Arsitektur Islam tak kehilangan jejaknya. Paling tidak, tehnik dan bentuk arsitektur di masa kegemilangan Islam masih ada yang melestarikannya. Jadi, jejak arsitektur Islam tak melulu terlihat pada bangunan-bangunan yang telah dimakan usia.
Konsistensi El-Wakil yang menggunakan tehnik dan bentuk arsitektur tradisional telah mengantarnya memenangkan Richard Driehaus Prize pada 2009 yang diberikan oleh University of Notre Dame School of Architecture, AS.
Anugerah tahunan ini diberikan kepada arsitek berprestasi yang menggunakan prinsip-prinsip klasik dalam karya arsitekturnya, termasuk di dalamnya prinsip keberlanjutan sejarah, kepentingan komunitas, dan pengaruh bangunan terhadap lingkungan.
Ini merupakan salah satu penghargaan yang pantas El-Wakil terima setelah empat dekade tekun mengembangkan arsitektur Islam. Konsep arsitekturnya menjelma pada bangunan masjid, fasilitas umum, dan rumah-rumah pribadi di Timur Tengah.
Dalam mewujudkan serangkaian bangunan itu, El-Wakil mempertahankan keseimbangan antara prinsip keberlanjutan dan perubahan. Banyak masjid terkenal mewujud berkat sentuhan rancangannya, yang menggunakan konsep klasik dan kontemporer.
Selain penhargaan tersebut, El-Wakil juga menerima sejumlah penghargaan lainnya. Yaitu, dua penghargaan Aga Khan Awards untuk bidang arsitektur yang diterima pada 1980 dan 1989 serta King Fahd Award for Research in Islamic Architecture pada 1985.
Jejak-jejak karyanya bias ditelusuri. Setelah menyelesaikan pembangunan Istana Suleiman pada 1979, wali kota Jeddah saat itu, Syeikh Said Farsi, menunjuk El-Wakil sebagai penasehatnya. Kedudukan ini membuat El-Wakil memiliki posisi tawar.
Ini terwujud melalui jalinan kemitraan yang El-Wakil lakukan dengan Pemerintah Arab Saudi dan mengembangkan program arsitektur dan desain sejumlah masjid dengan memasukkan desain-desain tradisional untuk bangunan tersebut.
Melalui kerja sama dengan Ministry of Pilgrimage and Endowment, El-Wakil membangun sejumlah masjid tenpa beton. Kerja sama ini berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun. Maka berdirilah sekitar 15 masjid indah dengan sentuhan klasik dan kontemporer.
Masjid-masjid tersebut memiliki kesamaan dalam penggunaan bahan-bahan dan teknologi konstruksinya. Masjid itu berdinding batu bata dan dilengkapi sejumlah kubah. Bahan-bahan lokal juga digunakan dalam pembangunan masjid.
Ukuran empat dari lima belas masjid yang paling dulu dibangunnya lebih kecil dibandingkan masjid yang ia bangun berikutnya. Keempat masjid itu adalah Masjid Pulau, Masjid Croniche, Masjid Ruwais, dan Masjid Abraj yang merupakan bagian dari program New Jeddah.
Masjid Corniche mencerminkan arsitektur masjid-masjid di Mesir yang mengandung nilai budaya tradisional yang tinggi. Keseluruhan struktur dari batu bata masjid tersebut dilapisi plester, kecuali interior kubah yang batanya terbuka dan dicat warna perunggu gelap.
El-Wakil pun membangun lima masjid lainnya di Jeddah, yaitu Masjid Suleiman, Masjid Harithy, Masjid Azizeyah, Masjid Jufalli, dan Masjid King Saud. Masjid-masjid tersebut lebih besar dibandingkan empat masjid sebelumnya dan merupakan beberapa karya terbesar El-Wakil.
Masjid King Saud bahkan dinilai sebagai bangunan monumental dengan kubah batu bata berdeameter 20 meter dan ketinggian 40 meter. Masjid yang dibangun El-Wakil tak hanya memperindah pemandangan Jeddah, namun juga ada di lokasi yang memiliki makna sejarah dan keagamaan.
El-Wakil juga membangun beberapa masjid di Madinah , Ia membangun kembali Masjid Qubbah yang ada di Madinah, di lokasi masjid itu pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Ia diminta mewujudkan masjid dengan ukuran lebih besar.
Langkah awal yang El-Wakil lakukan adalah memberikan sejumlah tambahan gaya dan tema arsitektur pada bangunan Masjid Qubbah yang sudah ada itu. Namun, ia diminta untuk sepenuhnya merobohkan masjid yang sudah tua tersebut dan membuat rancangan masjid yang benar-benar baru.
Masjid kedua yang dibangun El-Wakil dilokasi bersejarah yang ada di Madinah adalah Masjid Qiblatain. Masjid ini dibangun pada 1992. Masjid ini diyakini menjadi tempat pertama kalinya umat Islam mengubah arah kiblat, yaitu dari Yerusalem ke Makkah.
Tak hanya itu, El-Wakil pun merancang ulang dan membangun Masjid Jumat. Ini merupakan sebuah masjid yang menjadi tempat pertama kali pelaksanaan shalat Jumat. Masjid lainnya adalah kompleks Masjid Miqaat Al-Madinah.
Masjid itu dirancang dan dibangun pada 1987. Masjid tersebut bisa menampung sekitar 5.000 jamaah, termasuk bangunan pertokoan dan pelataran bagi jamaah. Ini menjadi salah satu tempat persinggahan bagi jamaah haji.
Di Makkah, El-Wakil mendapatkan tugas pula untuk merancang dua masjid, yaitu Masjid Bilal dan Hafayer. Ternyata, hasil karyanya tak hanya terdapat di Arab Saudi, tetapi merambah pula ke Afrika Selatan. Ia merancang Masjid Kerk Street di Johannesburg, Afrika Selatan.
Masjid Houghton yang ada di pinggiran Johannesburg juga merupakan hasil rancangannya. Ia pun merancang sebuah pusat komunitas di wilayah tersebut. Masjid Yateem di Bahrain menjadi penanda pula kecemerlangan karyanya.
Rancangan masjid El-Wakil juga sampai wilayah Asia Tenggara. Ia merancang dan membangun sebuah masjid di Brunei Darussalam dengan arsitetur Melayu. Ia sempat pula merancang dan membangun Muslim Community Center di Miami , AS.
Pada 1991, El-Wakil diundang ke University of Miami sebagai profesor tamu dan masih tetap berada di sana tak lama setelah peristiwa 11 September 2001. Di Qatar , ia mengembangkan dan merancang sebuah bagian kota yang memadukan bentuk bangunan Islam dan hemat energi.
El-Wakil bekerja pula kepada pangeran di Arab Saudi untuk mengembangkan dan merestorasi perkebunan tua tradisional Al-Udhaibat di Wadi Hanifa, Dariyah, yang ada di bagian barat pinggiran Riyadh . Dengan segala proyeknya itu, ia tetap konsisten mengusung arsitektur Islam.
Dalam sebuah wawancara dengan Huffington Post, El-Wakil mengungkapkan, salah satu hal yang langka di bidang arsitektur yang ia pelajari selama ini adalah seni dan arsitektur yang sakral. Pada masa sekarang, hal seperti itu telah hilang.
Pandangan dan pemahaman El-Wakil tentang hal itu telah ia ugkapkan dalam rancangan arsitektur dan pembangunan sejumlah bangunan yang ia lakukan. Ia telah memadukan metode pembangunan tradisional dan keindahan arsitektur tradisional Islam dengan arsitektur modern.
Hasil rancangannya yang telah berserak di sejumlah wilayah, termasuk di dunia Islam, membuatnya menjadi salah satu arsitek yang memiliki kapasitas mendalam untuk membangkitkan kembali gaya arsitektur tradisional Islam.
Mengenal Abdel Wahed El-Wakil
Abdel Wahed El-Wakil merupakan seorang arsitek yang lahir pada 7 Agustus 1943 di Kairo, Mesir. Ia dikenal sebagai arsitek kontemporer yang konsisten menggeluti arsitektur Islam. Ia mengenyam pendidikan di Victoria College dan English School .
El-Wakil lulus dengan nilai tertinggi pada bidang matematika terapan, seni, fisika, dan kimia. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Ain Syams. Di sana , ia belajar arsitektur dan lulus pada 1965 dengan gelar First Honors Bachelor of Science.
Usai merai gelar itu, tak lama kemudian El-Wakil diminta menjadi dosen di universitas tersebut dan mengajar bidang arsitektur. Dua tahun berselang, pemikirannya tentang arsitektur mengalami perubahan mendalam setelah bertemu Hassan Fathy yang juga arsitek.
Fathy lahir di Aleksandria, Mesir, dan merupakan salah seorang arsitek ternama. Ia dikenal dengan rintisannya dalam mengimpor alat-alat bangunan di Mesir. Dengan rancangan tradisionalnya, ia berupaya menciptakan sebuah lingkungan yang baik dengan biaya minimal.
Pada 1960-an, rancangan tradisional tak begitu diterima di Mesir. Namun, jalinan kontak El-Wakil dengan Fathy akhirnya membuat dia tertarik pada gaya arsitektur tradisional. Sebelumnya, ia hanya mengacu pada rancangan-rancangan modern.
El-Wakil juga sempat belajar dari Fathy mengenai cara membangun rumah dari lumpur yang dikenal dengan gaya Nubia . Malelau Fathy , ia belajar bagaimana mengadopsi tehnik sederhana dan tradisional dalam merancang dan membangun sebuah bangunan.
Pada 1975, El-Wakil menyelesaikan pembangunan sebuah ruman pantai Halawa di Pantai Agamy, Aleksandria. Pembangunan ini merupakan kesempatan pertamanya mewujudkan konsep-konsep yang ia pelajari dari Fathy. Ia menggunakan gaya tradisional Mesir dan Islam.
Dalam karyanya itu, ia membuat rumah biasa serasa rumah mewah. Rumah memiliki halaman, air mancur, sebuah ruang satu sisi atau lebih yang terbuka sebagai taman, sirkulasi angun, dan bangku-bangku yang terbuat dari semen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih