“Yang pertama, jika kamu mau melawan Tuhan, janganlah makan rezekinya.” “Demi Tuhan, itu sangat sukar. Jika rezekinya semua di laut, di darat, di gunung, dan mana saya makan?” “Pantaskah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?” “Tidak.”
“Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.” “Demi Allah, itu lebih sukar dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaan-Nya, di mana saya tinggal?” “Pantaskah makan rezekinya, tinggal di negeri-Nya, dan melawan-Nya?” “Tidak.”
“Yang ketiga, jika hendak melawan Allah, lawanlah di tempat Ia tidak melihatmu.”
“Demi Allah, ini yang tersulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu semua yang tidak terlihat dan yang disimpan di dalam dada.” “Pantaskah makan rezekinya, bertempat tinggal di negerinya, dan melawannya?
“Jika datang malaikat maut mengambil rutmu, kamu akan berkata, ‘Akhirilah kematian saya sampai saya bertobat’. Malaikat akan berkata, ‘Enak saja. Jika kamu tahu, mengapa tidak tobat dulu-dulu’.”
Laki-laki itu belum puas lalu meminta opsi kelima. “Baik,” kata Ibrahim. “Jika datang Mungkar dan Nakir tolaklah.” “Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah Syekh, opsi yang lain.” “Jika kamu berada di tangan Allah Azz wa Jalla, sedangkan Allah memerintahkan memasukkanmu ke neraka, berkatalah kepada Tuhan. Jangan perintahkan mereka’.” “Saya mohon ampun kepada Allah. Saya bertobat kepada-Nya.”
Cerita ini dikutip oleh Syekh Yusuf Makassar dari kitab Zaadatul Musafirin (Perbekalan Para Pengelana) dalam salah satu risalahnya, An-Nafhatus Sailaniah (Embusan dari
Syekh Yusuf Makassar ini menulis lebih dari 20 karangan, terutama tentang tasawuf. Salah satunya dari Srilanka alias
Beliuah Syekh Yusuf
Beliau adalah seorang ulama besar kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Muhammad Yusuf atau lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf Al-Makassari Al-Bantani berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa
Syekh Yusuf Makassar, selain sebagai Seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai pejuang nasional dan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 1995. Beliau juga seorang sastrawan sekaligus sebagai ahli tasawuf (sufi).
Pergulatannya dengan ilinu agama, perjuangannya melawan penjajah, hingga beliau diasingkan ke
Pada tulisan ini, Republika akan mencoba mengetengahkan perjalanan dan pemikiran beliau dalam bidang tasawuf.
Persentuhan pertama kali dengan ilmu tasawuf didapatkannya dari Syekh Nuruddin al-Raniri di Aceh, yaitu dengan belajar tarekat Qadiriyah hingga beliau mendapatkan ijazah (sebuah pernyataan bahwa beliau diperbolehkan mengajarkannva kepada orang lain) dari al-Raniri. Selepas dari Aceh, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi melalui Yaman. Di Yaman beliau belajar pada Sayid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandiyah.
Masih di Yaman, beliau kembali belajar kepada Syekh Maulana Sayid Ali dan diberikan ijazah tarekat al-Baawaliayah. Selanjutnya, beliau menunaikan ibadah haji di Makkah. Selesai berhaji, beliau pergi ke Madinah dan belajar pada Syekh Hasan bin Syihabuddin al-Kurd al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu al-Barakat Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi. Beliau diberikan ijazah Khalwatiyah.
Dari sekian banyak tarekat yang beliau dapatkan. hal ini menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Syekh Yusuf. Tak heran, bila kemudia beliau sangat ahli dalam bidang tasawuf. Karena itu, dalam lontar versi Gowa disebutkan tentang kedalaman ilmu yang dimilikinya. Penguasaan ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf bagaikan tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya, terutama dalam bidang tasawuf ini membuat Syekh Yusuf senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Disebutkan, Syekh Yusuf senantiasa mempraktikkan ilmu tasawuf dalam hidupnya.
Dalam hidup, Syekh Yusuf menekankan pentingnya bagi setiap Muslim untuk menempuh jalan kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat, menurutnya, dipengaruhi oleh kecenderungan untuk mengikuti keinginan hawa nafsu, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.
Syekh Yusuf juga dikenal sebagai ulama yang sangat moderat. Dalam mengajarkan penyucian batin kepada murid-muridnya, beliau tidak menginginkan mereka meninggalkan seluruh urusan dunia dan hanya mengejar urusan akhirat. Menurut Syekh Yusuf kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri, dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Hidup dalam pandangan Syekh Yusuf, tidak hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Tetapi, kehidupan juga harus diilhami dengan cita-cita dan tujuan hidup untuk menuju ridha Allah SWT. Menurutnya, Allah SWT adalah inti dari orientasi dan tujuan hidup seorang Muslim, sedangkan dunia ini menjadi jalannya.
Sejak kecil, ilmu tasawuf sudah mencuri perhatiannya. Sebagian besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai guru besar. Pengetahuan mengenai tasawuf diperolehnya dengan cara menimba ilmu dari sejumlah ulama besar yang bermukim di tempat-tempat yang pernah ia singgahi. Di antaranya, Syekh Nuruddin al-Raniri, ulama masyhur di Aceh; Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi, ulama yang menggagas tarekat Naqsyabandi; Syekh Maulana Sayid Ali, penggagas tarekat al-Baalawiyah; Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani , ulama asal Madinah yang mencetuskan tarekat Syattarriyah; Syekh Abu al-Barakat Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi, ulama Damaskus penggagas tarekat Khalwatiyah.
Oleh karena itu, Syekh Yusuf pun banyak menulis buku dalam bidang tasawuf. Bukubuku mengenai ajaran tasawuf ditulisnya ketika dalam perantauan dan saat menjalani pengasingan. Ketika menjalani pengasingan di Srilanka, salah seorang ulama besar dari India yang ditemuinya di sana, Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf berjudul Kayfiyyat Al- Tasawwuf.
Begitu juga, selama menetap di Banten, Syekh Yusuf menulis sejumlah karya untuk mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Salah satu bukunya, Al-Barakat al-Sailaniyya yang berisi informasi tentang cara bagaimana mengikuti jalan sufisme, seperti berzikir, syahadat, dan cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah).
Ia berpendapat dalam buku tersebut mengenai tiga cara mengingat Allah (zikir), yakni melalui zikir al-nafi wa al-ithbat dengan mengucapkan La ilaaha Illah Allah; zikir al-mujarrad wa al-ishara wa al-anfas dengan mengucapka ‘hu’.
Karyanya yang lain, Al-Fawa’ih al-Yusufiya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, ditulis ketika dia menjawab pertanyaan orang beberapa masalah agama. Ia menganjurkan orang untuk banyak membaca Alquran dan memperkuat tauhid selain mengamalkan kewajiban agama. Dalam buku ini, ia juga merekomendasikan kepada mereka untuk sabar, syukur, dan jujur.
Seperti halnya Al-Fawa’ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, dalam kitabnya, Hashiyya, Syekh Yusuf juga menjelaskan makna syahadat yang berarti kekuasaan apa pun berasal dari Allah. Kitab Hashiyya ini hampir sama dengan buku Kayfiyat al-Mun-ghi wa al-Ithbat bi al-Hadits al-Qudsi, yang dia tulis di Srilanka. Kitab ini menjelaskan pentingnya mengingat Allah SWT di mana pun dan kapan pun, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Di dalam kitab ini juga dijelaskan cara-cara bertobat dan memperoleh ridha Allah SWT.
Sementara dalam kitabnya yang berjudul Mathalib al-Salikin, sang ulama tasawuf menjelaskan keesaan Allah sebagai landasan untuk menjadi seorang Muslim. Menurut dia, seorang Muslim harus percaya pada konsep tauhid (keesaan Allah) dan makrifah (pengetahuan tentang Allah) serta menjalankan ibadah. Urutannya dapat dilihat sebagaimatia pohon, terdiri atas batang yang diibaratkan sebagai tauhid, cabang serta daun-daunnya diibaratkan sebagai makrifah, dan ibadah sebagai buahnya.
Syekh Yusuf al-Makassari juga dikenal sebagai seorang pejuang pergerakan kemerdekaan
Selama di Banten, Syekh Yusuf turut membantu perjuangan yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa. Semasa pemerintahan Sultan Ageng, bangsa-bangsa Eropa mulai berekspansi ke wilayah Nusantara. Ketika para penjajah ini bermaksud menduduki wilayah Kesultanan Banten, bersama dengan Sultan Ageng, Syekh Yusuf melakukan perlawanan.
Namun, pasukan Sultan Ageng dan Syekh Yusuf akhirnya terdesak hingga harus melakukan perang gerilya.
Menurut Abu Hamid, guru besar Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Hasanuddin Makassar yang menulis tentang penjuangan Syekh Yusuf, mengatakan, Syekh Yusuf berlindung di sebuah tempat bernama Karang atau Aji Karang di Sukapura. Sukapura adalah nama lain sebelum menjadi Tasikmalaya.
Apa yang disebut Karang oleh Abu Hamid, tidak lain adalah Karangnunggal. Di situ terdapat kompleks Pamijahan dan Gua Safarwadi, tempat Syekh Abdul Muhyi, penyebar islam di Tasikmalaya, mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Di
Menurut Azyumardi Azra, sumber-sumber Belanda menyebutkan Syekh Yusuf mundur ke Desa Karang dan berhubungan dengan seseorang yang dipanggil ‘Hadjee Karang.’ Tokoh ini tidak lain adalah Abdul Muhyi, murid Syekh Abdul Rauf Singkel, ulama besar dari Aceh yang menyebarkan ajaran tarekat Syahaniyah.
Dengan segala tipu muslihat, Belanda menangkap ulama ini pada 14 Desember 1683 di Segara Anakan. Beliau dibawa dari Pamijahan ke
Pada 1684, beliau diasingkan ke Srilanka. Dan, pada 1693, beliau dibawa lagi ke
Banyak versi
Hingga saat ini, letak makam beliau masih simpang siur. Sedikitnya ada empat tempat yang diduga adalah makamnya, yakni di
Namun, menurut sejawaran Prof Anhar Gonggong, makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan. Hal ini dibuktikan dari beberapa sumber sejarah yang menyatakan bahwa jenazah Syekh Yusuf dibawa ke Gowa oleh Belanda atas permintaan Sultan Abdul Jalil. Peristiwa itu terjadi sekitar April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya. Wa Allahu A’Iam.
Pengaruh Syekh Yusuf di Afrika Selatan hingga kini masih sangat besar. Mantan presiden Afrika Selatan yang juga pejuang anti-apartheid, Nelson Mandela, menyebut Syekh Yusuf sebagai salah seorang putra Afrika terbaik dan pemberi inspirasi bagi masyarakat setempat. Bahkan, Pemerintah Afrika Selatan pada tanggal 25 September 2005 lalu menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah
Dalam sebuah kesempatan, Pemerintah Indonesia seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Pemerintah Afrika Selatan, memerintahkan Departemen Agama dan para sejarawan untuk menulis ulang biografi Syekh Yusuf Makassar sebagai teladan bagi generasi kini dan mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih