IBNU JUBAIR Mencatat Kemunduran Islam

Banyak kisah yang lahir dari sebuah perjalanan panjang. Demikian pula, dengan perjalanan yang dilakoni cendekiawan muslim, Ibnu Jubair. Banyak hal yang dikisahkan cendekiawan kelahiran Valensia, Spanyol, itu saat meniti perjalanan dari spanyol ke Irak dan kembali lagi ke Spanyol melalui Sisilia.


Rihla Ibn Jubair atau The Travels Of Ibn Jubair merupakan sebuah karya yang merangkum kisah perjalanan itu. Karya tersebut sangat berarti sebab berisi pengamatan Jubair tentang kondisi Muslim di Barat dan Timur. Pun, saat kekuasaan pemerintahan Islam mulai mengalami kemunduran.


Jubair mengisahkan pula kenyataan pahit yang ternyata harus ia alami di tanah kelahirannya sendiri,Valensia. Ia menuturkan,Valensia di ambang penaklukan oleh kekuatan Raja James I dari Aragon pada 1238. Kejayaan memang terkadang digilirkan. Saat itu, ia dapat melihat dan merasakan pudarnya kekuasan Islam.


Sebelumnya, Jubair juga menikmati kemunduran itu saat singgah di Sisilia. Ia merasakan kekuasaan Islam yang sebelumnya begitu luas di Seantero Eropa, berada di batas akhir. Namun memang, tak hanya pemandangan pilu yang ia alami dalam perjalanannya.Tapi, ia juga merasakan kebanggaan yang membuncah saat melihat kemajuan-kemajuan Islam.


Pada musim semi 1183, Jubair tiba di Alexandria. Sebuah kunjungan yang meninggalkan kesan mendalam pada dirinya. Ia terkesima dengan mercusuar terkenal di kota itu. Dalam karyanya, tak lupa ia menuliskan kekagumannya terhadap serangkaian pencapaian umat Islam. Di antaranya, pendirian rumah sakit dan madrasah, khususnya di Damaskus, Suriah.


Jubai r menggambarkan Damaskus sebagai salah satu kota paling ramah yang pernah ia kunjungi. Gambarannya tentang keindahan Damaskus, mengalahkan gambaran keindahan kota-kota lainnya di wilayah Timur. Dalam perjalanannya, ia pernah singgah pula di tanah-tanah Muslim yang dikuasai tentara Salib.


Dalam bukunya, Jubair menuturkan tentang apa yang dilakukan oleh tentara Salib yang dipimpin Raja Baldwin IV. Pimpinan itu melakukan pungutan yang begitu mencekik umat Muslim. Menurut Jubair, saat penguasa kafir biasanya memungut satu dinar dari Muslim. Baldwin memungut sebesar empat dinar. Lalu, ia memotong kaki mereka.


Menurut Jubair, tak ada sosok dari kaum Frank yang lebih arogan dibandingkan Baldwin. Berdasarkan perjalanannya melalui Tanah Suci, ia mengungkapakan bahwa kaum Frank sangat kotor. Mereka baud an jorok. Di sekitar tempat mereka tinggal, penuh dengan sampah dan kotoran. Saat akan pulang dari Timur, ia melalui Silsilia. Ini terjadi pada 1185.


Kunjungan Jubair di Silsilia berakhir kurang dari empat bulan. Ia menyambangi komunitas Muslim yang berada di sepanjang pantai utara antara Messina dan Trapani. Ia juga menceritakan kondisi yang dihadapi oleh umat Islam di sana. Ia melihat bagaimana umat Islam dipaksa untuk berpindah keyakinan.


Di Messina, Jubair bertemu dengan seorang pejabat tinggi kerajaan yang memilih untuk melindungi dirinya, dengan menyembunyikan keimanannya sebagai seorang Muslim. Sedangkan di Palermo, ia bertemu Qaid Abu Kassim ibn Hammud yang juga dikenal dengan nama Ibn al-Hagar. Hagar merupakan orang terhormat dan memiliki kedudukan social yang tinggi.


Namun, ungkap Jubair, Hagar menyesali kondisinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk Islam. Bahkan, Hagar menyatakan, mengapa dirinya tak pernah menjadi budak yang dijual ke Negara-negara Muslim. Menurut Jubair, ini menandakan sangat buruknya kondisi komunitas Muslim saat itu.


Ibn al-Hagar bercerita kepada Jubair bahwa ia adalah salah satu bangsawan, yang telah mewarisi kekayaan dari ayahnya yang juga bangsawan. Ia merupakan seorang Muslim yang baik. Ia menebus tawanan dan memberikan sumbangan kepada orang-orang miskin dan peziarah sehingga seluruh kota bergembira atas kehadirannya.


Namun, al-Hagar telah kehilangan segalanya, semua orang berpihak pada tiran melalui intrik. Dia dipenjarakan di rumahnya, semua istana miliknya disita, juga harta benda warisan dari nenk moyangnya. Ia bercerita kepada Jubair bahwa ia hanya ingin menjual apa yang tersisa, kemudian pergi ke wilayah yang dikuasai Muslim.


Ibn Jubair menggambarkan suasan duka saat para peziarah berpisah dengan al-Hagar. Pada saat itu, terlihat Ibn al-Hagar menangis sedih dan membuat para peziarah ikut menangis. Dia juga menggambarkan karakter Ibn al-Hagar yang baik, amal salehnya kepada sesame manusia, serta keindahan pribadi dan jiwanya.


Di sisi lain, Jubair juga menggambarkan situasi kontras lain yang dialami Muslim Palermo. Muslim memiliki banyak masjid dan pengajar Alquran, mereka juga diizinkan mengumandangkan azan. Pun, mereka bebas berdagang serta memiliki hakimnya sendiri untuk menyelesaikan sengketa hokum yang mereka alami.


Bagaimanapun, ungkap Jubair, posisi Muslim sangat rentan. Sebab, mereka bergantung pada perlindungan kerajaan atau para bangsawan. Mereka juga harus menghadapi risiko antipati dari orang-orang Latin. Orang tua yang Muslim, menghadapi banyak kendala untuk mencegah anak-anaknya berpindah keyakinan dengan memluk Kristen.


Muslim yang ingin mendapatkan posisi di pemerintahan, ungkap Jubair, mesti mengubah atau menyembunyikan identitasnya sebagai Muslim. Pada masa itu, ia melihat ketegangan yang nyata antara Muslim dan pemeluk Kristen. Ia merasa sedih melihat kondisi yang memprihatinkan itu.



Kisah Tujuh Cangkir Anggur


Kisah tujuh cangkir anggur menjadi awal perjalanan panjang Ibnu Jubair. Semua berawal pada saat ia menjabat sebagai sekretaris pemerintahan Granada pada 1182. Sejumlah pejabat tinggi memaksanya untuk meminum tujuh canggir anggur.


Di bawah paksaan, Jubair akhirnya meneguk air itu. Para pejabat itu memang akhirnya menyesal. Kemudia, mereka menyuguhkan tujuh cangkir yang sama itu kepada Jubair dan mengisinya dengan emas. Bagi mereka, ini menjadi penebus kesalahan yang telah mereka lakukan.


Menurut laman Muslimheritage, meski perbuatan itu bukan atas kehendaknya sendiri, Jubair merasa itu merupakan sebuah perbuatan yang melanggar keyakinan yang dianutnya, Islam. Untuk menebus kesalahannya, meski dilakukan dengan terpaksa, ia memutuskan berhaji ke Tanah Suci.


Jubair meninggalkan Granada pada 1183 dan ditemani seorang dokter yang berasal dari kota tersebut. Dalam perjalanan itu, salah satu tempat yang pertama dikunjunginya adalah Alexandria, Mesir. Ia melihat salah satu bangunan yang mengagumkan, yaitu mercusuar.


Mercusuar tersebut dibangun sebagai panduan atau petunjuk bagi para pelaut. Sebab, tanpa mercusuar, para pelaut sulit menemukan jalan yang benar menuju kota Alexandria. Mercusuar dibangun di sejumlah tempat yang ketinggiannya seakan bersaing dengan tingginya langit.


Hal lain yang memikat hati Jubair adalah bertebarannya madrasah dan asrama yang didirikan oleh Sultan Salahddin al-Ayyubi. Bangunan-banginan itu digunakan untuk para pelajar dari wilayah tersebut dan yang berasal dari luar negeri.


Bangunan lainnya adalah tempat pemandian dan rumah sakit. Jubair terkesan pula dengan banyaknya bangunan masjid di kota itu. Ia memperkirakan, terdapat 8.000 hingga 12.000 masjid di kota itu. Bahkan, terdapat empat hingga lima masjid di jalan yang sama.


Di Silsilia, di bagian paling akhir tahap-tahap perjalanannya, Jubair mengisahkan pengalamannya mlihat aktivitas gunung berapi, yaitu Gunung Stromboli. Saat malam, api berwarna merah muncul di gunung dan melemparkan lidah apinya ke udara.


Ledakan berapi dari kawah gunung sering kali mapu melemparkan batu besar ke atas. Ini merupakan momen yang dianggap Jubair sebagai hal yang luar biasa. Ia singgah pula di Palermo yang ia sebut sebagai kota kuno yang elegan, megah, dan anggun.


Kota tersebut mempunyai ruang terbuka dan taman-taman yang indah serta jalan-jalan yang lebar. Kota tersebut dibangun dengan gaya Kordoba. Di kota tersebut, juga terdapat sebuah sungai yang membelah kota dan empat mata air yang memancar di pinggiran kota.


Raja menjelajahi kota melalui taman dan istana untuk mendapatkan hiburan dan kesenangan. Sedangkan, para wanita Kristen mengikuti mode perempuan Muslim, yaitu menggunakan kerudung. Jubair sangat bersyukur kepada Allah bias menyaksikan segala keindahan itu.


Pada April 1185, Jubair kembali ke Granada, lebih dari dua tahun setelah ia meninggalkan kota tersebut dan setelah mengalami kejadian tujuh cangkir anggur itu. Usai kembali dari perjalanannya ke Makkah untuk berhaji itu, ia kian tekun beribadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih