Untuk menguak rahasia langit, peradaban Islam pun membangun observatorium astronomi. Observatorium merupakan sebuah lokasi untuk mengamati langit dan peristiwa yang terjadi di luar angkasa, tempat ini dilengkapi peralatan yang diletakkan secara permanen. Peradaban Islam dianggap telah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar observatorium modern.
“Seringkali pendirian observatorium didorong minat kerajaan terhadap astrologi,” ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction. Berdasarkan catatan sejarah, observatorium astronomi Islam pertama kali dibangun pada era kejayaan Dinasti Abbasiyah.
Observatorium tertua di dunia Islam adalah Shammasiyah. Tempat pengamatan fenomena langit itu dibangun Khalifah Al-Mamun di Kota
Salah satu pencapaian penting yang dilakukan Bani Musa di Observatorium Shammasiyah adalah studi tentang Ursa Major. Ursa Major alias ‘beruang besar’ yang dikenal pula sebagai rasi biduk, bintang biduk, atau bintang tujuh. Ursa Major merupakan rasi bintang yang tampak sepanjang tahun di belahan utara langit.
Kalangan pelaut menjadikan rasi itu sebagai petunjuk untuk memperkirakan titik utara langit, dengan menarik garis lurus dan dua bintang (alfa dan beta) terterang ke arah horizon. Di Observatorium Baghdad itu pula, Bani Musa berhasil mengukur ketinggian maksimum dan minimum matahari. Mereka juga sudah mampu mengamati fenomena gerhana bulan.
Setelah kekuasaan Abbasiyah meredup, upaya pengamatan fenomena langit dilanjutkan para astronom di bawah kekuasaan Dinasti Buwaih. Tahuni 950 M, dinasti ini membangun observatorium dan melengkapinya dengan peralatan tercanggih di zamannya. Observatorium Dinasti Buwaih telah melahirkan astronom Muslim terkemuka, seperti Ibnu Al-Alam dan Abd Al-Rahman Al-Sufi-astronom termasyhur.
Al-Sufi berhasil merevisi katalog bintang Ptolemeus di observatorium yang didukung Pangeran Adud Al-Dawla, penguasa Buwaih. Pada 994 M, Abu-Mahmud Al-Khujandi juga berhasil membangun sebuah observatorium
Sejarawan Ibnu Yunus dan Al-Zarqali dalam catatannya mengungkapkan, observatorium juga dibangun peradaban Islam di Toledo serta
Memasuki abad ke-11 M, penguasa Dinasti Seljuk, Sultan Malik Shah I (berkuasa 1072- 1092) ,juga membangun sebuah observatorium yang lebih maju. Sayangnya, observatorium itu tak bertahan lama, hanya digunakan selama 20 tahun. Dua abad kemudian, astronom Islam kembali berhasil membangun fasilitas pengamatan yang sangat mengesankan, yakni Observatorium Maragha.
Observatorium itu dibangun oleh astronom Muslim termasyhur, Nasiruddin Al-Tusi, pada abad ke-13 M. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka, antara lain, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, dan Muiyi al-Din al-Maghriby.
Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani. Terinspirasi pencapaian Al-Tusi, penguasa Muslim yang cinta astronomi bernama Ulugh Beg pada 1420 M juga mendirikan observatorium di Samarkand.
Ahli astronomi barat, Kevin Krisciunas, dalam tulisarmya berjudul The Legacy of Ulugh Beg, mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertakhta di
Saat kekhalifahan Turki Usmani berkuasa, dunia Islam kembali berhasil membangun Sebuah observatorium astronomi baru di
Observatorium astronomi Islam juga dibangun pada era kekuasaan Dinasti Mughal di India. Humayun, penguasa dinasti itu membangun observatorium pribadi di
Observatorium terakhir dibangun peradaban Islam
Negara Muslim yang juga memiliki fasilitas observatorium yang lengkap adalah
Dunia astronomi modern berutang budi kepada para penguasa dan astronom Islam yang telah mengembangkan observatorium. Berkat pengamatan yang mereka lakukan, rahasia langit pun terkuak. Inilah sumbangan nyata peradaban Islam bagi pengembangan astronomi.
Para
Khalifah Al-Mamun
Dia adalah Khalifah Abbasiyah ketujuh yang telah sukses mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Al-Mamun dikenal sebagal figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.
Berkat inovasi dan gagasannya yang brilian,
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Ia juga mendirikan observatorium pertama di Islam. Al-Ma’mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan terhormat.
Nasiruddin Al-Tusi
Sarjana Muslim yang satu ini dikenal sebagai ilmuwan serbabisa.
Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama, antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir. Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia slam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.
Dalam bidang astronomi, dia telah berjasa membangun observatorium yang hebat di Maragha. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitian mereka dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani.
Taqi_Al-Din
Ia tak hanya dkenal sebagai seorang ilmuwan legendaris. Ilmuwan Muslim kebanggaan Kerajaan Ottoman itu juga termasyhur sebagai seorang astronom, astrolog, insinyur, penemu, ahli fisika, ahli matematika, dokter, hakim Islam, ahil botani, filsuf, ahll agama, dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagal ilmuwan yang sangat produktif.
Tak kurang dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah dituilsnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh menakjubkan. Pencapaiannya dalam berbagai temuan mampu mendahului para ilmuwan barat.
Pada era kekuasaan Sultan Selim II, sang ilmuwan diminta untuk mengembangkan pengetahuannya dalam bidang astronomi oleh seorang hakim/di Mesir, Kazasker Abd al-Karim Efendi, dan ayahnya, Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb Al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya serta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.
Dia pun resmi menjadi astronom resmi Sultan Selim II pada 1571. Ia diangkat sebagai kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) setelah watatnya Mustafa bin Ali Al-Muwaqqit, kepala astronom terdahulu. Taqi Al-Din juga dikenal supel dalam pergaulan. Ia mampu menjalin hubungan yang erat dengan para ulama dan pejabat negara.
Pemerintahan Usmani Turki mengalami perubahan kepemimpinan ketika Sultan Selim II tutup usia. Takhta kesultanan akhirnya diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru, Taqi Al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Ia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut.
Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan Observatorium Istanbul dimulai pada tahun 1575. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi Al-Din menjabat sebagal direktur Observatorium Istanbul. Dengan kucuran dana dari Kerajaan Ottoman, observatorium itu bersaing dengan observatorium yang ada di Eropa, khususnya Observatorium Astronomi Raja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih