Islam di Republik Demicratik Kongo

Semangat Dakwah dalam Keterbatasan

Syekh Mikdad merasa senang, berbaur rasa haru. Itulah perasaan ketua Beni Moslem Community (masyarakat Muslim Beni) ini berkaitan dengan kehadiran Komandan Kompi Zeni TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Kmandan Batalyon Mekanis Indonesia, selaku perwakilan pasukan penjaga perdamaian PBB di Kongo, pada hajatan warga Muslim di kota yang terletak di wilayah Timur Kongo ini.

Saat itu, Desember 2008, Beni Moslem Community menyelenggarakan halalbihalal di sebuah tempat pendidikan agama Islam di Kota Beni. Di hadapan tamunya, Syekh Mikdad menjelaskan kondisi warga Muslim di kota tempat tinggalnya. Dia bilang, “Jumlah warga Muslim Beni sekitar 600 orang.” Sebagai warga minorotas, kata dia, mereka menjalani kebidupan beragama yang cukup baik.

Toh, kehidupan beragama yang cukup baik, tidak sebaik kehidupan ekonomi mereka. Setidaknya, kondisi itu tercermin ketika diadakan penyembelihan hewan kurban yang diselenggarakan sebelum perayaan halalbihalal. Seperti dilaporkan dalam situs Pusat Penerangan TNT, saat itu sekitar 300 kongole (penduduk Kongo) antre di dua masjid berbeda di Beni untuk mendapatkan daging kurban pada Hari Raya Idul Adha itu. Pembagian daging kurban dipusatkan di dua masjid terbesar di Beni; Madjid An-Nur dan Masjid Jami’ah. Daging korban diterima oleh Imam Faisal dan Imam Ayub, masing-masing selaku imam Masjid An-Nur dan imam Masjid Jami’ah.

Warga Muslim Kongo tersebut sangat antusias menunggu pembagian daging kurban dan Kontingen Garuda XXF/Monuc pimpinan Mayor Czi Sugeng Haryadi Yogoprowo yang kala itu baru dua bulan bertugas di Kongo. Pasukan TNT yang tergabung dalam Kontingen Garuda XX-F/Monuc ini merayakan hari Raya Idul Adha di negara yang dulu terkenal bernama Zaire itu. Kontingen Garuda XX-F bertugas di Kongo untuk memberikan bantuan Zeni kepada Monuc (Mission de 1 Organisation des Nations Unies en Republique Democratique du Congo) dalam menjalankan misi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak l7 Oktober 2008.

Antusiasme warga Muslim Kongo menerima pembagian daging kurban yang disumbangkan oleh pasukan Zeni TNI tersebut memang beralasan. Maklum, seperti dilansir dalam situs Pusat Penerangan TNT, sudah sejak lama di kedua masjid tersebut tidak ada yang melaksanakan kurban disebabkan oleh kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Muslim Kongo sangat memprihatinkan, akibat konflik berkepanjangan yang melanda negeri tersebut.

Keseharian masyarakat Kongo banyak mengonsumsi jagung, umbi-umbian, dan nasi. Karena itu, saat hari Raya Kurban, para kongole yang Muslim sangat mengharapkan sumbangan dari personel pasukan penjaga perdamaian PBB. khususnya dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan.

Potret

Laporan aktivitas anggota TNI yang bertugas dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Kongo itu, sedikit banyak bisa menjadi potret kondisi Muslim di negeri yang kini masih dilanda konflik tersebut. Masalahnya, tidak banyak data bisa dikais dalam menggambarkan kondisi warga Muslim di negeri yang dulu disebut Zaire ini. Ada yang menyebut, populasi Muslim di negara perpenduduk lebih dari 60 juta jiwa ini hanya 10 persen, namun angka itu diragukan oleh sejumlah kalangan yang memperkirakan populasi Muslim di negeri ini mencapai 25 persen.

Negara dengan luas kurang lebih seperempat luas Amerika Serikat ini berbatasan dengan banyak negara, seperti Angola, Burundi, Rwanda, Republik Afrika Tengah, Republik Congo, Sudan, Tanzania, Udanda, dan Zambia. Penduduknya berasal dari beragam etnik. Berbagai catatan menunjukkan, sedikitnya ada 200 etnik di negeri ini mayoritas menganut agama Katolik dan Protestan.

Lalu, siapa yang pertama kali membawa ajaran Islam di negeri yang dikenal bernama Republic Democratic Congo (RDC) ini? Tidak ada petunjuk yang jelas, namun—seperti juga dengan Islam di Republik Afrika Tengah (RAT)— diperkirakan Islam masuk ke RDC bersamaan ketika Islam masuk Chad abad ke-11 ketika Kerajaan KanemBorno di bawah kendali Umme-Jilmi pada 1085-1097.

Sebagai minoritas, Muslim di RDC tidak banyak berperan, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Menurut Sebuah laporan, dari 450 anggota parlemen di negeri itu, hanya tiga orang yang di antaranya beragama Islam. Di pemerintahan, kondisinya tidak lebih baik. Tidak satu pun umat Islam direkrut menjadi menteri, deputi menteri, atau gubernur. Bagaimana dengan sarana ibadah dan lembaga pendidikan Islam? Catatan yang ada menunjukkan, masjid dan sekolah-sekolah Islam belum terlalu banyak. Di Kinshasa, ibu kota negeri itu, misalnya, hanya terdapat masjid kecil yang melayani tidak kurang dari 950 ribu jamaah. Di seluruh penjuru negeri seluas lebih dari 2 juta km2 ini, hanya ada sekitar 380 ribu masjid.

Kondisi yang kurang lebih sama terjadi pada lembaga pendidikan Islam. Keterbatasan sekolah-sekolah Islam, membuat banyak warga Muslim terpaksa menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berciri khas agama berbeda. Bahkan, kerena keterbatasan biaya, tidak sedikit di antara anak-anak keluarga Muslim terpaksa harus putus sekolah di tingkat lanjutan pertama.

Toh, meski berada di tengah keterbatasan, tapi warga Muslim di negeri itu tetap berusaha sekuat tenaga untuk berdakwah dan menyiarkan agama Islam. Mereka tetap bersemangat menjadi khatib, guru, dan pembimbing Islam bagi warga yang membutuhkan. Semangat itu pula yang ditampakkan oleh warga Muslim di Kota Beni yang tergabung dalam Beni Moslem Community saat menyelenggaraan halalbihalal dengan anggota TNT yang menjadi pewakilan pasukan penjaga perdamaian PBB di negeri itu.


Islam di Kongo

Negeri yang Diwarnai Perang Saudara

Semula, Republic Decratic Congo (RDC) bernama Zaire, Congo Free State, Belgian Congo, Congo/Leopoldville, atau Congo/Kinshasa. Wilayahnya yang seluas 2.345.410 km persegi beriklim tropis, panas, kering di sebelah utara, dan dingin di daerah selatan (pegunungan). Letaknya berbatasan dengan banyak Negara, seperti Angola, Burundi, Rwanda, Republik Afrika Tengah, Rupublik Congo, Sudan, Tanzania, Uganda, dan Zambia.

Penduduk RDC lebih dari 60 juta jiwa yang berasal dari 200 etnik, terbesar suku Bantu yang terbagi dal subsuku Mongo, Luba, Kongo, dan Mangbetu Azande. Mayoritas menganut agama Katholik, Protestan, Kimbangust, dan minoritas Islam. Bahasa nasional mereka adalah Prancis, di samping ada bahasa local Lingala, Kiswahili, Kikongo, dan Tsiluba.

RDC terbagi dalam sepuluh provinsi dengan ibukota Kinshasa. Negeri ini memperoleh kemerdekaan dari Belgia pada 30 Juni 1960. Setelah merdeka, Joseph Kasavubu diangkat sebagai presiden dan Patrice Emery Lumumba sebagai perdana menteri. Krisis politik terjadi, Lumumba pun di singkirkan. Pada 1964, Morse Tshombe diangkat sebagai perdana menteri. Ia pula yang memenangkan pemilu pada 1965, namun dikudeta oleh Letnan Jenderal Mobutu Sese Seko. Mobutu lalu mendeklarasikan diri sebagai presiden.

Di masa pemerintahan Mobutu, nama Congo-Leopoldville diubah menjadi Republic of Zaire. Pada 1996, meletus perang saudara. Laurent-Disire Kabila yang memimpin pemberontakan menguasai Zaire pada 1997 dan mengubah nama Republic of Zaire menjadi Democratic Republic of the Congo. Seperti era sebelumnya, pemberontakan masih terjadi di masa pemerintahan Lairent Kabila sehingga mengundang pasukan perdamaian. Gencatan senjata mengakhiri perang saudara di RDC.

Januari 2001, Laurent Kabila di bunuh oleh putranya, Joseph Kabil;a. Pada pemerintahan Joseph Kabila, perdamaian mulai dirasakan karena adanya pembagian kekuasaan dan perdamaian dengan Negara-negara tetangga, yaitu Rwanda, Burundi, dan Uganda. Begitulah perang saudara menyertai perjalanan sejarah negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih