Pada periode ini (abad ke-17 hingga 19) gerakan pembaruan Islari di wilayah Nusantara mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan, ditandai dengan berkembangnya pengetahuan dan keilmuan mengenai Islam serta perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara, baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa.
Berbeda dengan ulama
Menurut sumber-sumber Melayu, nama lengkap al-Palimbani adalah Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani. Tetapi, sumber-sumber Arab menamakannya Sayid Abdus Samad bin Abdurrahman al-Jawi. Sementara tahun kelahirannya merujuk pada buku Tarikh Salasilah Negri Kedah, beliau dilahirkan sekitar 1116 H/1704 M di
Berbeda dengan tahun kelahirannya yang hanya merujuk kepada satu sumber, tidak ada angka yang pasti mengenai tahun kematiannya. Menurut al-Baytar (penulis biografi Arab) dalam kamus biografi Arabnya yang berjudul Hilyah al-Basyar fi Tarikh al-Qarn as-Salis ‘Asyar menyebutkan al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Namun, sumber lain menyebutkan, kemungkinan besar ia meninggal setelah 1203 H/1789 M, tahun ketika al-Palimbani menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sair as-Salikin. Demikian pula, dengan tempat meninggalnya, ada yang menyebutkan di Arab dan ada juga yang menyatakan ia meninggal di perbatasan
Kehidupan al-Palimbani tidak pernah lepas dari kegiatan belajar mengajar, dan menulis buku. Karena itu, semasa hidupnya, al-Palimbani dikenal sebagai seorang ulama besar, sufi, dan penulis produktif. Ayahnya, Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani, berasal dari San’a, Yaman, serta sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum akhirnya menetap di negeri Kedah (Malaysia) dan diangkat sebagai mufti di sana pada awal abad ke-18.
Masa kecilnya dihabiskan di
Di kalangan jamaah haji orang Jawi (
Pada masanya, al-Palimbani juga dikenal Sebagai seorang penulis produktif. Ia menulis banyak buku, di antaranya Nasihah al-Muslimin, Syarh Lubab Ihya ‘Ulum ad-Din dan Syarh Bidayah al-Hidayah. Karyanya yang lain adalah Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah at-Tauhid (kitab yang berisi uraian tentang kalimat tauhid), Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-Alamin (ringkasan ajaran tauhid menurut Syekh Muhammad as-Samman), al- ‘Urwah al-Musqa wa Silsilah Uli al-Ittiqa (tentang wirid-wirid), Ratib ‘Abd as-Samad (berisi ratib, yaitu zikir, pujian, dan doa sesudah shalat).
Selain itu, ia juga mengarang kitab Hidayah as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin (berisi petunjuk untuk mencapai tingkat mutakin) dan Sair as-Salikin ila Ibadah Rabb al-Alamin (berisi uraian tentang cara beribadah kepada Allah SWT). Kedua karyanya ini memuat terjemahan dari kitab al-Gazali dan pandangan-pandangannya.
Sebagai seorang ulama sufi, ajaran tasawuf al-Palimbani merupakan gabungan ajaran wahdatul wujud (alam tidak berwujud dan yang berwujud hanya Tuhan) dan Ibnu Arabi dan ajaran tasawuf al-Gazali. Dalam pandangannya, manusia sempuma (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Tuhan dalam fenomena alam. Sehingga, mampu memandang Allah SWT sebagai wujud yang mutlak.
Ia juga mengajarkan ajaran Tarekat al-Khalwatiyah as-Sammaniyat, yang menempatkan guru tarekat tidak saja sebagai pembimbing rohani, tetapi juga penghubung antara murid-muridnya dan Tuhan. Ajaran Tarekat al-Khawatiyah as-Sammaniyat mengacu pada pandangan-pandangan al-Gazali yang dituangkan dalam dua karyanya, yaitu Lubab Ihya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Ajaran tarekat ini serupa dengan Tarekat Wujudiah Mulhid yang berkembang di wilayah Aceh.
Jihad di jalan Allah
Sejarah mencatat al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Kepedulian al-Palimbani itu, antara lain, terlihat dalam beberapa karyanya yang bukan hanya menyebarkan ajaran neo-sufisme, melainkan juga mengimbau kaum Muslim untuk melancarkan aksi jihad melawan penjajahan bangsa Eropa, terutama Belanda yang terus menggiatkan usaha mereka menundukkan entitas politik Muslim di Nusantara.
Selain masalah keagamaan di Tanah Air; perhatiannya juga tertuju pada masalah kolonialisme Barat di negeri-negeri Islam. Perhatian dan keprihatinannya ini ia tuangkan dalam kitab berjudul Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu‘minin fi Fada‘il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi Muslimin dan Peringatan bagi Mukminin mengenai Keutamaan Jihad di Jalan Allah), yang ditulis dalam bahasa Arab pada tahun 1772.
EMPAT SERANGKAI Dari
Abdus Samad al-Palimbani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Haramain (Makkah dan Madinah) untuk menuntut ilmu dan mengajar Di Haramain, al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawi (istilah yang digunakan untuk menyebut masyarakat
Peran pentingnya bukan hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi juga karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme, tetapi juga mengimbau kaum Muslim melancarkan jihad melawan kolonialisme Eropa.
Sikap peduli terhadap ‘ibu pertiwi’ ini tampaknya bukan hanya dimiliki oleh al-Palimbani sendiri, melainkan oleh komunitas kaum Muslim Jawi pada umumnya. Sehingga, di Haramain mereka dikenal sebagai komunitas yang paling kuat memelihara ikatan dan komitmen batin dengan negeri asalnya.
Selama menuntut ilmu
Karena itu, al-Palimbani bersama ketiga ulama ini oleh masyarakat di wilayah Nusantara dan Jazirah Arab dkenal sebagai empat serangkai dari lndonesia. Dalam buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, Abu Daudi menggambarkan mereka adalah empat ulama yang seiring sejalan mendapat pendidikan dari guru yang sama, sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, serta empat serangkai yang sama-sama pulang bersama dan mengemban tugas yang serupa.
Menurut riwayat, empat serangkai juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di kota Madinah. Sehingga mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifa dalam Tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, empat serangkai ini juga berguru kepada Abdul al-Mun’im al-Damanhuri; Ibrahim bin Muhammad al-Rais al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M yang terkenal sebagat ahli ilmu Falak (Astronomi); Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar, Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadis; dan Athaillah bin Ahmad al-Azhari al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadis ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih