Karena kaum Yahudi enggan melaksanakan ibadah pada haRI Sabtu (sabat).
Bagi sebagian kaum Muslim, hari Jumat merupakan hari yang sangat penting. Sebab, di dalamnya terdapat perintah Allah bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat Jumat. Perintah shalat Jumat itu terdapat pada surah Al-Jumu’ah (QS 62) ayat 9-11.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan, apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan” dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.”
Para ulama sepakat, ayat tersebut di atas menegaskan perintah akan kewajiban shalat Jumat bagi umat Islam. Karena itu, apabila telah tiba waktu azan (diseru untuk melaksanakan shalat Jumat), segala pekerjaan hendaknya segera ditinggalkan, termasuk perdagangan (jual beli) sekalipun.
Sebagian ulama menyatakan, perintah shalat Jumat itu hanya diwajibkan atas laki-laki dan disunahkan bagi perempuan. Namun, sebagian lagi berpendapat, ayat 9 surah al-Jumu’ah ini ditujukan kepada seluruh umat Islam (laki-laki maupun perempuan) dan mempunyai kewajiban yang sama untuk melaksanakan shalat Jumat. Bagi mereka yang meyakini bahwa ayat tersebut merupakan kewajiban melaksanakan shalat Jumat, maka ‘haram’ hukumnya untuk meninggalkannya serta ‘haram’ pula melakukan jual beli, terutama saat khatib telah naik mimbar untuk menyampaikan khutbah sampai shalat jumat selesai dilaksanakan.
Namun, yang banyak terjadi, terutama di sejumlah kota besar ketika azan telah berkumandang, banyak umat Islam yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, di antaranya tanpa rasa malu, melakukan jual beli di sekitar masjid. Selain itu, banyak pula para wanita yang membeli makanan di saat khatib sedang berkhutbah. Padahal, dalam ayat ini telah ditegaskan untuk meninggalkan praktik jual beli. Mereka yang meninggalkan praktik jual beli pada saat khatib sedang berkhutbah dan mereka yang menyegerakan diri untuk melaksanakan shalat Jumat, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ashabus Sabt
Jauh sebelum Rasulullah SAW diutus oleh Allah menjadi nabi dan rasul, Allah menyeru Nabi Musa Alaihissalam (AS) untuk mengajak umatnya (kaum Yahudi) agar melaksanakan perintah Allah, yakni melakukan ibadah pada hari Sabtu (Sabat). Perintah menghormati dan beribadah pada hari Sabtu itu terdapat pada surah An-Nahl ayat 124. “Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya,...”
Awalnya, perintah menghormati dan beribadah pada hari Sabtu ini diikuti kaum Yahudi. Namun, mereka kemudian melanggar perintah itu setelah diuji oleh Allah SWT, berupa ikan yang melimpah pada hari Sabtu di pinggir kota Elat (Elia, Palestina), di teluk Aqabah di pesisir Laut Merah.
“Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air. Dan, di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” [QS Al-A’raaf (7) : 163]
Ayat serupa terdapat pada surah Al-Baqarah (2) ayat 65, An-Nisaa (4) ayat 47 dan 154, serta al-Maidah (5) ayat 60.
Beribadah pada han Sabtu itu semula disetujui kaum Yahudi. Pada hari itu, mereka hanya diwajibkan melaksanakan ibadah (berzikir) dan meninggalkan perdagangan serta hal-hal yang bersifat keduniawian.
Menurut salah satu riwayat, awalnya perintah ibadah kepada umat Yahudi ini pada hari Jumat, namun mereka meminta agar pelaksanaan ibadah dipindah pada hari Sabtu. Mengingat pada hari Sabtu itulah, Allah selesai menciptakan makhluk-Nya. Usul tersebut diterima oleh Nabi Musa. Maka, sejak saat itu, setiap hari Sabtu diselenggarakan kewajiban beribadah kepada Allah. Dan, kegiatan ini terus berlanjut hingga datang ujian kepada mereka, yaitu banyaknya ikan di pinggir pantai, dekat kota tempat tinggal mereka.
Menjadi kera
Ujian ini rupanya membuat mereka lupa untuk melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah pada hari Sabtu. Bahkan, ketika diperingatkan, mereka malah marah bahkan meminta Nabi Musa agar pelaksanaan ibadah dipindah pada hari lain, selain Sabtu. (The Best Stories of Quran, 2006, 161-162)
Peringatan sudah disampaikan berkali-kali kepada mereka oleh Nabi Musa, namun
mereka tak mau menuruti juga. Akhirnya, Allah mengutuk mereka menjadi kera. “Dan, sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” [QS Al-Baqarah (2): 65, Al-A’raaf (7) : 166]
Sebagian ahli tafsir memandang bahwa perumpamaan kaum Ashabus Sabt yang dijadikan sebagai kera itu merupakan suatu perumpamaan. Artinya, hati mereka menyerupai hati kera, karena sama-sama tidak menerima nasihat dan peringatan. Pendapat jumhur mufassirin (banyak ahli tafsir) mengenal hal ini, mereka benar-benar berubah menjadi kera, hanya tidak beranak, tidak makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga hari. “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan, Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” [An-Nisa (4) : 1541].
“Hai orang-orang yang telah diberii Al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Alqunan) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putar ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki onang-onang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan, ketetapan Allah pasti berlaku.” [An-Nisa (4) : 47].
Terpecah Menjadi
Tiga Kelompok
Ashabus Sabt adalah sekelompok kaum Yahudi yang menjadi umat Nabi Musa Alaihissalam (AS). Mereka tinggal di dekat kota Elat (Ella), di pesisir Laut Merah. Allah mengharamkan mereka untuk menangkap ikan pada hari Sabtu.
‘Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” [QS Al-A’raaf (7): 1631
lbnu Katsir dalam tafsirnya Ibnu Katsir berpendapat, penduduk Elat (Allah, Ella) merupakan sebuah desa yang berada di antara Madyan dan Ath-Thur (eltor), di dekat Teluk Aqabah dan pesisir Laut Merah. Mereka melanggar perintah Allah yang mengharamkan untuk menangkap ikan pada hari Sabtu. Pada hari-hari selain Sabtu, Allah menguji mereka dengan meniadakan ikan-ikan tersebut. Mereka kemudian menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah, dengan melakukan segala upaya secara tersirat yang bermakna melakukan perbuatan haram.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Faqih lbnu Bithah rahimahullah, dan Abu Hunairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian melanggar perintah layaknya orang-orang Yahudi—menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah—dengan alasan apa pun.” Menurut pendapat sejumlah ulama dan ahli tafsir, kaum Yahudi ini terbagi tiga kelompok. Pertama, mereka yang melanggar dan menghalalkan penangkapan ikan pada han Sabtu. Kedua, mereka yang melarang perbuatan tersebut dan meninggalkan mereka. Ketiga, mereka yang diam saja, tidak melakukannya, dan tidak pula melarang perbuatan teman-temannya. Namun, mereka hanya berkata pada kelompok yang melarang, “Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah dengan azab yang pedih.” [Al-A’raaf (7) : 164].
Allah berfirman dengan menjelaskan azab yang menimpa meneka.
“Dan, (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah, dengan azab yang pedih. Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertakwa’. Maka, tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang, mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” [QS al-A’raaf (7) : 64-66]
ltulah balasan bagi orang-orang yang senantiasa melanggar perintah Allah dan senantiasa berlaku fasik. “Katakanlah : ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orangfasik) di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut’?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” [Al-Maidah (5) : 601].
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan surah Al-A’raaf ayat 66 tersebut, khususnya berkaitan dengan dijadikannya kaum Bani israil itu menjadi kera. lbnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Ia sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa kelompok ketiga juga termasuk orang yang binasa, seperti halnya kelompok pertama, karena mereka berhak mendapatkannya akibat mereka diam dan tidak memberi nasihat. Boleh jadi diamnya mereka itu menyebabkan kelompok pertama terus bercokol dalam kezalimannya. Karena orang yang tidak melarang dari perbuatan mungkar, baginya azab di sisi Allah.
Allah berfirman, ‘Telah dilaknat orang-orang kafir dan Bani Israil dengan lisan Daud dan isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [Al-Maidah (5) : 78-791 ]
Berbeda dengan lbnu Katsir, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fl Zhilal AI-Qur’an menjelaskan, kendati kelompok ketiga tidak disebutkan dalam nas Alquran, mungkin karena memandang rendah urusan mereka meskipun tidak ditimpa azab. Karena, mereka tidak mau melakukan pencegahan secara aktif, tetapi hanya mengingkarinya secara pasif (membenci kemungkaran, tetapi tidak mencegahnya). Karena itu, mereka pantas diabaikan meskipun tidak terkena azab.
Bagi sebagian kaum Muslim, hari Jumat merupakan hari yang sangat penting. Sebab, di dalamnya terdapat perintah Allah bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat Jumat. Perintah shalat Jumat itu terdapat pada surah Al-Jumu’ah (QS 62) ayat 9-11.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan, apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan” dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.”
Para ulama sepakat, ayat tersebut di atas menegaskan perintah akan kewajiban shalat Jumat bagi umat Islam. Karena itu, apabila telah tiba waktu azan (diseru untuk melaksanakan shalat Jumat), segala pekerjaan hendaknya segera ditinggalkan, termasuk perdagangan (jual beli) sekalipun.
Sebagian ulama menyatakan, perintah shalat Jumat itu hanya diwajibkan atas laki-laki dan disunahkan bagi perempuan. Namun, sebagian lagi berpendapat, ayat 9 surah al-Jumu’ah ini ditujukan kepada seluruh umat Islam (laki-laki maupun perempuan) dan mempunyai kewajiban yang sama untuk melaksanakan shalat Jumat. Bagi mereka yang meyakini bahwa ayat tersebut merupakan kewajiban melaksanakan shalat Jumat, maka ‘haram’ hukumnya untuk meninggalkannya serta ‘haram’ pula melakukan jual beli, terutama saat khatib telah naik mimbar untuk menyampaikan khutbah sampai shalat jumat selesai dilaksanakan.
Namun, yang banyak terjadi, terutama di sejumlah kota besar ketika azan telah berkumandang, banyak umat Islam yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, di antaranya tanpa rasa malu, melakukan jual beli di sekitar masjid. Selain itu, banyak pula para wanita yang membeli makanan di saat khatib sedang berkhutbah. Padahal, dalam ayat ini telah ditegaskan untuk meninggalkan praktik jual beli. Mereka yang meninggalkan praktik jual beli pada saat khatib sedang berkhutbah dan mereka yang menyegerakan diri untuk melaksanakan shalat Jumat, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ashabus Sabt
Jauh sebelum Rasulullah SAW diutus oleh Allah menjadi nabi dan rasul, Allah menyeru Nabi Musa Alaihissalam (AS) untuk mengajak umatnya (kaum Yahudi) agar melaksanakan perintah Allah, yakni melakukan ibadah pada hari Sabtu (Sabat). Perintah menghormati dan beribadah pada hari Sabtu itu terdapat pada surah An-Nahl ayat 124. “Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya,...”
Awalnya, perintah menghormati dan beribadah pada hari Sabtu ini diikuti kaum Yahudi. Namun, mereka kemudian melanggar perintah itu setelah diuji oleh Allah SWT, berupa ikan yang melimpah pada hari Sabtu di pinggir kota Elat (Elia, Palestina), di teluk Aqabah di pesisir Laut Merah.
“Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air. Dan, di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” [QS Al-A’raaf (7) : 163]
Ayat serupa terdapat pada surah Al-Baqarah (2) ayat 65, An-Nisaa (4) ayat 47 dan 154, serta al-Maidah (5) ayat 60.
Beribadah pada han Sabtu itu semula disetujui kaum Yahudi. Pada hari itu, mereka hanya diwajibkan melaksanakan ibadah (berzikir) dan meninggalkan perdagangan serta hal-hal yang bersifat keduniawian.
Menurut salah satu riwayat, awalnya perintah ibadah kepada umat Yahudi ini pada hari Jumat, namun mereka meminta agar pelaksanaan ibadah dipindah pada hari Sabtu. Mengingat pada hari Sabtu itulah, Allah selesai menciptakan makhluk-Nya. Usul tersebut diterima oleh Nabi Musa. Maka, sejak saat itu, setiap hari Sabtu diselenggarakan kewajiban beribadah kepada Allah. Dan, kegiatan ini terus berlanjut hingga datang ujian kepada mereka, yaitu banyaknya ikan di pinggir pantai, dekat kota tempat tinggal mereka.
Menjadi kera
Ujian ini rupanya membuat mereka lupa untuk melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah pada hari Sabtu. Bahkan, ketika diperingatkan, mereka malah marah bahkan meminta Nabi Musa agar pelaksanaan ibadah dipindah pada hari lain, selain Sabtu. (The Best Stories of Quran, 2006, 161-162)
Peringatan sudah disampaikan berkali-kali kepada mereka oleh Nabi Musa, namun
mereka tak mau menuruti juga. Akhirnya, Allah mengutuk mereka menjadi kera. “Dan, sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” [QS Al-Baqarah (2): 65, Al-A’raaf (7) : 166]
Sebagian ahli tafsir memandang bahwa perumpamaan kaum Ashabus Sabt yang dijadikan sebagai kera itu merupakan suatu perumpamaan. Artinya, hati mereka menyerupai hati kera, karena sama-sama tidak menerima nasihat dan peringatan. Pendapat jumhur mufassirin (banyak ahli tafsir) mengenal hal ini, mereka benar-benar berubah menjadi kera, hanya tidak beranak, tidak makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga hari. “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan, Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” [An-Nisa (4) : 1541].
“Hai orang-orang yang telah diberii Al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Alqunan) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putar ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki onang-onang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan, ketetapan Allah pasti berlaku.” [An-Nisa (4) : 47].
Terpecah Menjadi
Tiga Kelompok
Ashabus Sabt adalah sekelompok kaum Yahudi yang menjadi umat Nabi Musa Alaihissalam (AS). Mereka tinggal di dekat kota Elat (Ella), di pesisir Laut Merah. Allah mengharamkan mereka untuk menangkap ikan pada hari Sabtu.
‘Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” [QS Al-A’raaf (7): 1631
lbnu Katsir dalam tafsirnya Ibnu Katsir berpendapat, penduduk Elat (Allah, Ella) merupakan sebuah desa yang berada di antara Madyan dan Ath-Thur (eltor), di dekat Teluk Aqabah dan pesisir Laut Merah. Mereka melanggar perintah Allah yang mengharamkan untuk menangkap ikan pada hari Sabtu. Pada hari-hari selain Sabtu, Allah menguji mereka dengan meniadakan ikan-ikan tersebut. Mereka kemudian menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah, dengan melakukan segala upaya secara tersirat yang bermakna melakukan perbuatan haram.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Faqih lbnu Bithah rahimahullah, dan Abu Hunairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian melanggar perintah layaknya orang-orang Yahudi—menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah—dengan alasan apa pun.” Menurut pendapat sejumlah ulama dan ahli tafsir, kaum Yahudi ini terbagi tiga kelompok. Pertama, mereka yang melanggar dan menghalalkan penangkapan ikan pada han Sabtu. Kedua, mereka yang melarang perbuatan tersebut dan meninggalkan mereka. Ketiga, mereka yang diam saja, tidak melakukannya, dan tidak pula melarang perbuatan teman-temannya. Namun, mereka hanya berkata pada kelompok yang melarang, “Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah dengan azab yang pedih.” [Al-A’raaf (7) : 164].
Allah berfirman dengan menjelaskan azab yang menimpa meneka.
“Dan, (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah, dengan azab yang pedih. Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertakwa’. Maka, tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang, mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” [QS al-A’raaf (7) : 64-66]
ltulah balasan bagi orang-orang yang senantiasa melanggar perintah Allah dan senantiasa berlaku fasik. “Katakanlah : ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orangfasik) di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut’?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” [Al-Maidah (5) : 601].
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan surah Al-A’raaf ayat 66 tersebut, khususnya berkaitan dengan dijadikannya kaum Bani israil itu menjadi kera. lbnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Ia sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa kelompok ketiga juga termasuk orang yang binasa, seperti halnya kelompok pertama, karena mereka berhak mendapatkannya akibat mereka diam dan tidak memberi nasihat. Boleh jadi diamnya mereka itu menyebabkan kelompok pertama terus bercokol dalam kezalimannya. Karena orang yang tidak melarang dari perbuatan mungkar, baginya azab di sisi Allah.
Allah berfirman, ‘Telah dilaknat orang-orang kafir dan Bani Israil dengan lisan Daud dan isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [Al-Maidah (5) : 78-791 ]
Berbeda dengan lbnu Katsir, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fl Zhilal AI-Qur’an menjelaskan, kendati kelompok ketiga tidak disebutkan dalam nas Alquran, mungkin karena memandang rendah urusan mereka meskipun tidak ditimpa azab. Karena, mereka tidak mau melakukan pencegahan secara aktif, tetapi hanya mengingkarinya secara pasif (membenci kemungkaran, tetapi tidak mencegahnya). Karena itu, mereka pantas diabaikan meskipun tidak terkena azab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih