Ia bernama lengkap Abu Muhammad Abdullaah ibn Muslim ibn Qutaybah. Ia dikenal sebagai sesorang sejarawan pada masa awal. Namun, ia pun cakap dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Ia menguasai sastra, tata bahasa, dan tentu saja ilmu agama.
Pada masanya, saat mucul kelompok rasionalis dalam pemikaran agama, ia dikelompokan sebagai kaum tradisionalis. Namun, ia tak anti dengan pemikran berberda. Ia bias memaklumi munculnya berbagai macam pemikiran karena dianggap sebagai bagian dari kekayaan pemikiran dalam Islam.
Ibnu Qutaybah lahir di Kufah, Irak, Sekitar 828 Masehi. Ajal mendatanginya pada 889 Masehi. Ayahnya berasal dari Merv, yang dikenal pula sabagai salah satu pusat ilmu di dunia Islam. Setelah belajar tentang tradisi dan filologi atau ilmu tentang kata dan bahasa, ia menjadi hakim di Dinawar.
Tak berapa lama kemudia, Ibnu Qutaybah lebih memilih untuk menjadi seorang penyebar ilmu. Ia mengajar di sejumlah tempat di Baghdad . Selain itu, ia menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam sejumlah karya. Bahkan, bebrapa karyanya dianggap sangat bernilai dan menjadi rujukan banyak orang.
Dalam kajian sejarah, Ibnu Qutaybah menghasilkan satu karya terkenal dengan judul Kitab al-Maa'rif. Pada abad ke-19, seorang ilmuwan bernama F Wiinstenfeld mengedit buku tersebut dan memberinya judul Buku Pegangan Sejarah.
Laman Muslimheritage menyebutkan, buku ini merupakan salah satu buku paling tua mengenai sejarah Arab. Hal ini tak mengherankan sebab dalam bukunya itu, Ibnu Qutaybah menguraikan tentang sejarah Arab pra-Islam dan perkembangan mereka saat masa Islam.
Pada masa selanjutnya, Kitab al-Maarif ini menjadi rujukan banyak cendekiawan untuk mengetahui sejarah Arab. Dalam penulisan sejarah, Ibnu Qutaybah dikelompokkan ke dalam sejarawan Muslim awal, seperti Abu Hanifa ad-Dinawari yang juga meninggal dunia pada 889 Masehi.
Dinawari menulis buku sejarah yang dikenal dengan nama Kitab al-Akhbar at-Tiwal atau Book of Long Narrative. Seperti yang tergambarkan dalam judulnya, buku ini menguraikan tentang sejumlah episode tertentu yang menarik minat penulisnya.
Seperti yang ditulis Ibnu Qutaybah, Dinawari tak hanya mengisahkan soal sejarah Islam. Ia pun menjelaskan masa pra-Islam. Dalam bukunya, tercantum soal Alexander Agung dan informasi yang perincin mengenai raja-raja Sasanid. Juga mengenai panuklukan Irak.
Karya lain Ibnu Qutaybah yang begitu menjadi perhatian adalah Uyun al-Akhbar atau 'Berita-berita Pilihan". Buku ini berisi mengenai pergulatan Ibnu Qutaybah terkait soal agama, aliran pemikiran, dan juga tentang tata bahasa.
Bahkan, dalam buku ini memuat sejumlah naskah ceramah atau pidato. Pada masa itu, di Baghdad, ceramah menjadi salah satu hal penting dan kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang cendekiawan. Biasanya, ceramah ini banyak dikuasai pula oleh para ulama sebagai sarana dalam mendakwahkan Islam.
Pada abad ke-7 dan ke-8, ceramah merupakan karya prosa yang indah dan dikenal dengan sebutan maqam. Para zahid atau kaum asketis, biasanya menyampaikannya dihadapan para khalifah dan raja. Materi-materi itu terangkum dalam buku Ibnu Qutaybah.
Melalui Uyun al-Akhbar pula diketahui sejumlah penulis ceramah generasi awal. Di antaranya adalah teolog pertama bernama Ghaylan ibn Muslim al-Dimasyqi yang meninggal pada 724 Masehi. Lalu, ada Hasan Bahsri, dan muridnya yang bernama Amr ibn Ubayd yang meninggal pada 761 Masehi.
George A Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, menjelaskan dalam Uyun al-Akhbar, Ibnu Qutaybah juga memuat konsep-konsep yang mencampurkan antara pemikiran ukhrawi dan duniawi. Dalam bagian pendahuluan disebutkan, meskipun tak secara khusus membicarakan tentang Alquran dan Hadis, buku ini membahas persoalan penting.
Dalam buku ini, Ibnu Qutaybah menekankan pada pemeliharaan perilaku yang utama dan mulia. Menghindari perilaku yang tak terpuji, moral yang hina, melarang kejahatan dan menganjurkan perilaku baik, mengenalkan perapian administrasi, dan menjaga lingkungan.
Bagi Ibnu Qutaybah, jalan menuju Tuhan tak hanya satu. Misalnya, hanya melalui pemahaman mengenai soal halal dan haram. Jalan menuju Tuhan, kata dia, sangat terbuka luas. Pandangan Ibnu Qutaybah ini dinilai terinspirasi dari pemikiran kaum rasionalis.
Ibnu Qutaybah mencoba melakukan pembelaan atas berkembangnya pemikiran rasional dalam kajian humaniora dan peradaban yang saat itu berkembang cukup pesat. Kondisi itu melahirkan pertentangan pemikiran dengan kelompok tradisionalis. Maka itu mencoba menjembataninya.
Ibnu Qutaybah sendiri merupakan seorang tradisionalis. Namun, melalui Uyun al-Akhbar, ia mencoba mengirimkan pesan kepada teman-teman tradiionalnya agar tak bereaksi berlebihan terhadap kajian humaniora dan peradaban yang diwarnai pemikiran kaum rasionalis, Muktazilah.
Yang Memberi Pengaruh dan Pujian
Ibnu Qutaybah muncul menjadi salah satu figure penting, terutama dalam deretan cendekiawan Muslim. Ia banyak menimba ilmu ke sejumlah cendekiawan lainnya. Di antara para guru yang menorehkan pengaruh dalam pemikiran Ibnu Qutaybah adalah Ibnu Rahawaih.
Selain itu, ada Muhammad ibnu Ziyad ibnu Ubaydullah Az-Ziyadi, Ziyad ibnu Yahya al-Hasani, dan Hatim as-Sijistani. Di sisi lain, Qutaybah pun memiliki sejumlah murid yang menonjol. Salah satunya adalah putranya sendiri, yaitu Ahmad ibnu Abdillah, yang kemudian menjadi hakim di Mesir.
Ahmad dikenal sebagai orang yang mempunyai hafalan kuat. Ia hafal isi buku yang ditulis ayahnya. Menurut dia, ayahnya telah mendiktekan semua isi buku tersebut kepadanya. Saat di Mesir , ia juga sempat memperdengarkan buku-buku Ibnu Qutaybah kepada sekelompok orang dalam sebuah kajian.
Murid lainnya adalah Ubaydullah as-Sukri, Ubaydullah ibnu Ahmad ibnu Bakr, dan Abdullah ibnu Ja'far ibnu Durustawayh an-Nahawi. Dengan ilmu yang dikuasainya, Ibnu Qutaybah juga tak luput dari pujian yang dilontarkan oleh cendekiawan lainnya.
Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi, Misalnya, mengatakan bahwa Ibnu Qutaybah merupakan orang yang dapat dipercaya, beriman kuat, dan mulia. Ibnu Taimiyyah pun sempat memberikan pujian. Ibnu Qutaybah, kata dia, merupakan salah satu imam mulia dan salah satu cendekiawan terbaik.
Orang-orang yang tinggal di wilayah Maghrib, juga sangat menghormati Ibnu Qutaybah yang dianggap sangat berilmu. Buku karya Ibnu Qutaybah banyak mereka gunakan sebagai pedoman dalam mempelajari ilmu, baik dalam bidang agama maupun sastra.
Bahkan, mereka mengatakan, rumah yang tak memiliki buku-buku Ibnu Qutaybah maka tak ada kebaikan yang bias diambil. Dalam membahas soal sastra dan fikih, Ibnu Qutaybah pernah mengatakan, seseorang yang ingin menjadi ahli agama dan sastra maka perbanyaklah ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih