Misteri inilah yang kini terus menggelayuti benak banyak orang yang hidup di dunia fana ini. Wanita Jerman pengagum tokoh sufi Maulana Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimel, melalui bukunya ‘Misteri Angka-Angka’ pernah menulis panjang lebar mengenai daya magis atau misteri yang melatarbelakangi angka-angka ini.
Tapi yang penting sebenarnya sampai sejauh manakah pengaruh peradaban Islam dalam bidang numerology ini ?
Bila kita lihat banyak sekali orang yang tidak sadar bahwa bentuk angka yang kita lihat sehari-hari itu adalah angka Arab (Arabic number). Ketidaktahuan ini pun meluas, tak peduli mereka itu adalah orang yang tinggal di belahan bumi barat, timur utara, atau selatan. Mereka terkecoh seolah angka yang lazim digunakan adalah angka latin.
Almarhum Nurcholish Madjid dalam sebuah ceramahnya beberapa tahun silam pernah menyinggung soal ‘eksistensi’ angka tersebut. Dia mengungkapkan bahwa di Barat pun ketika orang ingin menyebut nama angka, maka dia harus menjelaskan terlebih dahulu apa nama angka itu. Sebab, ada dua model yang masih lazim dipakai hingga kini, yakni angka Romawi (disimbolkan I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, ...) dan angka Arab (disimbolkan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9...)
“Kalau tulisan Latin itu sudah lama mati. Datam pergaulan dunia modern kini tinggal angka Romawi dan Arab yang masih digunakan. Namun angka Romawi pun sangat jarang digunakan karena tidak praktis dan memakan tempat. Beda dengan angka Arab yang sangat praktis dan mengena sesuai alur logika,” kata Nurchohish Madjid.
Harus diakui, kepraktisan angka Arab yang pengaruhnya mendunia itu juga sebagai imbas dari penyebaran ajaran Islam. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat kalau kita membaca tuhisan
Tapi yang paling mendasar berkah’ dari digunakannya angka Arab ini adalah dipakainya logika matematika. Ini juga sebagai imbas dari kejayaan peradaban Islam di mana kemudian memperkenalkan aneka model hitungan, seperti misalnya penggunaan metode al-jabr yang dikenal di dunia ilmu pengetahuan masa kini sebagai algebra, atau algorithm yang kemudian kita kenal sebagai logaritma.
Dan salah satu karya sarjana Arab yang kemudian disebut sebagai salah satu peletak dasar ditulis Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, IHisab alJabr wa al-Muqabalah (buku tentang restitusi dan Persamaan) yang ditulis sekitar tahun 800 M. Buku ii kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Robert dan Chester sekitar tahun 1143 M.
Bukan hanya itu, berkat angka Arab itulah dunia mengenal model penghitungan ganjil dan genap. Model ni tidak dikenal dalam angka Romawi karena model ini hanya mempadankan bahwa angka itu jumlah bilangan saja.
Pengaruh yang paling sederhana bagi dunia masa moderen ini adalah berkat adanya pemikiran ganjil-genap’, para keturunan nabi Adam AS ini dapat membuat lift dan membuat baut. Inilah hal yang paling sepele, sebelum terkait dengan hitungan invers sebagai kelanjutan aljabar yang kemudian bisa menghitung keretakan pesawat seperti yang dipakai dalam disertasi BJ Habibie itu.
Daya tank terhadap misteri angka itulah yang terus membuat manusia semenjak ribuan tahun lalu hingga masa kini, menjadi penasaran. Awalnya, manusia bertanya-tanya mengenai tanda apakah yang diberikan oleh Sang Pembuat Alam Semesta ketika menampilkan hamparan bumi, panas matahari, serta sosok bulan dan bintang.
Akibatnya, sebagai hasil perenungannya kemudian membuat manusia berpikir bahwa ada sesuatu misteri ketika harus melambangkan ciptaan Tuhan itu. Begitu juga angka, sebagai salah satu metode dalam sistem lambang manusia, juga dipercaya punya sesuatu hal atau maksa yang khusus.
Pada awal peradaban, angka memang dianggap sebagai hal yang merepresentasikan roh-roh, dewa, dewa, atau setan-setan. Dengan mengetahui angka maka dianggap seorang manusia memiliki kekuatan sihir, membuat mantera-mantera, atau bisa membuat sesuatu. Situasi seperti ini pernah terjadi ketika para cenayang atau tukang sulap (Alchemy) ingin membuat emas tiruan.
Namun, seiring dengan hadirnya agama samawi, secara perlahan hal itu dikikis. Ajaran dan peradaban Islam kemudian mengokohkan dan memberi dasar logikanya dengan merobek misteri menjadi hal yang bisa dinalar. Dan argumentasi inilah yang kemudian turut pula menjadi alasan mengapa orang
Pada sisi lain, adanya dasar logika dalam memahami angka itu kemudian dapat menjawab misteri mengapa kaum Muslim menyukai angka ganjil. Sebagai jawabannya adalah karena dalam sebuah hadits disebutkan Rasul Muhammad SAW pernah berkata angka ganjil itu mendekatkan kepada eksistensi sebenar-benarnya dari Allah SWT yang tunggal (monoteisme).
Sedangkan dasar logika angka sembilan menjadi favorit, terutama di kalangan kaum sufi, karena angka ini melambangkan ‘kesempurnaan’. Sebab, setelah angka sembilan bilangan adalah kembali ke ‘0’ (nol). Maka angka sembilan dipakai sebagai lambang ‘ketertinggian’ (ultimate). Hal ini kemudian dieksplisitkan dengan sifat Allah SWT yang jumlah 99 itu.
Begitu pula bila ingin membuka misteri mengapa orang
Akibatnya, mereka lebih suka memilih angka ‘8’ dari pada angka ‘9’. Hal ini karena tarikan garis yang ada dalam angka ini tidak terputus dan juga melambangkan simbol ‘Yin dan Yang’. Angka ‘8’ melambangkan kedudukan yang tinggi (meski tidak sempurna) namun masih bisa digapai manusia asalkan didukung dengan usaha yang keras serta keberuntungan.
Sedangkan untuk misteri angka ‘13’ yang membuat orang barat ketakutan itu ternyata berasal dari kepercayaan dalam tradisi Kristen karena terkenang akan peristiwa ‘Perjamuan Terakhir’. Waktu itu, salah seorang murid - ketiga belas yang bernama Yudas Iskariot, mengkhianati Yesus.
Imbas buruk pengkhianatan Yudas itu ternyata kemudian sangat luar biasa.
Jadi, bila jika dikaji lebih mendalam, angka-angka itu ternyata bukan hanya mengelilingi rumusan abstrak, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah sistem dari berbagai hubungan yang misterius. Dan di sinilah kazanah Islam telah memberikan andil terbesarnya kepada kehidupan alam semesta. Pengetahuan mengenai angka ini kemudian terecermin dalam pengetahuan kesusasteraan sistem astronomi, arsitektur, matematika, dan juga dalam musik yang dianggap memanifestasikan harmoni kehidupan.
Bermula dari PYTHAGORAS
peletak dasar pemikiran dan keahlian menyangkut angka-angka banyak sekali dipengaruhi oleh dasar-dasar pemikiran yang dibangun Pythagoras yang lahir di Pulao
Meski begitu,jauh sebelum kelahiran Pythagoras, pengaruh angka sudah meninggalkan jejaknya bagi peradabaN. Pembangunan piramida bangsa Aztek di Meksiko misalnya, jelas sekali dilandasi adanya suatu sistem hitungan angka yang sangat mumpuni. Begitu juga di Mesir kuno, terutama ketika bangsa itu hendak membangun piramida.
Jejak Pytahgoras kini masih terus dipakai yaitu dengan teori yang sudah menjadi abadi untuk melakukan pengukuran terhadap segitiga siku-siku: kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi pendeknya.
Rumus ini abadi hingga kini, bersama berbagai pemikiran Pythagoras lainnya baik di bidang spiritual, sastra, musik, dan lainnya.
Peradaban Islam kemudian menyempurnakan peninggalan Phytagoras itu. Jejak peninggalan sistem hitungan ini bisa dilihat pada bentuk arsitektur dan ornamen bangunan yang megah dan rumit.
ANGKA 99
Sembila puluh sembilan acapkali dianggap sebagai ide mengenai kebalikan keesaan absolute. Angka ini dipandang sebagai sebuah ‘kehendak’ untuk mencapai kesempurnaan. Umat muslim memandang angka ini sebagai sebutan atau nama terindah Allah (al-asmaa al-husna) yang mengacu pada keesaan yang inheren di dalam nama kebesaran-Nya yang meliputi segala sesuatu.
Pada berbagai karya puisi klasik islam, sebutan nama 99 ini sangatlah akrab disebut. Kaum sufi menghapal dan mendzikirkan segala nama itu. Bahkan, acapkali dilantunkan melalui tuturan bait lagu-lagu yang indah.
Yang paling elok, para penyair muslim selalu mentamsilkan proses pertemuan dengan Tuhan dengan melansirkan penggalan puisi : Berilah kami 99 ciuman di tambah 1 (satu).
Makna puisi ini jelas, yakni keinginan sebuah hati manusia agar bisa mencapai kesempurnaan yang dilambangkan pada angka berikutnya, yakni 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih