Pencetus Dalil-Dalil Umum
Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin At-Tufi mungkin masih terasa asing di telinga. Namanya memang tidak setenar Yusuf AlQaradhawi, Ibnu Taimiyah, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhari, atau Imam Muslim.
Namun, di kalangan tokoh Muslim dan peminat ilmu hukum Islam, ketokohan ulama asal Bagdhad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyah, sang guru At-Tufi.
Al-Tufi dikenal sebagai salah seorang ulama Mazhab Hambali, yang kritis dan tajam dalam menetapkan hukum-hukum Islam, terutama berkaitan dengan kemashalahatan umat.
Contohnya, dalam kasus potong tangan bagi yang mencuri. Dalam kasus tertentu, hukum potong tangan bagi pencuri ini, menurut At-Tufi, tidak perlu dilakukan manakala orang yang mencuri ini terpaksa melakukan perbuatan tersebut demi keselamatan jiwanya.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab RA saat ia menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada saat kepemimpinannya, sang pencuri tidak dipotong tangannya. Mengingat, sang pencuri terpaksa melakukan pencurian di rumah majikannya karena sudah beberapa bulan gajinya tidak dibayar.
Padahal, Ia sangat membutuhkan uang gaji tersebut untuk makan anak dan istrinya yang sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Khalifah Umar RA, sang pencuri ini malah diberikan sejumlah uang dan sang majikan ditiberikan hukuman dengan membayar gaji pada pencuri tersebut. Kejadian kasus ini, At-Tufi melihat bahwa dalil-dalil Alquran yang qathi (sudah jelas hukumnya) masih bisa berubah apabila ada persoalan lain yang manfaatnya lebih besar.
Menurutnya, langkah Khalifah Umar RA yang tidak melaksanakan potong tangan kepada si pencuri bukan berarti tidak melaksanakan hukum Allah, melainkan menyelamatkan jiwa si pencuri. Ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah (maksud hukum Islam), yakni menyelamatkan jiwa (Hifzh aI-Nafs), memelihara agama (Hifzh al-Din), menyelamatkan harta (Hifzh al-Maal) , memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl), dan memelihara akal (Hifzh al-Aql).
Begitu pula mengenai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin, (Lan Yufliha al-Qaumu wa law amruhum Imra’atan), tidak akan bahagia suatu kaum, apabila menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Menurut AtTufi, hadis mi bukan ermakna umum, melainkan khusus. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masrarakat Arab jahiliyah yang melararg perempuan untuk keluar rumah. Karena larangan tersebut, mereka jarang sekali terlibat dalam persoalan-persoalan kemayarakatan. Oleh karena itu, kata At-Tufi, akan sangat berbahaya menyerahkan kepemimpinan negara atau masyarakat kepada kaum perempuan yang mereka sendiri tidak mengetahui perkembann masyarakat.
Sebaliknya, tambah A-Tufi, di zaman sekarang ini sudah banyak kaum perempuan yang bersekolah dan memiliki kemampuan serta keahlian, baik ekonomi, politik, maupun pendidikan. Karena itu, At-Tufi membolehkan kaum perempuan untuk memimpin sebuah negara.
Selain masalah ini, masih banyak lagi pandangan At-Tufi yang kritis dalam memahami hukum Islam. Ia tak segan-segan mengkritik ulama-ulama yang menetapkan hukum berdasarkn sumber yang ada, tanpa menelaah tujuan besar dari hukum Islam (Maqasid al-Syariah).
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa’id at-Tufi as-Sarsari al-Baghdad ial-Hambali. Ia lebih terkenal dengan panggilan At-Tufi, nama sebuah desa di daerah Sarsar Irak. Di desa inilah, Najamuddin At-Tufi dilahirkan pada 657 H (1259 M) dan meninggal dunia pada 716 H (1318 M). Selain At-Tufi, ia juga populer dengan panggajian Ibn Abu Abbas.
Berdasarkan keterangan ini, Najamuddin lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke Kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada 1258 M.
At-Tufi adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa alim ulama yang masyhur di zamannya. Berbagai disiplin ilmu dipelajari At-Tufi, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, mantiq, sastra, teologi dan sebagainya. Adapun tempat-tempat yang pernah dikunjunginya untuk menuntut ilmu pengetahuan adalah Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat lainnya yang banyak bermukim para alim ulama yang masyhur.
Pada usia muda, At-Tufi belajar di desa kelahirannya dengan mempelajari dan menghafal kitab fikih Mukhtasar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-Husein bin Abdullah bin Ahmad al-Khiraqi dan mempelajari ilmu nahwu Kitab al-Luma’ karya Abu al-Fathi Usman bin Jani. Kemudian, At-Tufi belajar fikih kepada Syeikh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sirsari salah seorang ahli fikih Mazhab Hambali yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Bauqi.
Pada 691 H, At-Tufi pergi ke Kota Baghdad dan belajar kitab Fiqh al-Muharrir karya Muhiduddin Ibn Abd al-Salam bin Taimiyah pada Syeikh Taqiyuddin Az-Zarairati—salah seorang ahli fikih Irak. Di samping itu, At-Tufi juga belajar bahasa Arab dan ilmu sharaf pada Abu Abdullah Muhammad Ibn al-Husein al-Muwassili. Kemudian, ia juga belajar ushul fikih pada An-Nasr al-Faruqi dan alim ulama lainnya. Sesudah itu, At-Tufi mempelajari ilmu faraid dan logika. Pada saat yang sama, ia belajar hadis pada ar-Rasyid bin al-Qaimi, Ismail bin At-Tabbal, Hafiz Abd al-Rahman Sulaiman al-Hirani, dan ahli hadis Abu Bakar al-Qulanisi serta ulama lainnya.
Tahun 704 H, At-Tufi mengunjungi Kota Damsyiq untuk belajar hadis pada Ibn Hamzah, Taqiyuddin Ibn Taimyah, al-Maz, dan al-Barzali. Setahun kemudian (705 H), At-Tufi berkunjung ke Kota Kairo dan belajar pada al-Hafiz Abd al-Mukmin bin Khallaf , Qadi Sa’duddin al-Harisi, penulis Mukhtasar, kitab Sibawaihi.
Menurut Mustafa Zaid, dalam kitabnya Al-Maslahah, At-Tufi dikenal sebagai seorang
yang sangat cerdas dan mempunyai ingatan kuat. Ingatan kuat dan kecerdasan adalah faktor penting dalam belajar. Karena, ingatan merupakan gudang penyimpanan data dan informasi yang penting. Sedangkan, kecerdasan sangat berguna untuk pengembangan keilmuan.
Muhammad Mustafa Syalabi, dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam, menyebutkan, selain cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat, At-Tufi juga dikenal dengan cara berpikirnya yang rasional dan ia penganut berpikir bebas. Dalam berpikir bebas ini, At-Tufi disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Karenaitu, Syalabi menyebut ketiga ulama tersebut (At-Tufi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim—Red) sebagai trio penganut berpikir bebas dan Mazhab Hambali. Diduga, cara At-Tufi dalam berpikir bebas itu karena pengaruh dari gurunya, Ibnu Taimiyah.
Dari petualangan At-Tufi menuntut berbagai disiplin ilmu di atas, terlihat bahwa At-Tufi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Syalabi menyebut At-Tufi sebagai seorang ulama yang luas ilmunya.
Pada tahun 714 H, At-Tufi menunaikan ibadah haji. Tahun berikutnya (715 H), ia pun berhaji lagi. Kemudian, ia kembali ke Syam dan bertempat tinggal di Palestina hingga meninggal pada tahun 716 H.
Karya-Karya At-Tufi
Najamuddin At-Tufi dikenal sebagai seorang ulama yang luas pengetahuannya. Tak heran, ia menguasai berbagai bidang ilmu, seperti ilmu fikih, tafsir, hadis, nahwu, dan sebagainya.
Ia juga banyak menulis buku dan kitab sesuai dengan disiplin ilmunya. Mulai dari Alquran dan hadis, ilmu ushuluddin (teologi), fikih, ushul fikih, bahasa, serta sastra. Karya-karyanya sebagai berikut :
1. Bidang Ilmu Alquran dan Hadis
a. Al-Iksir fi Qawa’id at-Tafsir
b. AlIsyarat al-Ilahiyat al-Mahabis Al-Ushuliyah
c. Idah al-Bayan an Ma’na Umm Alquran
d. Mukhtasar al-Ma’alim
e. Tafsir Surat Qaf dan an-Naba’
f. Jadl Alquran
g. Bagiat al-wasil ila Ma’rifat al-Fawasil
h. Daf’u at-Ta’arud ‘amma Yuham at-Tanaqud fi al-Kitab wa al-Sunnah
i. Suarh al-Arba’in Nawawiyah
j. Mukhtasar at-Turmudzi.
2. Bidang Ushuluddin (Teologi)
a. Bagiat as-As’il Ummahat al-Masa’il
b. Qudwat Al-Muhtadin ila Maqasid ad-Din
c. Halal al-‘Aqdi fi Ahkam al-Mu’taqid
d. Al-Intisarat al-Islamiyat fi Daf’I Syubhat an-Nasraniyah
e. Dar’u al Qaul al-Qabih fi at-Tahsin wa at-Taqbih
f. Al-Bahir fi Ahkam al-Batin wa Al-Zhahir
g. Radd ‘ala al-Itthadiyah
h. Ta’aliq ‘ala al-Anajil wa Tanaqudiha
i. Qasidat fi Al-Aqidah wa Syarhuha
j. Al-Azab al-Wasib ‘ala Arwah an-Nawasib.
3. Bidang Ilmu Ushul Fikih
a. Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah
b. Syarh Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah (tiga jilid)
c. Mukhtasar al-Hasil
d. Mukhtasar al-Mahsul
e. Mi’raj al-Wusul ila Ilm al-Ushul
f. Az-Zari’ah ila ma’rifah asrar Asy-Syariat.
4. Bidang Ilmu Fikih
a. Ar-Ryad an-Nawazir fi al-Asybah wa an-Naza’ir
b. Al-Qawa’id al-Kubra
c. Al-Qawa’id al-shugra
d. Syarh Nisf Mukhtasar al-Khiraqi
e. Muqaddimah fu Ilm Al-Fara’id
f. Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (dalam fikih Asy-Syar’i)
5. Bidang Bahasa, Sastra, dan lainnya
a. Daf’u al-Mulam al-Ahl al-Mantiq wa al-Kalam
b. Al-Risalah al-Uluwiyat fi al-Qawa’id al-Arabiyah
c. Gaflat al-Mujtaz fi Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz
d. Tuhfat Ahl al-Adab fi Ma’rifat Lisan al-Arab
e. Al-Rahiq al-Salsal fi al-Adab al-Musalsal
f. Mawaid al-Haisi fi Syi’ri Imri’ al-Qais
g. Asy-Syi’ar al-Mukhtar ‘ala Mukhtar al-Asy’ar
h. Syarh maqamat al-Hariri (tiga jilid)
i. Izalat al-Ankad fi Masalat Kad
j. As-Sa’qat al-Gadabiyat fi al-Radd ‘ala Minkar al-Arabiyah
Dari sejumlah karya At-Tufi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut, enam kitab di antaranya dijadikan referensi oleh oleh Mustafa Zaid dalam bukunya Al-Maslahat fi at-Tasyri’I al-Islami wa Najamuddin at-Tufi, keenam karya tersebut adalah Al-Iksir fi Qawaid at-Tafsir (bidang tafsir), Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah dan syarah-nya (dalam bidang ushul fikih), As-Sa’qaf al-Gadabiyah fi ar-Radd ‘ala Munkari al-Arabiyah (dalam bidang sastra), Mukhtasar at-Turmudzi 9dalam bidang hadis), Syarh al-Arba’in Nawawiyah (dalam bidang hadis), dam al-Isyarat al-Ilahiyah ila al-Mahabis al-Ushu;iyah (dalam bidang Alquran).
Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin At-Tufi mungkin masih terasa asing di telinga. Namanya memang tidak setenar Yusuf AlQaradhawi, Ibnu Taimiyah, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhari, atau Imam Muslim.
Namun, di kalangan tokoh Muslim dan peminat ilmu hukum Islam, ketokohan ulama asal Bagdhad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyah, sang guru At-Tufi.
Al-Tufi dikenal sebagai salah seorang ulama Mazhab Hambali, yang kritis dan tajam dalam menetapkan hukum-hukum Islam, terutama berkaitan dengan kemashalahatan umat.
Contohnya, dalam kasus potong tangan bagi yang mencuri. Dalam kasus tertentu, hukum potong tangan bagi pencuri ini, menurut At-Tufi, tidak perlu dilakukan manakala orang yang mencuri ini terpaksa melakukan perbuatan tersebut demi keselamatan jiwanya.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab RA saat ia menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada saat kepemimpinannya, sang pencuri tidak dipotong tangannya. Mengingat, sang pencuri terpaksa melakukan pencurian di rumah majikannya karena sudah beberapa bulan gajinya tidak dibayar.
Padahal, Ia sangat membutuhkan uang gaji tersebut untuk makan anak dan istrinya yang sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Khalifah Umar RA, sang pencuri ini malah diberikan sejumlah uang dan sang majikan ditiberikan hukuman dengan membayar gaji pada pencuri tersebut. Kejadian kasus ini, At-Tufi melihat bahwa dalil-dalil Alquran yang qathi (sudah jelas hukumnya) masih bisa berubah apabila ada persoalan lain yang manfaatnya lebih besar.
Menurutnya, langkah Khalifah Umar RA yang tidak melaksanakan potong tangan kepada si pencuri bukan berarti tidak melaksanakan hukum Allah, melainkan menyelamatkan jiwa si pencuri. Ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah (maksud hukum Islam), yakni menyelamatkan jiwa (Hifzh aI-Nafs), memelihara agama (Hifzh al-Din), menyelamatkan harta (Hifzh al-Maal) , memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl), dan memelihara akal (Hifzh al-Aql).
Begitu pula mengenai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin, (Lan Yufliha al-Qaumu wa law amruhum Imra’atan), tidak akan bahagia suatu kaum, apabila menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Menurut AtTufi, hadis mi bukan ermakna umum, melainkan khusus. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masrarakat Arab jahiliyah yang melararg perempuan untuk keluar rumah. Karena larangan tersebut, mereka jarang sekali terlibat dalam persoalan-persoalan kemayarakatan. Oleh karena itu, kata At-Tufi, akan sangat berbahaya menyerahkan kepemimpinan negara atau masyarakat kepada kaum perempuan yang mereka sendiri tidak mengetahui perkembann masyarakat.
Sebaliknya, tambah A-Tufi, di zaman sekarang ini sudah banyak kaum perempuan yang bersekolah dan memiliki kemampuan serta keahlian, baik ekonomi, politik, maupun pendidikan. Karena itu, At-Tufi membolehkan kaum perempuan untuk memimpin sebuah negara.
Selain masalah ini, masih banyak lagi pandangan At-Tufi yang kritis dalam memahami hukum Islam. Ia tak segan-segan mengkritik ulama-ulama yang menetapkan hukum berdasarkn sumber yang ada, tanpa menelaah tujuan besar dari hukum Islam (Maqasid al-Syariah).
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa’id at-Tufi as-Sarsari al-Baghdad ial-Hambali. Ia lebih terkenal dengan panggilan At-Tufi, nama sebuah desa di daerah Sarsar Irak. Di desa inilah, Najamuddin At-Tufi dilahirkan pada 657 H (1259 M) dan meninggal dunia pada 716 H (1318 M). Selain At-Tufi, ia juga populer dengan panggajian Ibn Abu Abbas.
Berdasarkan keterangan ini, Najamuddin lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke Kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada 1258 M.
At-Tufi adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa alim ulama yang masyhur di zamannya. Berbagai disiplin ilmu dipelajari At-Tufi, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, mantiq, sastra, teologi dan sebagainya. Adapun tempat-tempat yang pernah dikunjunginya untuk menuntut ilmu pengetahuan adalah Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat lainnya yang banyak bermukim para alim ulama yang masyhur.
Pada usia muda, At-Tufi belajar di desa kelahirannya dengan mempelajari dan menghafal kitab fikih Mukhtasar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-Husein bin Abdullah bin Ahmad al-Khiraqi dan mempelajari ilmu nahwu Kitab al-Luma’ karya Abu al-Fathi Usman bin Jani. Kemudian, At-Tufi belajar fikih kepada Syeikh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sirsari salah seorang ahli fikih Mazhab Hambali yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Bauqi.
Pada 691 H, At-Tufi pergi ke Kota Baghdad dan belajar kitab Fiqh al-Muharrir karya Muhiduddin Ibn Abd al-Salam bin Taimiyah pada Syeikh Taqiyuddin Az-Zarairati—salah seorang ahli fikih Irak. Di samping itu, At-Tufi juga belajar bahasa Arab dan ilmu sharaf pada Abu Abdullah Muhammad Ibn al-Husein al-Muwassili. Kemudian, ia juga belajar ushul fikih pada An-Nasr al-Faruqi dan alim ulama lainnya. Sesudah itu, At-Tufi mempelajari ilmu faraid dan logika. Pada saat yang sama, ia belajar hadis pada ar-Rasyid bin al-Qaimi, Ismail bin At-Tabbal, Hafiz Abd al-Rahman Sulaiman al-Hirani, dan ahli hadis Abu Bakar al-Qulanisi serta ulama lainnya.
Tahun 704 H, At-Tufi mengunjungi Kota Damsyiq untuk belajar hadis pada Ibn Hamzah, Taqiyuddin Ibn Taimyah, al-Maz, dan al-Barzali. Setahun kemudian (705 H), At-Tufi berkunjung ke Kota Kairo dan belajar pada al-Hafiz Abd al-Mukmin bin Khallaf , Qadi Sa’duddin al-Harisi, penulis Mukhtasar, kitab Sibawaihi.
Menurut Mustafa Zaid, dalam kitabnya Al-Maslahah, At-Tufi dikenal sebagai seorang
yang sangat cerdas dan mempunyai ingatan kuat. Ingatan kuat dan kecerdasan adalah faktor penting dalam belajar. Karena, ingatan merupakan gudang penyimpanan data dan informasi yang penting. Sedangkan, kecerdasan sangat berguna untuk pengembangan keilmuan.
Muhammad Mustafa Syalabi, dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam, menyebutkan, selain cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat, At-Tufi juga dikenal dengan cara berpikirnya yang rasional dan ia penganut berpikir bebas. Dalam berpikir bebas ini, At-Tufi disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Karenaitu, Syalabi menyebut ketiga ulama tersebut (At-Tufi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim—Red) sebagai trio penganut berpikir bebas dan Mazhab Hambali. Diduga, cara At-Tufi dalam berpikir bebas itu karena pengaruh dari gurunya, Ibnu Taimiyah.
Dari petualangan At-Tufi menuntut berbagai disiplin ilmu di atas, terlihat bahwa At-Tufi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Syalabi menyebut At-Tufi sebagai seorang ulama yang luas ilmunya.
Pada tahun 714 H, At-Tufi menunaikan ibadah haji. Tahun berikutnya (715 H), ia pun berhaji lagi. Kemudian, ia kembali ke Syam dan bertempat tinggal di Palestina hingga meninggal pada tahun 716 H.
Karya-Karya At-Tufi
Najamuddin At-Tufi dikenal sebagai seorang ulama yang luas pengetahuannya. Tak heran, ia menguasai berbagai bidang ilmu, seperti ilmu fikih, tafsir, hadis, nahwu, dan sebagainya.
Ia juga banyak menulis buku dan kitab sesuai dengan disiplin ilmunya. Mulai dari Alquran dan hadis, ilmu ushuluddin (teologi), fikih, ushul fikih, bahasa, serta sastra. Karya-karyanya sebagai berikut :
1. Bidang Ilmu Alquran dan Hadis
a. Al-Iksir fi Qawa’id at-Tafsir
b. AlIsyarat al-Ilahiyat al-Mahabis Al-Ushuliyah
c. Idah al-Bayan an Ma’na Umm Alquran
d. Mukhtasar al-Ma’alim
e. Tafsir Surat Qaf dan an-Naba’
f. Jadl Alquran
g. Bagiat al-wasil ila Ma’rifat al-Fawasil
h. Daf’u at-Ta’arud ‘amma Yuham at-Tanaqud fi al-Kitab wa al-Sunnah
i. Suarh al-Arba’in Nawawiyah
j. Mukhtasar at-Turmudzi.
2. Bidang Ushuluddin (Teologi)
a. Bagiat as-As’il Ummahat al-Masa’il
b. Qudwat Al-Muhtadin ila Maqasid ad-Din
c. Halal al-‘Aqdi fi Ahkam al-Mu’taqid
d. Al-Intisarat al-Islamiyat fi Daf’I Syubhat an-Nasraniyah
e. Dar’u al Qaul al-Qabih fi at-Tahsin wa at-Taqbih
f. Al-Bahir fi Ahkam al-Batin wa Al-Zhahir
g. Radd ‘ala al-Itthadiyah
h. Ta’aliq ‘ala al-Anajil wa Tanaqudiha
i. Qasidat fi Al-Aqidah wa Syarhuha
j. Al-Azab al-Wasib ‘ala Arwah an-Nawasib.
3. Bidang Ilmu Ushul Fikih
a. Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah
b. Syarh Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah (tiga jilid)
c. Mukhtasar al-Hasil
d. Mukhtasar al-Mahsul
e. Mi’raj al-Wusul ila Ilm al-Ushul
f. Az-Zari’ah ila ma’rifah asrar Asy-Syariat.
4. Bidang Ilmu Fikih
a. Ar-Ryad an-Nawazir fi al-Asybah wa an-Naza’ir
b. Al-Qawa’id al-Kubra
c. Al-Qawa’id al-shugra
d. Syarh Nisf Mukhtasar al-Khiraqi
e. Muqaddimah fu Ilm Al-Fara’id
f. Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (dalam fikih Asy-Syar’i)
5. Bidang Bahasa, Sastra, dan lainnya
a. Daf’u al-Mulam al-Ahl al-Mantiq wa al-Kalam
b. Al-Risalah al-Uluwiyat fi al-Qawa’id al-Arabiyah
c. Gaflat al-Mujtaz fi Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz
d. Tuhfat Ahl al-Adab fi Ma’rifat Lisan al-Arab
e. Al-Rahiq al-Salsal fi al-Adab al-Musalsal
f. Mawaid al-Haisi fi Syi’ri Imri’ al-Qais
g. Asy-Syi’ar al-Mukhtar ‘ala Mukhtar al-Asy’ar
h. Syarh maqamat al-Hariri (tiga jilid)
i. Izalat al-Ankad fi Masalat Kad
j. As-Sa’qat al-Gadabiyat fi al-Radd ‘ala Minkar al-Arabiyah
Dari sejumlah karya At-Tufi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut, enam kitab di antaranya dijadikan referensi oleh oleh Mustafa Zaid dalam bukunya Al-Maslahat fi at-Tasyri’I al-Islami wa Najamuddin at-Tufi, keenam karya tersebut adalah Al-Iksir fi Qawaid at-Tafsir (bidang tafsir), Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah dan syarah-nya (dalam bidang ushul fikih), As-Sa’qaf al-Gadabiyah fi ar-Radd ‘ala Munkari al-Arabiyah (dalam bidang sastra), Mukhtasar at-Turmudzi 9dalam bidang hadis), Syarh al-Arba’in Nawawiyah (dalam bidang hadis), dam al-Isyarat al-Ilahiyah ila al-Mahabis al-Ushu;iyah (dalam bidang Alquran).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih