsafat Turki Usmani, yang berakar dan pengobatan Islam. Dalam karyanya mi, disebutkan bahwa obat Ciehorium intybus L dan Crocus sativus L diidentifikasi sebagai alternatif tanaman yang identik satu sama lain yang merupakan komponen aktif untuk pengobatan kanker.

Prof Nil Sari dan rekannya Dr Hanzade Dogan mencampurkan C intybus L dan kunyit (saffron) dan Safranbolu, seperti yang dijelaskan teks pengobatan lama. “Yang lebih menarik adalah hash penelitian laboratorium kami yang mnunjukkan bahwa dan ekstrak C intybus L yang ditemukan menjadi paling aktif pa.da kanker usus besan,” ujar Prof Nil Sari. Menurut dia, Hindiba terbukti sangat efektif mengobati kanker. Sayangnya, kata dia, pada zaman dahulu, Hindiba lebihbanyak disarankan sebagai obat untuk perawatan tumor. Hal itu terungkap dalam kitab Ibnu al-Baitar. Menurut al-Baitar jika ramuan Hindiba dipanaskan, dan busanya diambil dan disaring kemudian diminum akan bermanfaat untuk menyembuhkan tumor.

Pakar pengobatan di era Kesultanan Turki Usmani, Mehmed Mumin, mengungkapkan bahwa Hindiba bisa mengobati tumor dalam organ internal. Namun, lebih sering dianjurkan untuk perawatan tumor pada tenggorokan. “Jika kayu manis dicampurkan pada jus Hindiba (khusus yang diolah dengan baik) dapat digunakan untuk obat kumurkumur serta bermanfaat pula untuk perawatan tumor; sakit dan radang tenggorokan.”

Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi, itulah nama lerigkap ilmuwan Muslim Legendaris yang biasa dipanggil al-Baitar. Ia adalah seorang ahli botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatari) pada era kejayaan Islam. Terlahir pada akhir abad ke-12 M di kota Malaga (Spanyol) lbnu Al-Baitar menghabiskan masa kecilnya di tanah Andalusia tersebut.

Minatnya pada tumbuh-turnbuhan sudah tertanah semenjak kecil. Beranjak dewasa dia pun belajar banyak mengenai ilmu botani kepada Abu l-Abbas al-Nabati yang pada masa itu merupakan ahli botani terkemuka. Dari siniIah, alBaitar pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan.

Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam tumbuhan. Bersama bebeapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai utara Afrika dan Asia Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut yang dilalui, namun lokasi utama yang pernah disinggahi antara lain Bugia, Qastantunia (Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia.

Setelah tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan dipercaya menjadi kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan keluasaannya hingga Damaskus dan al-Baiter selalu menyertainya di setiap perjalanan. Ini sekaligus dimanfaatkan untuk banyak mengumpulkan tumbuhan. Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah Al-Baitar berkesempatan mengadakan ponelitian tumbuhan di area yang sangat luas, terrmasuk Saudi Arabia dan Palestina, dimana dia sanggup mengumpulkan tanaman dan sejumlah lokasi di sana.

Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada. Buku ni sangat populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad ke-16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ni mencakup 1.400 item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur muyur termsuk 200 tumbuhan yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150 penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 200 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke hahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758.

Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-Mughni fi aI-Adwiya al-Mufrada yakni ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan 20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baiter banyak dikutip sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta memberikan transfer pengetahuan.

Kontribusi Al-Baitar tersebut merupakan hasil observasi, penelitian serta pengklasifikasian selama bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari amat mempengaruhi perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa .maupun Asia. Meski karyanya yang lain Kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan dipublikasikan kedalam bahasa asing, namun banyak ilmuwan telah lama mempelajari bahasan-bahasan dalam kitab ini dan memanfaatkannya bagi kepentingan umat mahusia.

Ibnu Miskawih

Teori Evolusi
IBNU MISKAWAIH

Teori ilmu pengetahuan yang telah kita pelajari tentang kehidupan yang selalu berkembang adalah teori evolusi. Teori itu menjelaskan bahwa dunia ini tidak bersifat statis, namun terus berubah. Sejak di bangku sekolah menengah, kita diperkenalkan dengan Charles Darwin (1809 M-1882 M) yang diklaim peradaban Barat sebagai pencetus teori evolusi.

Sejatinya, peradaban Islam di era kekhalifahan telah mengenal teori evolusi. Sekitar sembilan abad sebelum Darwin mencetuskan teori itu, seorang Ilmuwan Muslim asal Persia bernama Ibnu Miskawaih (932 M-1030 M) telah mengungkapkan teori evolusi itu. Menurut Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal dalam karyanya bertajuk The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity, Ibnu Miskawayh merupakan orang pertama yang memaparkan ide tentang evolusi secara jelas dan gamblang.

Menurut Hamidullah, ide teori evolusi telah ditemukan dalam karya Ibnu Miskawah yang berjudul al-Fawz al-Asghar. Ibnu Miskawaih mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan, yakni evolusi mineral, evolusi tumbuhan, evolusi hewan dan evolusi manusia.

Evolusi pertama adalah evolusi mineral, yakni bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah, misalnya batu, air, tanah. Dalam karya tersebut Ibnu Miskawaih mengungkapkan, “(Buku ini) menyatakan bahwa Allah merupakan yang pertama kali menciptakan zat dan diinvestasikan dengan energi untuk perkembangan. Zat diadopsi dari bentuk uap yang dianggap bentuk air karena waktu.”

Hamidullah menambahkan, dalam kitabnya itu, Ibnu Miskawaih juga menjelaskan tahapan selanjutnya dalam perkembangan adalah mineral kehidupan. Berbagai jenis batu dikembangkan oleh waktu. Bentuk tertinggi mereka berasal mirjan (karang/coral). Ini merupakan batu yang memiliki cabang di dalamnya seperti pohon. Setelah mineral kehidupan barulah perkembangan vegetasi dimulai.

Proses evolusi kedua yang dijelaskan Ibnu Miskawaih adalah evolusi tumbuhan, yang pada awalnya hanya rerumputan spontan yang muncul, kemudian barulah muncul tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi. Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.

Selain itu, papar Hamidullah, Ibnu Miskawaih juga mengatakan evolusi tumbuhan mencapai puncaknya dengan pohon yang menghasilkan hewan-hewan yang berkualitas. ini adalah palem kurma. Ini terbagi menjadi jantan dan betina. Pohon itu tak akan layu jika semua cabangnya dipotong, tapi tanaman ini mati ketika kepalanya dipotong.

Ibnu Miskawaih menganggap pohon palem kumia sebagai pohon tertinggi di antara pohon lainnya dan mirip dengan bintang terendah, kemudian lahirlah bintang terendah. Setelah itu, papar Ibnu Miskawaih, tahapan berikutnya muncullah evolusi hewan, dimana dicirikan oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.

“Teori evolusi bukanlah dicetuskan Darwin, tapi Ibnu Miskawaih seperti yang ditulis di dalam Ikhwan al-Safa,” papar Hamidullah. Pemikir Muslim dari abad ke-l0 itu menyatakan bahwa monyet berkembang menjadi jenis terendah dari seorang Barbar. Dia kemudian menjadi manusia yang unggul. Manusia menjadi seorang suci dan seorang nabi.

Ibnu Miskawaih mengatakan, semua mahluk berasal dari Allah SWT dan semua kembali kepadaNya. Karena hal itulah, tutur Ibnu Miskawaih, kemunculan evolusi manusia ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.

Hamidullah dan Iqbal menegaskan, manuskrip Arab al-Fawz al-Asghar yang ditulis Ibnu
Miskawaih, telah tersedia di universitas-universitas Eropa pada abad ke-19 M. Karya itu diyakini telah dipelajari Charles Darwin.

Sepanjang hidupnya, Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya kitab tahdzibul akhlaq (kesempunnaan akhlak), tartib as-saiadah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).

Keruntuhan Teori Evolusi
Teori evolusi yang dikembangkan Charles Darwin dinilai penuh dengan kekeliruan dan kebohongan. Adalah intelektual Muslim dari Turki, Harun Yahya yang menentang teori yang dikembangkan Darwin itu. Lewat karyanya bertajuk The Evolution Deceit (Keruntuhan Teori Evolusi), Harun Yahya mengungkapkan fakta-fakta kekeliruan pemikiran Darwin, yang telah lama menjadi dasar bagi semua filsafat anti-Tuhan (Darwinisme).

“Darwinisnime menolak fakta penciptaan, dan lebih jauh lagi, kuasa cipta Allah, dan selama 140 tahun terakhir filsafat ini telah membuat banyak orang meninggalkan kepercayaannya atau jatuh ke dalam keraguan. Oleh karena itu, sangat penting kiranya menunjukkan bahwa teori ini merupakan suatu kekeliruan dan penipuan, dan menyebarkannya kepada semua orang,’ ungkap Harun Yahya.

Harun menjelaskan bahwa teori evolusi bukan hanya sekedar konsep biologi, tapi juga memiliki pengaruh. “Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia,” ujarnya menegaskan.

Filsafat tersebut, imbuh Harun, adalah materialisme, yang mengandung sejumlah pemikiran palsu tentang mengapa dan bagaimana manusia muncul di muka bumi. Apakah merupakan produk dan evolusi atau diciptakan ?

Materialisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan materi adalah esensi dan segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari pemikiran itu, Harun memaparkan bahwa materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta Allah SWT.

“Dengan mereduksi segala sesuatu ketingkat materi, teori ini mengubah manusia menjadi makhluk yang hanya berorientasi kepada materi dan berpaling dan nilai-nilai moral. Ini adalah awal dari bencana besar yang akan menimpa hidup manusia’ ujarnya.

Menurut Harun, makhluk hidup muncul bukan akibat proses evolusi, melainkan muncul tiba-tiba dalam bentuk yang sampuma. Mereka diciptakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa “evolusi manusia” juga merupakan sebuah kisah yang tak pernah terjadi.

Para evolusionis menyusun skenario evolusi manusia dengan menyusun sejumlah tengkorak yang cocok dengan tujuan mereka, berurutan dari yang kecil hingga yang terbesar, lalu menempatkan di antara mereka tengkorak manusia yang telah punah. Menurut skenario ini, manusia dan kera modern memiliki nenek moyang yang sama. Nenek moyang inil berevolusi sejalan dengan waktu. Sebagian dari mereka menjadi kera modern, sedangkan kelompok lain berevolusi melalui jalur yang berbeda, menjadi manusia masa kini.

“Akan tetapi, semua temuan paleontologi, anatomi dan biologi menunjukkan bahwa pernyataan evolusi ini fiktif dan tidak sahih seperti semua pernyataan evolusi lainnya. Tidak ada bukti-bukti kuat dan nyata untuk menunjukkan kekerabatan antara manusia dan kera. Yang ada hanya pemalsuan, penyimpangan, gambar-gambar serta komentar-komentar menyesatkan,” jelas Harun.

Menurut Harun, catatan fosil mengisyaratkan kepada kita bahwa sepanjang sejarah, manusia tetap manusia, dan kera tetap kera. Sebagian..fosil dinyatakan evolusionis sebagai nenek moyang manusia berasal dar ras manusia yang hidup hingga akhir-akhr.ini sekitar 10 ribu tahun lalu dan kemudian manghilang.

Selain itu, banyak orang masa kini memiliki penampilan dan karakteristik fisik yang sama dengan ras-ras manusia yang punah, yang dinyatakan evolusionis sebagai nenek moyang manusia. “Semua ini adalah bukti bahwa manusia tidak pernah mengalami proses evolusi sepanjang sejarah,” tuturnya.

Bukti terpenting lainnnya, kata Harun, adalah perbedaan anatomi yang besar antara kera dan manusia, dan tidak satupun di antara perbedaan tersebut muncul melalui proses evolusi.
Evolusionis Rusia, Alexander I Opariri dalam karyanya bertajuk “The Origin of Life” menyatakan teori evolusi Darwin tak bisa menjelaskan asal-usul sel. “Sayangnya, asal usul sel masih menjadi pertanyaan, yang merupakan titik tergelap dari teori evolusi yang utuh,” paparnya.

Ketidakjelasan itu mengundang banyak evolusionis melakukan penelitian dan pengamatan untuk membuktikan bahwa sebuah sel dapat terbentuk secara kebetutan. Akan tetapi, setiap upaya hanya memperjelas desain sel yang kompleks sehingga semakin menggugurkan hipotesis mereka.

Profesor Katuse Dose, kepala institut Biokimia di Universitas Johanes Gutenberg menyatakan, ‘Percobaan tentang asal-usul kehidupan di bidang kimia dan evolusi molukuter selama lebih dari 30 tahun, menghasilkan persepsi yang tebih baik tentang kompleksitas asal usul kehidupan di bumi ini, dan bukannya memberikan jawaban yang mereka harapkan. Saat ini, semua diskusi mengenai teori-teori dasar dan penelitian di bidang ini berakhir dengan kebuntuan atau pengakuan atas ketidaktahuan.”

Di sini jetas sudah bahwa evolusionis tidak mampu menjelaskan proses pembentukan sel. Baik hukum probabititas, hukum fisika, mapun kimia tidak mernberikan peluang sama sekali bagi pembentukan kehidupan secara kebetutan.

“Jika satu protein saja tidak dapat terbentuk secara kebetutan, apakah masuk akal jika jutaan protein.menyatukan diri membentuk sel, lalu milyaran sel secara kebetulan pula menyatukan dirl menjadi organ-organ hidup, lalu membentuk ikan, kemudian ikan beralih ke darat menjadi reptil, dan akhirnya menjadi burung? Begitukah cara jutaan spesies di burmi ini terbentuk,” kata Harun.

Ibnu al-Haitham

KITAB AL-MANAZIR
Karya Perdana Ibnu al-Haitham di Bidang Optik

Siapa yang tak mengenal optik? Cabang ilmu fisika yang menggambarkan sifat cahaya dan interaksi cahaya dengan materi itu sudah diperkenalkan sejak sekolah dasar (SD). Studi optik modern pertama kali dibahas oleh ilmuwan Muslim bernama Ibnu Haitham dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (Kitab Optik).

Kitab yang ditulis pada abad ke-11 M itu terdiri dan tujuh volume. Isinya tak melulu membahas masalah optik. Dalam kitab ini, al-Haitham juga membahas dan mengkaji tentang fisika, matematika, anatomi, mekanik, astronomi dan psikologi. Namun, studi tentang optik mendapat perhatian dan porsi yang lebih banyak dalam Kitab al-Manazir.

Dalam bahasa Latin, Kitab Optik juga dikenal sebagai De Aspectibus or Opticae Thesaurus: Alhazeni Arabis. Al-Haitham atau Alhazen yang juga ilmuwan agung dari Persia itu menulis Kitab al-Manazir saat berada di dalam tahanan di Kairo, Mesir pada tahun 1011 hingga 1021 M.

Buku Optik ini memiliki pengaruh penting pada pengembangan ilmu optik, karena telah menjadi pijakan dan landasan fisika tentang optik modern. Lewat kitab inilah pemahaman mengenai cahaya dan penglihatan menjadi lebih terbuka. Selain itu, Kitab al-Manazir juga telah memperkenalkan percobaan dengan metode ilmiah.

M El Gomati M al-Amri Salih dalam tulisannya berjudul The Miracle of Light, menyejajarkan Kitab Optik karya al-Haitham dengan Philosopbiae Naturalis Principia Mathematica buah karya ilmuwan Barat terkemuka Isaac Newton. Kitab al-Manazir menjadi salah satu buku yang paling berpengaruh dalam sejarah fisika,” tutur Salih.
Al Sabra dan JP Hogendijk, dalam karyanya The Enterprise of Science in Islam: New Perspectives memuji kehebatan Kitab al-Manazir. Keduanya menganggap Kitab Optik ini telah melakukan sebuah revolusi di bidang optik dan persepsi visual secara luas. Hal itu juga diakui pula oleh Gary Hatfield dalam karyanya Was the Scientific Revolution Really a Revolution in Science?

Sementara itu, Fokko Jan Dijksterhuis dalam karyanya Lenses and Waves:Christian Huygens and the Mathematical Science of Optics in the Seventeenth Century menuturkan, Ibnu al-Haitham lewat Kitab Optik telah memasukan konsep physicomatematika dalam bidang optik pada era yang lebih awal daripada disiplin yang lain seperti astronomi dan mekanik.

Steffens mengatakan, Kitab Optik juga berisi diskusi dan penjelasan psikologi dari persepsi visual dan ilusi optik awal. Secara khusus, Omar Khaleefa dalam karyanya Who Is the Founder of Psychophysics and Experimental Psychology? menegaskan bahwa Kitab al-Manazir juga mencakup kajian percobaan psikologi.
“Tak hanya itu, buku ini juga memberikan deskripsi akurat yang pertama tentang kamera obscura, sebuah pelopor kamera modern,” ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam karyanya bertajuk The Eye as an Optical Instrument: from Camera Obscura to Helmholtz’s Perspective.
Bashar Saad, Hassan Azaizeh dan Omar Said dalam karyanya bertajuk “Tradition and Perspectives of Arab Herbal Medicine: A Review” menjelaskan bahwa Ibnu Haitham juga mengupas masalah pengobatan dan ilmu pengobatan mata. Bagi mereka, Kitab al-Manazir telah mendorong dan membuat kemajuan penting dalam operasi mata. “Buku ini dengan benar menjelaskan proses melihat untuk pertama kalinya,” papar mereka.

Kitab al-Manazir mendapat pujian dari banyak sejarawan sains Barat. “Alhazen malahan sukses mengembangkan teori yang menjelaskan proses penglihatan oleh sinar terang yang dilanjutkan ke mata dan setiap titik pada obyek yang ia dibuktikan melalui eksperimen,” ungkap DC Lindberg dalam karyanya bertajuk Theories of Vision from al-Kindi to Kepler.

GJ Toomer dalam Review: Ibn al-Ha ythams Weg zur Physik by Matthias Schramm, mengungkapkan, perpaduan optik geometrik dengan bentuk falsafah fisika yang dikupas dalam Kitab al-Manazir telah membentuk dasar optik modern.

Dr Mahmoud Al Deek dalam karyanya Ibn. Al-Haitham: Master of Optics, Mathematics, Physics and Medicine, menuturkan bahwa Ibnu al-Haitham dalam Buku Optik-nya telah membuktikan perjalanan sinar terang di garis lurus. Selain itu, di buku itu juga diungkapkan mengenai sejumlah percobaan dengan lensa, cermin, pembiasan, dan refleksi.

“Ia (al-Haitham) adalah orang pertama yang mengurangi refleksi dan pembelokan sinar cahaya ke komponen vertikal dan horisontal yang mendasar dalam pengembangan optik geometri,” cetus Albrecht Heeffer dalam karyanya Kepler Is Near Discovery of the Sine Law: A Qualitative Computational Model.

Al-Haitham juga menemukan teori yang mirip dengan hukum sinus Snell, tutur AI Sabra dalam karyanya Theories of Light from Descartes to Newton. “Namun tidak mengukur dan berasal dari hukum matematis,” katanya.

Menurut KB Wolf dalam karyanya “Geometry and Dynamics in Refracting Systems, pemikiran Ibnu al-Haitham dalam Buku Optik tak seperti ilmuwan kontemporer (ilmuwan sebelumnya). J Wade dan Finger, menegaskan, Ibnu al-Haitham sangat dihargai dan dihormati berkat penemuan kamera obscura dan kamera pinhole. Ilmuwan hebat ini juga menulis pembiasan cahaya, terutama pada pembiasan atmospheric, penyebab pagi dan senja sore.

Dalam Buku Optik-nya al-Haitham juga berhasil memecahkan masalah dengan mencari titik pada cermin cembung pada sebuah sinar yang berasal dari satu titik yang memantulkan ke titik lain. “Dia juga melakukan percobaan pada penyebaran cahaya ke dalam komponen warna,” papar Al Deek.

Sejarawan Sains JJ O’Connor dan Edmund F Robertson, dalam karyanya Abu Ali al-Hasan Ibnu al-Haitham, mengatakan, Ibnu al-Haitham melakukan percobaan pada kecepatan terbatas cahaya. “Ibnu al-Haitham juga menemukan bahwa cahaya adalah variabel dan bergerak lambat dalam benda yang padat,” jelas O’Connor dan Robertson. Hamarneh menambahkan, Ibnu Al-Haitham berspekulasi pada perambatan garis lurus dan aspek electromagnetik cahaya.

Dalam Kitab Al-Manazir Ibnu Haitham juga telah menjelaskan mengenai warna matahari terbenam serta beragam fenomena fisika seperti bayangan, gerhana, dan pelangi, dan spekulasi pada fisik alami cahaya.

Ia diyakini sebagai orang pertama yang menjelaskan secara akurat berbagai bagian mata dan memberikan penjelasan ilmiah dari proses penglihatan. Dia juga berusaha untuk menjelaskan penglihatan binocular (teropong dua lensa) dan penambahan nyata pada ukuran matahari dan bulan ketika dekat kaki langit.

Keunggulan Kitab Al-Manazir
Berikut ini adalah penjelasan Ibnu al-Haitham dalam Kitab al-Manazir yang terbukti kebenarannya berdasarkan optik modern:
“Penglihatan merupakan hasil dari cahaya menembus mata dan benda, dengan demikian merupakan bantahan terhadap kepercayaan kuno yang mengatakan bahwa sinar penglihatan datang dari mata.”

“Wilayah kornea mata adalah lengkung dan dekat dengan conjunctiva/penghubung, tetapi kornea mata tidak bergabung dengan conjunctiva.”
“Permukaan dalam kornea pada titik di mana ia bergabung dengan foramen mata menjadi cekung sesuai dengan lengkungan dan permukaan luar. Tepi-tepi permukaan foramen dan bagian tengah daerah kornea menjadi bahkan namun tidak satu.”

“Dia terus berupaya oleh penggunaan hiperbola dan geometri optik ke grafik dan merumuskan dasar hukum pada refleksi/penyebaran, dan dalam atmospheric dan pembiasan sinar cahaya. Dia berspekulasi dalam bidang electromagnetic cahaya, yakni mengenai kecepatan, dan perambatan garis lurus. Dia merekam pembentukan sebuah gambar dalam kamera obscura saat gerhana matahari (prinsip dari kamera pinhole).”
“Lensa adalah bagian dari mata yang pertama kali merasakan penglihatan.”
‘Dia berteori mengenai bagai mana foto dikirim melalui saraf optik ke otak dan membuat perbedaan antara tubuh yang bercahaya dan yang tidak bercahaya.”

Sang Penulis Kitab Optik
Sejatinya, ia bernama lengkap Abu Ali Muhammad al-Hassan Ibnu al-Haitham atau Ibnu Haitham. Ilmuwan kesohor itu lahir di Basrah (kini Irak) sekitar tahun 965 M dan wafat di Kairo sekitar tahun 1039 M. Ia juga dikenal di kalangan ilmuwan Barat, dengan nama Alhazen. Ia merupakan seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat.

Ibnu al-Haitham telah banyak melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.

Karena kehebatannya dalam menjabarkan optik, RL Verma dalam karyanya Al-Hazen: Father of Modern Optics, menabalkan Ibnu al-Haitham sebagai Bapak optik modern’. Rosanna Gorini dalam karyanya bertajuk “Al-Haytham the Man of Experience, menyebut Ibnu al-.Haitham sebagai pelopor metode ilmiah modern.

Tak hanya itu, Ibnu al-Haitham juga dijuluki sebagai pendiri percobaan fisika. Hal ini dijelaskan oleh R diger Thiele dalam karyanya In Memoriam: Matthias Schramm”, Arabic Sciences and Philosophy. Ibnu al-Haitham juga dianggap sejumlah orang sebagai penemu percobaan psikologi, untuk karya pertamanya dalam psikologi persepsi visual dan ilusi optik. Ibnu al-Haitham membuat banyak laporan subyek berhubungan dengan penglihatan, karena itu ia dianggap sebagai psikolog pertama.

Kehebatan-kehebatannya inilah yang membuatnya disebut sebagai “ilmuwan pertama”. Secara lugas Bradley Steffens menyebut al-Haitham sebagai First Scientist.

Al-Jazari

Pencipta Teknologi Pengangkat Air

Al-Jazari (1136 M - 1206 M)
Adalah insinyur Muslim terkemuka. Beragam teknologi modern berhasil diciptakan di abad ke-12 M. Tak salah jika sang ilmuwan didaulat sebagai Bapak Tenik Modern’. Insinyur yang juga didapuk sebagai ‘Bapak Perintis Robot’ itu dikena1 dunia sebagai peletak sejarah teknologi modern. Penemu berbagai peralatan teknologi .itu bernama lengkap Al-Shaykh Ra’is Al-A’mal Badi’Al-Zaman Abu Al-‘Izz ibn Isma’il ibn Al-Razzaz Al-Jazani.

Namanya mengguncang jagad teknologi dunia lewat.kitabnya yang fenomenal berjudul AIJami ‘bayn at- ‘ilm wa ‘l-‘ama1 al-nafi ‘fi sini ‘at aI-hiya (Ikhtisar dan Panduan Membuat berbagai MesinMekanik). Inilah risalah paling penting dalam tradisi teknik mesin Islam juga dunia.

Risalah yang barisi 50 penemuan yang diciptakannya itu mengundang decak kagum para sejarawan teknologi dunia. ‘Tak murigkin mengabaikan hasil karya Al-Jazari yang begitu panting. Dalam bukunya, dia begitu detail memaparkan instruksi untuk mendesain, merakit, dan membuat sebuah mesin,” ungkap Sejarawan inggris, Donald R Hill, dalam tulisannya berjudul. Studies in Medieval Islamic Technology.

Salah satu temuannya adalah saqiya. Alat pangangkat air ciptaan Al-Jazari itu sungguh modern. Dengan menggunakan roda gigi, alat pengangkat air itu tak lagi menggunakan tenaga hewan. “Jelas sudah bahwa penemu roda gigi pertama adalah Al-Jazari. Barat baru menemukannya pada tahun 1364 M,” papar White Lynn, ilmuwan Barat.


Tehnik Irigasi dalam Peradaban Islam

Sebelum peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya, peradaban manusia di Timur Tengah begitu menggantungkan hidupnya pada sungai-sungai besar seperti Nil, Tigris, dan Efrat. Sejatinya, peradaban sebelum Islam telah mengenal teknik dasar irigasi. Ketika kekhalifahan Islam menjelma jadi kekuatan dunia dan kota-kotanya menjadi metropolis, sistem irigasi pun dipercanggih.

Guna memenuhi kebutuhan air di kota-kota Islam yang saat itu mulai berkembang pesat, sistem irigasi yang ada mulai diperluas. Tak hanya itu, penguasa Muslim juga memperbanyak pembangunan kanal. Sehingga, kota-kota Islam di era keemasan tak pernah mengalami kekurangan suplai air, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk pertanian serta perkebunan.

“Sistem irigasi yang dikembangkan di dunia Islam mengandung aspek-aspek teknologi dan sosiologi yang menarik,” papar Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology : An Ilustrated History. Untuk membangun sebuah jaringan dan system irigasi yang amat luas, para insinyur Muslim terdorong untuk mengembangkan beragam teknologi. Di zaman keemasan, teknik irigasi menjadi salah satu objek yang sangat vital. Apalagi, sebagian besar negeri-negeri Islam memiliki jenis tanah yang kering. Para petani Muslim harus memutar otak untuk mendatangkan air ke lahan kering sehingga dapat ditanami beragam komoditas, seperti tebu, padi, dan kapas—tanaman yang sangat membutuhkan air.

Menurut Al-Hassan dan Hill, para petani Muslim mewarisi sistem irigasi yang telah rusak. Tak heran, jika pasokan air ke berbagai daerah yang sebelumnya dikuasai peradaban non-Islam kian menyusut. Sistem irigasi diperluas dan dipercanggih lantaran “Revolusi Hijau” yang dicetuskan peradaban Islam tak lagi memadai. Salah satu kunci keberhasilan “Revolusi Pertanian” adalah tersedianya air yang melimpah. Selain memperluas sistem irigasi, para petani Muslim akhirnya mampu mengembangkan beragam teknologi, seperti peralatan pengangkat air, cara penyimpanan, pengangkutan, serta distribusi air. Bahkan, mereka berhasil menciptakan teknik pencarian sumber-sumber air, baik yang tersembunyi maupun sistem bawah tanah (qanat).

“Sedemikian besarnya kemajuan yang telah dicapai sehingga tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa pada abad ke-11 M hampir semua sungai, anak sungai, oasis, mata air, dan aquifer-aquifer yang diketahui ataupun banjir yang sudah diramalkan dapat dimanfaatkan peradaban Islam,” ujar Al-Hassan dan Hill.

Bukti kemajuan peradaban Islam di bidang pengairan juga sangat tampak dengan pesatnya pembangunan kanal. Dengan kanal-kanal itu, air dan sungai dialirkan ke daratan. Peradaban Islam juga telah mampu mengalirkan air ke kanal yang letaknya lebih tinggi. Pembangunan sarana irigasi dan kanal secara besar-besaran terjadi di era kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Saat itu, masyarakat yang berada di wilayah tandus mengalami krisis air. Akibatnya, masyarakat di wilayah itu tak bisa menghasilkan apa pun karena lahannya yang kering. Bahkan, mereka selalu mengimpor makanan. Pemerintahan Abbasiyah akhirnya membuat aliran air dan sungai Tigris dan Efrat.

Sistem irigasi terus ditingkatkan dengan penggalian sejumlah kanal baru. Kanal terbesar dikenal dengan nama Nahr Isa. Saat itu, kanal tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat, tetapi juga untuk transportasi air antara Syria dan Irak. Dengan begitu, roda perekonomian berputar semakin cepat dan negeri-negeri Muslim menjadi lebih makmur.

Teknisi-teknisi Muslim kemudian menyempurnakan kincir air yang dibangun cukup rumit dengan saluran air bawah tanah yang disebut qanat. Untuk pembangunan tersebut, dibutuhkan keterampilan yang tinggi karena posisinya berada 50 kaki di bawah tanah. Salah satu teknologi irigasi yang dikembangkan peradaban Islam bernama noria. Teknologi yang satu mi digunakan pada sistem irigasi buatan. Untuk memudahkan aliran air secara konstan, masyarakat Muslim menggunakan noria, dalam bahasa Arab naura, yakni sebuah mesin pengangkat air yang masuk ke saluran air kecil.

Ada tiga jenis noria yang dikembangkan para insinyur Muslim. Noria yang paling terkenal adalah noria dengan roda vertikal menggantung dengan ember berantai. Ember tersebut bisa masuk ke mata air hingga delapan meter atau 26 kaki. Itu merupakan noria yang paling kuno karena digerakkan keledai atau banteng. Dengan sistem yang masih sama, noria jenis kedua digerakkan angin. Angin menggerakkan noria di sekitar Cartagena, Spanyol. Noria jells ketiga menggunakan energi yang berasal dan aliran sungai. ini merupakan noria yang besar. Alat itu mampu mengangkat air dan sungai ke saluran air kecil yang lebih tinggi.

Noria tidak dilengkapi dengan power otomatis untuk setiap proses. Noria dapat meningkatkan air yang sebelumnya tidak penuh menjadi penuh. Noria terbesar di dunia dengan diameter sekitar 20 meter, berlokasi di Syria kota Hama. Sejak itu, noria menjadi dasar dan sistem irigasi canggih.

Penggunaan noria menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di dunia. Noria lalu menjadi aset negara untuk menjamin distribusi air yang adil. Di beberapa daerah di Valencia saja terdapat sekitar 8.000 noria untuk mengairi areal pertanian. Selain itu, alat lainnya bernama saqiya. Alat ini juga berfungsi untuk mengangkat air dengan menggunakan alat yang berupa roda gigi. Teknologi ini digerakkan oleh binatang peliharaan, sepeti keledai atau unta. Teknologi saqiya ditemukan dan dikembangkan Al-Jazari.

Teknologi pengairan lainnya yang berkembang di era Islam adalah qanat. Alat ini digunakan untuk memanfaatkan air bawah tanah dengan menggunakan pipa. Menurut Al-Hassan dan Hill, qanat merupakan contoh pertama operasi pertambangan yang rumit dan berbahaya. Qanat merupakan suatu terowongan yang nyaris horizontal dan sebuah aquifer (lapisan batu, tanah, atau pasir yang mengandung sumber air) menuju ke lokasi-lokasi yang membutuhkan air. Dengan teknologi pengangkat air itu, kebutuhan air tetap terpenuhi dalam berbagai musim. Dalam sistem pengelolaan air, peradaban Islam telah memberi inspirasi bagi manusia modern.

Manajemen Sistem Irigsi

Sebagai sumber kehidupan, air begitu penting bagi umat manusia. Tanpa air, kehidupan tak pernah ada di muka bumi ini. Kekhalifahan Islam berupaya mengelola dan mengatur distribusi air secara adil. Tata distribusi air, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk pertanian, diatur melalui manajemen sistem irigasi yang profesional.

Menurut Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill, manajemen sistem irigasi yang besar di era keemasan Islam melibatkan berbagai instansi dan lembaga. Sistem irigasi diawasi administrator departemen tenaga kerja, rekayasawan hidrolika, petugas inspeksi, buruh, dan tenaga kerja terlatih. Sebuah kerja tim yang bener-benar terkoordinasi dengan baik.

“Alokasi air untuk para petani dilakukan dengan dua cara,” papar Al-Hassan dan Hill. Cara pertama berdasarkan waktu. Saluran yang berasal dan kanal menuju lading-ladang ditutup dengan tanah padat. Ketika tiba gilirannya untuk mendapatkan air, bendungan kecil itu dibuka dan air dibiarkan mengalir ke tanah yang sedang mendapatkan giliran. Setelah waktunya habis, saluran ditutup kembali.

Alternatif kedua, dengan menutup lubang berdiameter tertentu. Dengan demikian, air tetap tersedia secara kontinyu, tetapi bervariasi dalam kecepatan sesuai laju aliran dan kanal yang mengairinya. Mengelola dan mengawasi distribusi memang tugas berat. Sampai-sampai, otoritas sistem irigasi Sungai Murghab di Tashkent memiliki petugas sebanyak seribu orang.

Begitulah, tata air dikelola secara profesional dan adil. Sehingga, semua petani dan masyarakat mendapatkan air secara sama.

Jabir Ibnu Hayyan

Peletak Dasar Kimia Modern

Tak salah bila dunia mendapuknya sebagai bapak kimia modern. Ahli kimia Muslim terkemuka di era kekhalifahan yang dikenal di dunia Barat dengan panggilan Geber itu memang sangat fenomenal. Betapa tidak, 10 abad sebelum ahli kimia Barat bernama John Dalton (1766-1844) mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721M - 815 M) telah menemukannya di abad ke-8 M.

Hebatnya lagi, penemuan dan eksperimennya yang telah berumur 13 abad itu ternyata hingga kini masih tetap dijadikan rujukan. Dedikasinya dalam pengembangan ilmu kimia sungguh tak ternilai harganya. Tak heran, jika ilmuwan yang juga ahli farmasi itu dinobatkan sebagai renaissance man (manusia yang mencerahkan).

Tanpa kontribusinya, boleh jadi ilmu kimia tak berkembang pesat seperti saat ini. Ilmu pengetahuan modern sungguh telah berutang budi kepada Jabir yang dikenal sebagai seorang sufi itu. Jabir telah menorehkan sederet karyanya dalam 200 kitab. Sebanyak 80 kitab yang ditulisnya itu mengkaji dan mengupas seluk-beluk ilmu kimia. Sebuah pencapaian yang terbilang amat prestisius.

Itulah sebabnya, ahli sejarah Barat, Philip K Hitti dalam History of the Arabs berujar, “Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab juga memberikan sumbangan yang begitu besar di bidang kimia.” Penyataan Hitti itu merupakan sebuah pengakuan Barat terhadap pencapaian yang telah ditorehkan umat Islam di era keemasan.

Sejatinya, ilmuwan kebanggaan umat Islam itu bernama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan. Asal-usul kesukuan Jabir memang tak terungkap secara jelas. Satu versi menyebutkan, Jabir adalah seorang Arab. Namun, versi lain menyebutkan ahli kimia kesohor itu adalah orang Persia. Kebanyakan literatur menulis bahwa Jabir terlahir di Tus, Khurasan, Iran pada 721 M.

Saat terlahir, wilayah Iran berada dalam kekuasaan Dinasti Umayyah. Sang ayah bernama Hayyan Al-Azdi, seorang ahli farmasi berasal dan suku Arab Azd. Pada era kekuasaan Daulah Umayyah, sang ayah hijrah dari Yaman ke Kufah, salah satu kota pusat gerakan Syiah di Irak. Sang ayah merupakan pendukung Abbasiyah yang turut serta menggulingkan Dinasti Umayyah.
Ketika melakukan pemberontakan, Hayyan tertangkap di Khurasan dan dihukum mati. Sepeninggal sang ayah, Jabir dan keluarganya kembali ke Yaman. Jabir kecil pun mulai mempelajari Alquran, matematika, serta ilmu lainnya dari seorang ilmuwan bernama Harbi Al-Himyani.

Setelah Abbasiyah menggulingkan kekuasaan Umayyah, Jabir memutuskan untuk kembali ke Kufah. Di kota Syiah itulah, Jabir belajar dan merintis karier. Ketertarikannya pada bidang kimia, boleh jadi lantaran profesi sang ayah sebagai peracik obat. Jabir pun memutuskan untuk terjun di bidang kimia.

Jabir yang tumbuh besar di pusat peradaban Islam klasik itu menimba ilmu dari seorang imam termasyhur bernama Imam Ja’far Shadiq. Selain itu, ia juga sempat belajar dari Pangeran Khalin Ibnu Yazid. Jabir memulai kariernya di bidang kedokteran setelah berguru pada Barmaki Vizier — pada masa kekhalifahan Abbasiyah berada dibawah kepemimpinan Harun Ar-Rasyid.

Sejak saat itulah, Jabir bekerja keras mengelaborasi kimia di sebuah laboratorium dengan serangkaian eksperimen. Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di amaskus. Salah satu ciri khasnya, ia mendasari eksperimen-eksperimen yang dilakukannya secara kuantitatif. Selain itu, instrumen yang digunakan dibuat sendiri, menggunakan bahan berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani.

“Saya pertama kali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya, dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin, dan saya mencari kesalahan yang mungkin masih terpendam.” Kalimat itu kerap dituliskan Jabir saat mengakhiri uraian suatu eksperimen yang telah dilakukannya.

Setelah sempat berkarier di Damaskus, Jabir pun dikabarkan kembali ke Kufah. Dua abad pasca-berpulangnya Jabir, dalam sebuah penggalian jalan telah ditemukan bekas laboratorium tempat sang ilmuwan berkarya. Dari tempat itu ditemukan peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona serta sebatang emas yang cukup berat.

Begitu banyak sumbangan yang telah dihasilkan Jabir bagi pengembangan kimia. Berkat jasa Jabir-lah, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi, dan tehnik kristalisasi. Jabir pulalah yang menemukan larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam kiorida dan asam nitrat) untuk melarutkan emas.

Keberhasilan penting lainnya yang dicapai Jabir adalah kemampuannya mengaplikasikan
pengetahuan mengenai kimia ke dalam proses pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Ternyata, Jabir jugalah yang kali pertama mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca.

Adalah Jabir pula yang pertama kali mencatat tentang pemanasan anggur akan menimbulkan gas yang mudah terbakar. Hal inilah yang kemudian memberikan jalan bagi Al-Razi untuk menemukan etanol.

Selain itu, Jabir pun berhasil menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi. Apa yang dihasilkannya itu merupakan teknik-teknik kimia modern.

Tak heran, bila sosok dan pemikiran Jabir begitu berpengaruh bagi para ahli kimia Muslim lainnya seperti Al-Razi (9 M), Tughrai (12 M) dan Al-Iraqi (13 M). Tak cuma itu, buku-buku yang ditulisnya juga begitu besar pengaruhnya terhadap pengembangan ilmu kimia di Eropa. Jabir tutup usia pada tahun 815 M di Kufah.


JABIR IBNU HAYYAN

Dedikasi dan prestasi yang dicapai Jabir Ibnu Hayan dalam bidang kimia terekam dengan baik lewat buku-buku yang ditulisnya. Tak kurang dari 200 buku berhasil ditulisnya. Sebanyak 80 judul buku di antaranya mengupas hasil-hasil eksperimen kimia yang dilakukannya. Buku-buku itu sungguh amat berpengaruh hingga sekarang.

Sebanyak 112 buku karya Jabir secara khusus ditulis untuk dipersembahkan kepada Barmakid — sang guru — yang juga pembantu atau wazir Khalifah Harun Ar-Rasyid. Buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab. Pada abad pertengahan, orang-orang Barat mulai menerjemahkan karya-karya Jabir itu ke dalam bahasa Latin (Tabula Smaragdina). Buku-buku itu lalu menjadi rujukan pada ahli kima di Eropa.

Selain itu, sebanyak 70 buku karya Jabir lainnyajuga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan. Dari ke-70 kitab berpengaruh itu, salah satu yang terkenal adalah Kitab Al-Zuhra yang diterjemakan menjadi Book of Venus, serta Kitab Al-Ahjar yang dialihbahasakan menjadi Book of Stones.

Sebanyak 10 buku yang ditulis Jabir lainnya adalah kitab pembetulan yang berisi penjelasan mengenai ahli kimia Yunani seperti Pythagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Sisanya, kitab yang ditulis Jabir merupakan buku-buku keseimbangan. Dalam buku kelompok ini, Jabir melahirkan teori yang begitu terkenal, yakni teori ‘keseimbangan alam.’

Risalat-risalat karya Jabir yang secara khusus membedah ilmu kimia antara lain’ Kitab Al-Kimya dan Kitab Al-Sab’een. Kitab penting itu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad pertengahan. Kitab Al-Kimya menjadi sangat populer di Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris oleh or lnggris Robert of Chester pada 1144 M.

Al-Kimya versi alih bahasa berjudul ‘The Book of Composition of Alchemy’. Sedangkan, Kitab Al-Sab’een diterjemahkan oleh Gerard of Cremona. Beberapa karya Jabir lainnya juga dialihbahasakan oleh Berthelot ke dalam bahasa lnggris antara lain; ‘Book of Kingdom’, ‘Book of the Balances’, serta ‘Book of Eastern Mercur.’

Buku karya Jabir lainnya juga mendapat perhatian dari ilmuwan lnggris bernama Richard Russel. Pada abad ke-17 M, Russel menerjemahkan buku yang ditulis Jabir ke dalam bahasa Ingris berjudul ‘Sum of Perfection’

Dalam buku itu, Russel memperkenalkan Jabir dengan nama Geber — seorang pangeran Arab terkenal yang juga seorang filsuf. ‘Surh of Perfection’ selama beberapa abad begitu populer dan berpengaruh. Buku itu telah mendorong terjadinya evolusi kimia modern. Begitu berpengaruhnya buku-buku karya Jabir di Eropa dan Barat umumnya telah dibuktikan dengan munculnya beberapa istilah teknis yang ditemukan dalam kamus kimia Barat dan menjadi kosa kata ilmia yang sebelumnya digunakan Jabir seperti istilah ‘alkali.

Kamal al-Din al-Farisi

Ahli Fisika dari Persia

Kamal al-Din al-Farisi adalah seorang ahli fisika Muslim terkemuka dan Persia. Ia dilahirkan di kota Tabriz, Persia — sekarang Iran — pada 1267 M dan meninggal pada 1319 M. Ilmuwan yang bernama lengkap Kamal al-Din Abu’l-Hasan Muhammad Al-Farisi itu kesohor dengan kontribusinya tentang optik serta teori angka.

Ia merupakan murid seorang astronom dan ahli matematika terkenal, Qutb al-Din al-Shirazi (1236-13 11), yang juga murid Nasiruddin al-Tusi. Dalam bidang optik, al-Farisi berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Gurunya, Shirazi memberi saran agar al-Farisi membedah teori pembiasan cahaya yang telah ditulis ahli fisika Muslim legendaris Ibnu al-Haytham (965-1039).

Secara mendalam, al-Farisi melakukan studi secara mendalam mengenai risalah optik yang ditulis pendahuluannya itu. Sang guru juga menyarankannya agar melakukan revisi terhadap karya Ibnu Haytham. Buku hasil revisi terhadap pemikiran al-Hacen — nama panggilan Ibnu Haytham di Barat — tersebut kemudian jadi sebuah adikarya, yakni Kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).

Kitab Tanqih merupakan pendapat dan pandangan al-Farisi terhadap buah karya Ibnu Haytham. Dalam pandangannya, tak semua teori optik yang diajukan Ibnu Haytham menemukan kebenaran. Guna menutupi kelemahan teori Ibnu Haytham, al-Farisi lalu mengusulkan teori alternatif. Sehingga, kelemahan dalam teori optik Ibnu Haytham dapat disempurnakan.

Salah satu bagian yang paling penting dalam karya al-Farisi adalah komentarnya tentang teori pelangi. Ibnu Haytham sesungguhnya mengusulkan sebuah teori, tapi al-Farisi mempertimbangkan dua teori yakni teori Ibnu Haytham dan teori Ibnu Sina (Avicenna) sebelum mencetuskan teori baru. Teori yang diusulkan al-Farisi sungguh luar biasa. Ia mampu menjelaskan fenomena alam bernama pelangi menggunakan matematika.

Menurut Ibnu Haytham, pelangi merupakan cahaya matahari dipantulkan awan sebelum mencapai mata. Teori yang dicetuskan Ibnu Haytham itu dinilainya mengandung kelemahan, karena tak melalui sebuah penelitian yang terlalu baik.

Al-Farisi kemudian mengusulkan sebuah teori baru tentang pelangi. Menurut dia, pelangi terjadi karena sinar cahaya matahari dibiaskan dua kali dengan air yang turun. Satu atau lebih pemantulan cahaya terjadi diantara dua pembiasan.

“Dia (al-Farisi) membuktikan teori tentang pelanginya melalui eksperimen yang luas menggunakan sebuah lapisan transparan diisi dengan air dan sebuah kamera obscura,” kata J. J O’Connor, dan E.F. Robertson dalam karyanya bertajuk “Kamal al-Din Abu’l Hasan Muhammad Al-Farisi”.

Al-Farisi pun diakui telah memperkenalkan dua tambahan sumber pembiasan, yaitu di permukaan antara bejana kaca dan air. Dalam karyanya, al-Farisi juga menjelaskan tentang warna pelangi. Ia telah memberi inspirasi bagi masyarakat fisika modern tentang cara membentuk warna.

Para ahli sebelum al-Farisi berpendapat bahwa warna merupakan hasil sebuah pencampuran antara gelap dengan terang. Secara khusus, ia pun melakukan penelitian yang mendalam soal warna. Ia melakukan penelitian dengan lapisan/bola transparan. Hasilnya, al-Farisi mencetuskan bahwa warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.

“Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelah satu kali pemantulan,” ungkap al-Farisi.

Penelitiannya itu juga berkaitan dengan dasar investigasi teori dalam dioptika yang disebut al-Kura almuhriqa yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh ahli optik Muslim terdahulu yakni, Ibnu Sahl (1000 M) dan Ibnu al-Haytham (1041 M). Dalam Kitab Tanqih al-Manazir, al-Farisi menggunakan bejana kaca besar yang bersih dalam bentuk sebuah bola, yang diisi dengan air, untuk mendapatkan percobaan model skala besar tentang tetes air hujan.

Dia kemudian menempatkan model ini dengan sebuah kamera obscura yang berfungsi untuk mengontrol lubang bidik kamera untuk pengenalan cahaya. Dia memproyeksikan cahaya ke dalam bentuk bola dan akhirnya dikurangi dengan beberapa percobaan dan penelitian yang mendetail untuk pemantulan dan pembiasan cahaya bahwa warna pelangi adalah sebuah fenomena dekomposisi cahaya.

Hasil penelitiannya itu hampir sama dengan Theodoric of Freiberg. Keduanya berpijak pada.teori yang diwariskan Ibnu Haytham serta penelitian Descartes dan Newton dalam dioptika (contohnya, Newton melakukan sebuah penelitian serupa di Trinity College, dengan menggunakan sebuah prisma agak sedikit berbentuk bola).

Hal itu dijelaskan Nader El-Bizri, dalam beberapa karyanya seperti “Ibn al-Haytham”, in Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia, “Optics”, in Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia serta “Al-Farisi, Kamal al-Din,” in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosoph serta buku “Ibn al-Haytham, al-Hasan”, in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy.

Di kalangan sarjana modern terjadi perbedaan pendapat mengenai teori pelangi yang dicetuskan al-Farisi. Ada yang meyakini itu sebagai karya al-Farisi, selain itu ada juga yang menganggap teori itu dicetuskan gurunya al-Shirazi. “Penemuan tentang teori itu seharusnya kiranya berasal dari (al-Shirazi), kemudian diperluas [al-Farisi],” papar Boyer.

Al-Farisi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu optik. Pemikiran dan teori yang dicetuskannya begitu bermanfaat dalam menguak rahasia alam, salah satunya pelangi.


Teori Angka Al-Farisi

Dalam bidang matematika, al-Farisi memberikan kontribus yang penting mengenai angka yakni teori angka. Karyanya yang paling mengesankan dalam teori angka adalah amicable numbers (bilangan yang bersahabat). Al-Farisi mencatat ketidakmungkinan memberikan sebuah cara pemecahan persamaan bilangan bulat.

Dalam Kitab Tadhkira aI-ahbab fi bayan aI-tahabb (Memorandum for friends on the proof of amicability) al-Farisi memberikan bukti baru mengikuti teori Thabit ibnu Qurra dalam bilangan bersahabat (amicable numbers).

Amicable number merupakan pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dan pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit, telah berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:

P = 3 x 2n11
Q = 3 x 2n1
R = 9 x 22n11
P = 3 x 2n11

Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (1726, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.

Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Selain Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) dan al-Madshritti (wafat 1007 M), al-Farisi juga tertarik mengembangkan teori itu. Dalam Tacmkira aI-ahbab fi bayan aI-tahabb al-Farisi juga memperkenalkan sebuah karya besar yakni pendekatan terbaru meliputi ide mengenai faktorisasi dan metode gabungan. Pada kenyataannya pendekatan al-Fanisi menjadi dasar dalam faktorisasi khusus bilangan bulat ke dalam kuasa-kuasa angka utama.

Diakhir masalahnya, al-Farisi memberikan pasangan-pasangan angka bersahabat (amicable numbers) 220, 284 dan 17296, 18416, diperoleh dari peraturan Thabit dengan n = 2 dan n = 4 berturut-turut. Pasangan angka bersahabat 17296, 18416 diketahui pasangan angka bersahabat Euler. Sehingga tak diragukan lagi bahwa al-Farisi mampu menemukan angka bersahabat sebelum Euler.

Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. limuwan yang diagung-agungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dan Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adatah C Rudoiphus.

 

© Modified by Aliev Zara Ghaza Flotilla