Di era keemasan Islam, para ilmuwan Muslim memang telah menguasai bidang hidrologi. Penguasaaan di bidang ini meliputi masalah penyediaan berbagai sarana air bersih, pengendalian gerakan air, serta penemuan berbagai teknologi hidrologi.
Ilmuwan Muslim pada masa itu telah mampu mengintegrasikan, mengadaptasi dan memperbaiki teknik irigasi dan metode distribusi air warisan dari keahlian lokal atau peradaban kuno. Pada awal abad ke-8 M, peradaban Islam telah menguasai teknologi mesin air.
Hal itu diungkapkan mohammed Abattouy dalam karyanya bertajuk Muhammad al-karaji: A Mathematician Engineer from the Early 11th Century. Menurut Abattouy, pengusaan teknologi mesin air di dunia Islam telah melahirkan sebuah revolusi pertanian yang berbasis pada penguasaan di bidang hidrologi.
Abattouy mengungkapkan, salah seorang ilmuwan Muslim yang menjadi perinstis di bidang mesim air adalah Muhammad al-Karaji. Ia adalah seorang ahli matematika dan juga ahli mesin. Menurut Abttouy, pada masa itu, al-Karaji sudah mampu menjelaskan tentang air bawah tanah dan segala perlengkapannya.
Dalam kitab yang berjudul Inbat al-Miyah al-Khafiya, al-Karaji menjelaskan beragama penemuannya mengenai aquifers, survey sumur gali dan membangun kanal bawah tanah. Buku itu ditulisnya sekitar tahun 1.000 M di Persia sekarang antara Irak atau Iran.
“Buku itu adalah sebuah risalah teknis yang memberikan rincian baik dalam mencari tingkat air, instrumen untuk survey, pembangunan saluran, lapisannya, perlindungan terhadap kerusakan, dan pembersihan dan pemeliharaan,” papar Abttouy mengutip penjelasan al-Karaji.
Donald R Hill dan Ahmad Y al-Hassan dalam karyanya bertajuk Engineering in Arabic-Islamic Civilization, menjelaskan bahwa sebelum dan sesudah era al-Karaji, banyak ilmuwan Muslim yang melakukan percobaan yang sama secara eksplisit . “Salah satunya Ibnu Sina (980-1037) dalam risalahnya fi Aqsam al-‘Ulum al-‘Uqliya (risalah pada divisi rasional ilmu ).”
Ibnu sina menjadikan hidroloka sebagai disiplin ilmu independen yang setaraf dengan geometri dan astonomi. Hal ini mendorong para ahli matematika berbakat untuk bergabung dengan suatu wilayah praktis.
“al-Karaji bukan satu-satunya ilmuwan yang tertarik pada mesin,” papar Abattouy. Menurut dia, beberapa ilmuwan pendahulunya juga melakukan hal yang sama, seperti al-Farghani (wafat 860 M), Thabit Ibnu Qurra (wafat 901 M), al-Kuhi (wafat 1000M). Namun, sayangnya merekah gagal dalam penerapannya.
Sejatinnya, ilmuwan bernama Abu Bakr Muhammad al-Hasan (al-Husayn) itu adalah seorang ahli matematika dan ahli mesin terkemuka pada abat ke-10 M/4 H. Ia di kenal sebegai al-Hasib yg berarti penghitung yg bisa juga dimaksudkan ahli matematika.
Menurut Gihogio Levi Della Vida dalam karyanya Appunti e Quesiti di Storia Letteraria Araba, al-Karaji adalah penduduk asli Karadj (di Iran) dan bukan dari Al-Karkh kabupaten Baghdad, seperti yang dinyatakan dalam tulisan-tulisan tertentu.
Di usiannya yang masi muda, ia telah melanglangbuana ke Bangdad. Di pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, yang saat itu dikuasai Dinasti Buwaih , ia memegang posisi tinggi dalam bidang administrasi, sekitar tahun 402 H/1011-12 M. Setelah itu dia kembali ke tanah kelahirannya.
Tak ada sumber yang jelas mengenai tanggal kelahiran atau kematian al-Karaji. Sejumlah sejarawan meyakini, sang ilmuwan meninggal setelah tahun 406 H/1015 M. Sedikit sekali sumber mengenai biografi sang ilmuwan. Namanya, mucul pada era modern dengan sebutan al-Karaji atau al-Karakhi.
Namun, para sejarawan sains sering menyebutnya dengan nama al-Karaji. Roshdi Rashed, mengungkapkan, sedikit sekali informasi dalam sumber Arab klasik tentang al-Karaji. Apalagi, nama al-Karaji tidak disebutkan sejarawan Islam seperti Ibnu al-Nadim atau Ibnu abi Usaybi’a dalam karya utama mereka.
Meski begitu, al-Karaji diyakini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban Islam dan umat manusia saat tinggal di Baghdad. Risalah pentingnya dalam aljabar telah didedikasikan kepada wazir Fakhr al-Mulk, menteri baha’ al-dawla, penguasan Dinasti Buwaih di Baghdad (wafat 406 H/1015 M.).
Al-karaji meninggalkan pemerintahan Abbasiyah untuk hidup dalam apa yang digambarkannya sebagai “mountain countries”. Dia telah menyumbangkan pemikirannya dalam bidang hidrologi dan matematika. Bagaimana pun, keberhasilan dan pencapaian al-Karaji pada era kejayaan Islam layak untuk dihormati dan di hidupkan kembali oleh masyarakat Muslim di era modern.
Karya Sang Ilmuwan
Dedikasinya yang tinggi dalam bidang matematika dan mesin membuatnya banyak menghasilkan karya monumental. Carl Brockelman dalam karyanya Geschichte der Arabischen Litteratur, menyebutkan, al-Karaji berhasil menulis Kitab Inbat al-Miyah al-Khafiya (Book of the Extraction of Hidden Waters).
Selain itu, al-Karaji juga menulis sederet karya lainnya. Sayangnya beberapa karyanya yang penting itu telah hilang. Berikut ini adalah sederet karya yang pernah ditulisnya seperti: Nawadir al-Ashkal, ’Ilal Hisap al-Jabr wa-’lMuqabala, Uqud al-Abniya, Kitab fi Hisab, al-Hind, Kitab fi al-’Istiqra’ bi-’l-Takht, al-Madkhal ila ’Ilm an-Nujum, Kitab al-Muhit fi’ l-Hisab, Kitab al-Ajdhar, Hawla Tasnif, Kitab al-Judhur, dan Risalah al-Khta’ayn ‚Adil Anbuba.
Berikut ini empat judul buku tentang matematika dan mesin hidrolis: Al-Fakhri fi ’l-jabr wa ’l-muqabala, tentang aljabar; al-Badi’ fill-Hisab tentang aritmatika; al-Kafi fil-Hisab, tentang aritmatika; serta Inbat al-Miyah al-Khafiya.
Buku bertajuk al-Fakhri fil-Hisab wal-Muqabal, begitu berpengaruh dan telah dipelajari oleh Franz Woepcke pada pertengahan ke-19 M. Franz Woepcken dalam karyanya Extraits du Fakhri Traite d’Algebre, mengungkapkan, dalam karyanya itu, al-Karaji menjelaskan tentang aritmatika dari Diophantu.
Sejarawan sains modern memandang al-Karaji sebagai ahli matematika berkaliber tertinggi. Karyanya yang kekal pada bidang matematika masih diakui hingga hari ini, yakni mengenai kanonik tabel koefisien binonium (dalam pembentukan hukum dan perluasan bentuk).
Al-Karaji dianggap sebagai ahli matematika terkemuka dan orang pertama yang membebaskan aljabar dari operasi geometris – dan menggantikannya dengan jenis operasi yang merupakan inti dari aljabar pada saat ini.
Karyanya pada aljabar dan polynomial memberikan aturan pada operasi aritmatika untuk memanipulasi polynomial. Dalam karya pertamanya di Prancis, sejarawan matematika Franz Woepcke (dalam Extrait du Fakhri, traite d’Algbre par abou Bekr Mohammed Ben alhacan alkarkhi, Paris 1853), memuji alKaraji yang memperkenalkan teori aljabar kalkulus.
Al-Karaji menginvestigasikan koefisien binomium segitiga Pascal. Dia juga yang pertama menggunakan metode pembuktian dengan induksi matematika untuk membuktikan hasilnya, ia berhasil membuktikan kebenaran rumus jumlah integral kubus, yang sangat penting hasilnya dalam integral kubus.
“Ia juga menggunakan sebuah bukti induksi matematika untuk membuktikan Theorem binomial (suku dua) dan segitiga Pascal, ” jelas Vektor J Katz, dalam karyanya History of Mathematics: An Introduction, Reading.
JJ O’Connor dan EF Robertson, dalam karyanya Abu Bekr ibn Muhammad ibn al-Husayn Al-Karaji, mengatakan, bahwa karya al-Karaji memegang tempat penting dalam sejarah matematika. Ia banyak terpengaruh dan terinspirasi karya-karya aritmatika Diophantus, dalam konsepsi aljabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih