AL FARRA Sang Ahli Bahasa


 Kedagahaannya terhadap ilmu mengantarkan Al Farra menjadi sosok cendekia. Bahkan, sejak dini, laki-laki yang lahir di Kufah pada 144 hijriyah itu telah memperlihatkan hasratnya terhadap ilmu pengetahuan. Ia rajin hadir di berbagai majelis ilmu.

Tentu,tak terbatas pada kajian hadis atau Alquran, tetapi juga tata bahasa hingga falsafat. Ia memburu ilmu di majelis yang di gelar, baik di Kufah, Basrah, maupun Baghdad, Irak. Saat berada di Basrah, ia banyak belajar tentang tata bahasa arab, Alquran, dan tafsirnya.

Al Farra, yang bernama lengkap Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manzur bin Marwan Al Aslami Al Daylami Al Kufi, memutuskan menuju Baghdad dan berguru kepada ilmuwan ternama, Al Kisai. Melalui gurunya ini, ia menuai limpahan ilmu tentang tata bahasa.

Keringatnya tak keluar dengan sia sia. Ia pun mewujud sebagai sosok berpengetahuan luas. Ia dikenal sebagai seorang pakar teologi. Seluk beluk tata bahasa menjadi kajian yang benar-benar ia pahami. Tak heran jika ia menjadi sumber rujukan.

Bahkan, Al Farra dikenal oleh para ulama sezamannya dengan kekuatan menghafalnya. Seorang ulama bernama Hannad Ibnu Al Sari, yang merupakan guru ulama terkenal Al Thabari, memuji hafalan Al Farra yang di anggapnya sangat selektif. 

Hannad mengungkapkan, Al Farra sering mengikuti halaqah atau kajian ilmu dan tak seorang pun yang pernah melihat dia mencatat sesuatu. Namun, saat ia mendengar sebuah hadis berisi unsur tafsir atau memiliki keterkaitan dengan makna kata, Al Farra akan meminta guru mengulangnya.

Menurut Hannad, ia dan sejumlah ulama lainnya menyimpulkan bahwa Al Farra hanya menghafalkan materi yang benar-benar ia perlukan. Kemudian, derajat keilmuannya yang lekat pada diri Al Farra mengantarnya ke gerbang istanna yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al Ma'mun. 

Al Ma'mun memerintahkan Al Farra untuk menulis sebuah karya yang memadukan aturan tata bahasa. Ia menyediakan sebuah paviliun di istana untuk Al Farra serta seorang pelayan laki laki Dan perempuan yang bertugas untuk memenuhi segala kebutuhannya selama mengerjakan proyek tersebut.

Selan itu, sang khalifah pun menyediakan seorang juru tulis yang bertugas menyalin apa yang didiktekan oleh Al Farra. Al Farra membutuhkan waktu dua tahun untuk menuntaskan proyek bukunya itu. Ia memberi judul Kitab al Hudud atau Buku Batasan-batasan.

Setelah proyek itu, Al Ma'mun meminta seorang juru tulis menyalin buku tersebut dan menyimpan salinan itu di perpustakaan istana. Dengan proyek yang di amanatkan kepada Al Farra, istana memandang tata bahasa yang benar merupakan hal yang sangat penting, baik dalam pembicaraan maupun tulisan. 

Suatu hari, Khalifah Al Ma'mun mencela seseorang yang dianggapnya buta huruf, dan tak bias mengubah syair, dan tidak berbicara dengan tata bahasa yang benar. Lalu, orang itu pun menjawab bahwa dirinya banyak melakukan kesalahan tata bahasa karena lidahnya lebih cepat dibanding pikirannya.

Orang itu pun memberi argumen untuk membantah celaan khalifah mengenai buta huruf dan ketidakmampuan membuat syair. Ia mengatakan, Nabi Muhammad merupakan seorang yang buta huruf dan tak bisa mengubah syair. Argumen ini langsung di jawab oleh khalifah Al Ma'mun.

Khalifah Al Ma'mun berkata kepada orang itu, ia telah menunjukkan tiga kelemahan. Dengan argumentasi yang dikemukakan tadi, orang itu telah menambah satu kelemahan lainnya, yaitu kedunguan. Ia menegaskan, ketidakmampuan Nabi SAW mengubah syair dan buta huruf justru menjadi keutamaannya.

Menurut Al Ma'mun, ketidakmampuan baca tulis dan membuat syair yang dimiliki Nabi SAW menepis tuduhan orang orang yang tak beriman bahwa Nabi SAW sendirilah yang mengarang bahasa Alquran yang puitis itu.

Di sisi lain, Al Farra tak berdiam di menara gading. Ia menularkan ilmunya kepada orang lain melalui sebuah majelis yang ia bentuk. Majelis ini terbuka bagi siapa saja yang ingin mereguk ilmu. Dalam majelis itu, ia sering membahas karyanya yang lain, yaitu Kitab Ma'ani Alquran.

Kitab tersebut merupakan karya tafsir yang berisi tentang makna-makna Alquran. Majelis Al Farra menarik minat banyak orang. Kalangan pakar yang hadir di sana mencapai 80 orang. Belum lagi para pelajar pemula. Dalam forum ini, Al Farra mendiktekan keseluruhan lembar buku.

Banyak para penyalin sekaligus penjual buku hadir untuk menyalin buku tersebut. Saat pembahasan Kitab Maani Alquran usai, para penyalin berupaya mereguk untung. Mereka menahan diri untuk menjual buku buku kepada orang yang tertarik dengan buku Al Farra.

Tujuannya, mereka mendapatkan keuntungan lebih besar karena bias menjual dengan harga tinggi. Namun, menurut George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, Al Farra menyiasati kondisi itu dengan kecerdikan yang ia miliki. Al Farra mengancam akan mendiktekan kitab itu secara komprehensif.

Termasuk, sejumlah revisi kitab tersebut. Akhirnya, para penyalin itu segera melepas hasil salinan karya Al Farra. Mereka menurunkan harga jual. Semula, per lima lembar salinan akan dijual dengan harga satu dirham, kemudian menjadi satu dinar untuk sepuluh lembar.


Menjadi Tutor

Dengan ilmunya, Al Farra memiliki daya tarik. Kaum intelektual banyak yang ingin melakukan diskusi dengannya. Bahkan, Al Farra membuka sebuah majelis yang terbuka bagi siapa saja yang ingin memetik ilmu yang ia miliki.

Tak heran jika Al Farra dikenal sebagai orang yang paling sibuk. Ia tak banyak bersantai di rumahnya. Banyak aktivitas yang harus dilakoninya. Baik memberikan pengajaran tentang kitab-kitab yang ia tulis maupun memberikan pengajaran secara privat.

Kepakaran Al Farra pun menggerakkan diri Khalifah Al Ma'mun untuk menjalin hubungan dengannya. Khalifah meminta Al Farra membuat buku tentang tata bahasa, yang diselesaikannya dalam dua tahun. Dengan kemampuan tata bahasa yang sangat baik, Al Farra membangkitkan kepercayaan Al Ma'mun.

Saat itu, tata bahasa menjadi sebuah ukuran tingkatan seseorang di dalam masyarakat. Bila seseorang memiliki kemampuan berbahsa yang baik, biasanya akan mendapatkan akses ke pergaulan social lebih tinggi. Di sisi lain, Al Ma'mun memercayakan putranya dibimbing Al Farra . Dengan demikian, Al Farra menjadi tutor anak-anak Khalifah Al Ma'mun.

Al Ma'mun sangat bermurah hati kepada Al Farra. Suatu saat, Al Farra memperoleh bonus sebanyak 10 ribu dirham. Ini ganjaran baginya setelah mampu menyelesaikan secara bijak sebuah permasalahan yang terkait dengan dua anak Al Ma'mun, yang menjadi muridnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih