MAJMA’ AL-BAHRAYN

Bertemunya Musa dengan Hamba Allah
Dalam Surah Alkahfi (18), setidaknya terdapat lima buah kisah yang menjadi pelajaran bagi umat manusia. Diantaranya kisah tujuh orang pemuda penghuni gua yang beriman kepada Allah, kisah Zulkarnain, pemilik kebun, serta kisah Nabi Musa AS yang bertemu dengan hamba Allah yang saleh.

Dalam beberapa keterangan, para ulama menyepakati bahwa yang dimaksud hamba Allah yang saleh dalam Surah Alkahfi tersebut adalah Nabi Khidir AS. Selengkapnya, kisah tersebut terdapat pada ayat 60-82.

Satu hal yang menarik dalam kisah tersebut adalah Nabi Musa AS belajar kepada Nabi Khidir tentang kesabaran. Tempat keduanya bertemu adalah di pertemuan dua laut (majma’ al-bahrayni). Di manakah letak pertemuan dua laut tersebut?

Asbab al-Nuzul
Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat tersebut adalah sebagaimana disebutkan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya, pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil, lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku.” Ketika ditanya, “Adakah orang yang lebih berilmu dan Anda?” Nabi Musa menjawab, “Tidak ada.” Lalu, Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya, di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas, Nabi Musa pun bertanya, “Ya Allah, di manakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan dalam keranjang. Sekiranya ikan itu hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.”

Berangkatlah Musa bersama muridnya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah batu (shakhrah) dan memutuskan beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa dalam wadah itu tiba-tiba melompat ke dalam air. Sang niurid (Yusya’ bin Nun) tertegun memerhatikan kebesaran Allah itu.

Selepas menyaksikan peristiwa tersebut, Yusya’ tertidur. Ketika terjaga, ia lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa. Mereka berdua lalu meneruskan perjalanan hingga Nabi Musa berkata kepada Yusya’, “Bawalah kemari makanan kita. Sesungguhnya, kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”

Yusya’ berkata, “Tahukah kamu, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” (Surah Alkahfi: 63).

Nabi Musa segera teringat bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat dengan hamba Allah yang sedang dicarinya itu. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu, keduanya kembali mengikuti jejak semula (Surah Alkahfi: 64).

Setibanya di tempat hilangnya ikan tadi, Nabi Musa melihat seorang hamba Allah yang sedang duduk bersimpuh. Lalu, terjadilah perbincangan di antara Musa dan Khidir.

“Sesungguhnya..kamu (Musa) sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (Alkahfi: 67). “Hai, Musa, aku mempunyai ilmu yang diberikan dari ilmu Allah. Dia mengajariku hal-hal yang tidak engkau ketahui. Engkau pun mempunyai ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang tidak kumiliki.” Maka, Musa berkata, “Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Alkahfi: 69). Maka, Khidir berkata kepada Musa, “Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Alkahfi: 70).

Selanjutnya, Musa pun akhirnya mengikuti Nabi Khidir. Namun, dari beberapa perbuatan yang dilakukan Nabi Khidir, ternyata Musa tidak bisa berlaku sabar. Misalnya, saat melubangi perahu, membunuh anak kecil, dan membangun dinding rumah tanpa upah. Musa selalu,bertanya atas perbuatan Khidir itu. Hingga, Khidir menyatakan tibalah saatnya perpisahan antara keduanya. “Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Kelak, akan kubernitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Alkahfi: 78).

Kemudian, khidir menjelaskan alas an-alasan di balik perbuatannya. Saat ia melubangi perahu, tujuannya agar perahu itu tidak dirampas oleh penguasa setempat karena rajanya hanya akan merampas perahu-perahu yang bagus. Mengenai anak kecil yang dibunuhnya: apabila dewasa nanti, anak tersebut akan membuat kedua orang tuanya menjadi durhaka kepada Allah.

Mengenal dinding rumah yang diperbaikinya, adalah milik anak yatim piatu yang kedua orang tuanya adalah orang yang taat beribadah. Sementara itu, di bawah dinding rumah yang mau roboh tersebut, terdapat harta peninggalan kedua orang tuanya.

Pertemuan dua laut
Ada beberapa pendapat mengenai tempat pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir As atau yang disebut dengan Majma’ al-Bahrayn. Yang pasti, keterangan Alquran hanya menyebutkan tempat bertemunya dua laut.

Selain itu, Alquran juga tidak menyebutkan kapan peristiwa itu terjadi. Apakah itu terjadi ketika Musa masih berada di Mesir sebelum eksodu bersama Bani Israil atau setelah eksodusnya dari Mesir? Kapan waktunya setelah eksodus? Sebelum membawa mereka ke Tanah Suci (Ardlul Muqaddasah) atau setelah membawanya ke Tanah Suci?

Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Persia, yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dan Lautan Atlantik.

Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad, yaitu antara Teluk Sue dan Teluk Aqabah di Laut Merah.

Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an (Di bawah Naungan Alquran), pendapat yang paling kuat tentang dua laut itu adalah Laut Rum dan Laut Qalzum (Yordania) atau Laut Putih dan Laut Merah. Tempat bertemu keduanya adalah Laut Murrah (pahit) dan Danau Timsah (buaya) atau di tempat bertemu dua Teluk Aqabah dan Tenasan Suez di Laut Merah. Daerah ini merupakan panggung sejarah Bani Israil setelah eksodus (keluar) dari Mesir.

Sementara itu, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan pendapat yang diriwayatkan oleh Qatadah dan ulama lain yang berpandangan bahwa bertemunya dua laut itu adalah Laut Faris (Persia) yang condong ke timur dan Laut Rum yang condong ke barat. Sedangkan, Muhammad bin Ka’ab al-Kurzhiy berkata, “Pertemuan dua laut itu terletak di Laut Thanjah (Tangier), yaitu laut yang paling jauh di bagian barat.”

Namun demikian, kedua pendapat ini ditolak oleh Sayyid Quthb. “Kami berpendapat bahwa dua pendapat ini sangat jauh dari kebenaran,” jelasnya.

Sementara itu, Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul menyatakan, pendapat yang paling kuat mengenai lokasi dua lautan tempat pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir adalah di Teluk Aqabah dan Terusan Suez di Laut Merah. Sedangkan, pendapat yang menyatakan peristiwa itu berada di Laut Tangier (Thanjah) dan Spanyol sangat lemah.

Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang menyatakan bahwa pertemuan dua laut itu berdasarkan riwayat yang dibawa oleh Ibn Babawayh dan al-Qummi. Di situ, disebutkan bahwa tempat itu berada di sekitar wilayah Suriah dan Palestina. Hal ini mengingat alur cerita berkaitan dengan orang-orang yang tinggal di Nazaret. Riwayat lain yang dibawa as-Suyuthi menyebutkan bahwa pertemuan dua laut itu berada di Lembah Kura Aras, wilayah dekat Azerbaijan. Wa Allahu A’lam.


Siapakah Yusya' bin Nuh dan Khidir AS ?
Siapakah murid yang menemani Musa sewaktu bertemu hamba Allah yang saleh itu? Siapa pula hamba Allah yang saleh itu? Dalam beberapa keterangan, murid Musa yang menemaninya itu adalah Yusya’ bin Nun. Nama lengkapnya Yusya’ bin Nun bin Ifrosun bin Yusuf AS bin Ya’kub AS bin lshaq AS bin Ibrahim AS. Dalm riwayat lain, disebutkan bahwa Yusya’ bin Nun adalah salah seorang Nabi yang meneruskan risalah kenabian Musa AS. Ia dimakamkan di Yordania.

Sementara itu, berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, hamba Allah yang saleh itu adalah Nabi Khidir AS. Dalam berbagai riwayat, Khidir adalah seorang Nabi yang diutus Allah untuk menyeru kaumnya kepada tauhid dan keimanan terhadap para nabi, rasul, dan kitab-kitab mereka. Salah satu tanda kenabian atau mukjizatnya adalah setiap kali ia duduk di atas kayu kering atau tanah gersang, berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau (akhdlor). ltulah alasan mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau ‘Yang Hijau.’

Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad- Dur al-Mantsur menukil hadis yang diriwayatkan oleh lbn Abbas menyatakan, “Sesungguhnya, Khidir disebut demikian lantaran setiap shalat di atas hamparan kulit putih, hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau.” Imam Bukhari mengatakan, Musa dan muridnya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Dalam riwayat lain, nama hamba Allah yang saleh tersebut adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh.

Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorag wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang Nabi. Bahkan, ada yang mengatakan, Khidir akan hidup sampai hari kiamat. Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan Nabi Khidir.

Sementara itu, warga Anthakia (Syam) meyakini bahwa Khidir adalah manusia biasa yang diangkat menjadi seorang nabi. Ia pun telah wafat. Makamnya menurut warga Anthakia, terletak di daerah mereka. Sami bin Abdullah menyatakan, dirinya pernah berkunjung ke lokasi tersebut, namun ia tak berani mengambil kesimpulan. Wa Allahu A’Iam.



Samakah Majma' al-Bahrayn dan Maraj al-Bahrayn ?
Pada edisi 15 Februari 2009 silam, Republika pernah membahas laut dua warna: yang satu berwarna biru tua dan yang lain warnanya biru muda (Maraj al-Bahrayn). Ayat ini terdapat pada Surah Alrahman ayat 19-22.

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka, nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan. Dari keduanya, keluar mutiara dan marjan.”

Begitu juga dalam Surah Alfurqan ayat 53. “Dan, Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan). Yang ini tawar dan segar, sedangkan yang lain asin lagi pahit. Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” Selain kedua ayat ini, ayat lain yang menyebutkan dua laut adalah Surah Annaml ayat 61, Alfathir ayat 12, dan Alkahfi ayat 61.

Dalam berbagai penelitian, laut dua warna yang airnya tak bisa bercampur dan rasanya yang berbeda itu, yakni asin dan tawar, terletak di Selat Gibraltar, sekitar Tangier (Thanjah).

Apakah laut dua warna (Maraj al-Bahrayn) dan bertemuanya dua laut (Majma’ al-Bahrayn) itu sama? Bila merujuk pada keterangan yang ada, tampaknya keduanya berbeda. Sebab, laut dua warna membahas perbedaan antara laut yang satu dan yang lain. Di antara keduanya terdapat pembatas (barzakh) yang membuat keduanya tidak dapat bercampur.

Sedangkan, penjelasan mengenai kondisi laut atau air tempat bertemunya dua laut (Majma’ al-Bahrayn) tidak dibahas, kecuali penjelasan yang berkaitan dengan ikan yang dapat hidup dan mati. Ada yang mengatakan, air yang ada di pertemuan dua laut itu namanya ma’u al-hayat (air kehidupan, yang mati bisa hidup).

Selain itu, pada laut dua warna dalam Alquran diterangkan mengenai keluarnya mutiara dan marjan dari salah satunya, yakni air yang rasanya asin.

Kemudian, berdasarkan pendapat sejumlah ulama dan peneliti, laut dua warna berada di Selat Gibraltar yang terletak di antara Tangier dan Spanyol (Andalusia) yang menghubungkan antara Lautan Mediterania dan Samudera Atlantik serta memisahkan Spanyol dan Maroko.

Sedangkan, tempat bertemunya dua laut terletak di Laut Aqabah dan Terusan Suez yang bertemu di Laut Merah. Wa Allahu A’Iam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih