Ibnu Al Jawzi sering disebut sebagai seorang anak yang menjadi dewasa sebelum waktunya. Ia melakukan pidato pertamanya pada saat berusia 10 tahun. Bahkan, dengan berkah kecerdasannya, ia mampu menulis buku pertamanya saat berusia 13 tahun.
Sejumlah catatan sejarah menyebutkan, Ibnu Al Jawzi merupakan laki-laki yang selalu menjaga kesehatannya dan selalu belajar serta berpikir untuk mempertajam akal pikirannya. Tak heran, jika ia menjelma menjadi seorang cendekiawan yang banyak dikagumi orang.
Ibnu Al Jawzi sudah menjadi seorang yatim piatu sejak ayahnya meninggal dunia ketika ia memasuki usia tiga tahun. Lalu, ia dirawat dan dibesarkan oleh bibinya yang kemudian membawanya kepada seorang ahli hadis Syekh Ibnu Nasir.
Di sisi lain, Ibnu Al Jawzi juga menimba ilmu dari cendekiawan ternama lainnya, yaitu Ibnu Aqil. Bahkan, Ibnu Aqi; memiliki pengaruh besar dalam pemikiran Ibnu Al Jawzi. Ini terlihat jelas dalam karya yang ditulisnya, berjudul Mukhtasar Funun Ibn Aqil.
Buku yang ditulis Ibnu Al Jawzi ini berisi penjelasan karya-karya Ibnu Aqil. Pengaruh Ibnu Aqil juga terlihat dalam kemampuan Ibnu Al Jawzi dalam berpidato dan melakukan propaganda. Ia belajar pula dari sahabat Ibnu Aqil yang bernama Abu Al Hasan Al Zaghuni.
Bahkan, Ibnu Al Jawzi pernah mendapat bimbingan dari cendekiawan Muslim di Baghdad yang sangat menguasai kemampuan berpidato, yaitu Abu Al Qasim Al Harawi. Ia diajari dasar-dasar berpidato dan beberapa naskah pidato yang harus dikuasainya.
Suatu hari, pada saat Abu Al Qasim Al Harawi sedang melakukan ceramah perpisahan kepada penduduk Baghdad, ia meminta Ibnu Al Jawzi yang masih belia untuk naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato yang telah ia hafalkan, di depan 50 ribu orang.
Bahkan, pada masa selanjutnya, Ibnu Al Jawzi merupakan salah satu cendekiawan dalam lintasan sejarah yang sangat menguasai seni berpidato. Jika melihat urutan generasi, ada Ibnu Sam’un yang memiliki kemampuan tinggi dalam seni berpidato.
Lalu, muncil Ibnu Aqil yang merupakan salh satu murid Ibnu Sam’un. Kemudian, Ibnu Al Jawzi yang mendapatkan pengetahuan itu dari Ibnu Aqil. Ibnu Aqil menjadi cendekiawan bersinar di bidang tersebut pada abad ke-11. Dan, satu abad berikutnya, giliran nama Ibnu Al Jawzi yang bersinar.
Dalam bukunya mengenai seni berpidato atau berceramah, Ibnu Al Jawzi menyebutkan serangkaian nama yang memiliki kemampuan berpidato setelah Nabi Muhammad. Ia memulai daftar itu dengan menyebutkan 16 nama sahabat Nabi Muhammad, termasuk empat khalifah yang pertama.
Setelah itu, ia menyebutkan para ahli pidato atau penulis khutbah dari berbagai wilayah dan kota-kota di dunia Islam. Dalam karyanya itu, ia mengungkapkan dari Makkah lima orang, Madinah enam orang, Yaman satu orang, Kufah tujuh orang, dan Basrah sebanyak 16 orang.
Sedangkan, dari Rayy terdapat tiga orang, Balkh tiga orang, Naisapur satu orang, Suriah tiga orang, Mesir satu orang, maroko satu orang, Konstantinopel satu orang, dan Baghdad satu orang. Ibnu Al Jawzi menyebutkan daftar itu dalam karya yang ia beri judul Kitab Al Qushshash.
Secara umum, buku yang ditulis Ibnu Al Jawzi ini mengupas tentang perkembangan seni berpidato. Selain buku tersebut, ia memberikan penjelasan tentang topik yang sama dalam buku lainnya. Buku ini merupakan karya biografi historis yang berjudul Muntazham.
Seorang cendekiawan Muslim, Al Dhahabi, yang dikutip George Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, menyatakan, dalam sejarah Islam, Ibnu Al Jawzi dikenal sebagai cendekiawan yang paling produktif menulis. “Aku tak mengenal siapa pun yang telah menulis sebanyak Ibnu Al Jawzi,“ katanya.
Penelitian yang dilakukan Profesor Abdul Hameed Al Aloojee, sarjana dari Irak, mengungkapkan, buku yang telah ditulis oleh Ibnu Al Jawzi mencapai jumlah yang baginya sangat mengejutkan. Ia mengatakan, jumlah karya Ibnu Al Jawzi mencapai 700 buku. Sebanyak 200 di antaranya ditulis dengan tangannya sendiri.
Di sisi lain, Ibnu Al Jawzi memiliki kemampuan gaya bahasa yang tinggi. Ia juga fasih dalam berbahasa dengan indah dan ringkas. Tak heran, jika pidato atau ceramahnya juga sering didengarkan oleh para khalifah, Sultan, Gubernur, dan ulama, selain oleh khalayak.
Ibnu Qutaybah dalam karyanya dengan judul Uyun Al Akhbar, juga menjelaskan bagaiman Ibnu Al Jawzi memiliki kemampuan untuk menarik orang mendengarkan apa yang ia katakan. Menurut dia, pendengan pidato Ibnu Al Jawzi tak pernah kurang dari 10 ribu orang, bahkan sering melebihi jumlah itu.
Kritik Ibnu Al Jawzi
Pidato sering menjadi sarana dalam mengungkapkan pemikiran seseorang. Hal itu juga terjadi pada diri Ibnu Al Jawzi. Pada masanya, pidato memang menjadi hal penting, baik dari sisi kandungan maupun tujuan. Bahkan, pidato juga digunakan untuk melontarkan kritik.
Saat itu, pidato tak jarang berisi penentangan terhadap kecenderungan kehidupan yang jauh dari agama. Juga, kritik terhadap penguasa dan pandangan cendekiawan lain yang berseberangan. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Al Jawzi.
Ibnu Al Jawzi pernah mengkritik cendekiawan yang lebih senior, yaitu Syekh Abd Al Qadir Al Gilani, yang dikenal dekat dengan penguasa istana. Sehingga, kritik ini dianggap sebagai perlawanan terhadap penguasa istana saat itu, Sultan Al Nasir. Sehingga, Ibnu Al Jawzi diadili dan diseret ke penjara.
Selain melalui pidato, Ibnu Al Jawzi juga menyampaikan pemikiran dan kritiknya melalui tulisan. Di antaranya, kritik itu dilontarkan kepada Abd Abullah Ibnu Hamad, Al-Qadi atau yang lebih dikenal sebagai Abu Ya’la, dan cendekiawan lainnya bernama Ibnu Al-Zaghuni. Ibnu Al Jawzi yang bermazhab Hanbali mengatakan, pemikiran mereka sudah tak sesuai dengan ajaran mazhab Hanbali. Namun, ia pun menuai kritik dari cendekiawan lainnya, yaitu Muwaffaq Al Din Ibnu Qudama dan cendekiawan ternama Ibnu Taimiya.
Pada akhirnya, Ibnu Al Jawzi mengembuskan napas penghabisan. Ia dimakamkan di tempat pemakaman ayahnya, Gerbang Hard, dekat dengan makam Ahmad Ibnu Hanval. Saat pemakaman, banyak orang menghadiri prosesi tersebut. Sebab, selama ini, Ibnu Al Jawzi memang dikenal khalayk melalu pidato-pidatonya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih