Dilahirkan pada 1 Agustus 1868, Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ayahnya, KH Abu Bakar, adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. dan ibunya adalah putri dari H Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ahmad Dahlan kecil dididik dalam lingkungan pesantren yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada umur 15 tahun, ia pergi menunaikan ibadah haji dan tinggal di Makkah selama kurang lebih lima tahun, untuk menuntut ilmu agama dan belajar bahasa Arab.
Ketika kembali ke karnpungnya tahun 1888, ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah. Ahmad Dahian adalah seorang yang memiliki pengetahuan sangat luas. Meskipun usianya baru 20 tahun, ia mulai merintis - jalan pembaruan di kalangan umat Islam. Misalnya, membetulkan arah kiblat shalat pada masjid yang dipandang tidak tepat arahnya, dengan menyesuaikan perhitungan ilmu falak (ilmu perbintangan) yang dikuasainya. Usaha ini sempat menimbulkan insiden yang membuat ia dan istrinya hampir saja meninggalkan Kauman,
Kemudian, ia memberikan pelajaran agama di sekolah negeri yang saat itu tidak pernah dilakukan oleh kiai lainnya. Ia juga sangat peduli pada kaum dhuafa, anak yatim, dan fakir miskin agar selalu diperhatikan dan diayomi. Hal ini selalu ia ingatkan kepada murid-muridnya agar senantiasa memperhatikan dan menolong kaum dhuafa tersebut.
Selama menuntut ilmu di Makkah. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Abmad Dahlan. Jiwa dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh aliran pembaruan yang dibawa oleh para tokoh ini. Kelak, melalui lembaga yang didirikannya, Muhammadiyah, ia melakukan pembaruan terhadap pemahaman keagamaan (keislaman) di Tanah Air.
Dalam pandangannya, pemahaman keislaman di Tanah Air saat itu masih kolot dan dapat menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Karena itu, menurutnya, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbarui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam, yakni dengan kembali kepada Alquran dan hadis.
Namun, ia menyadari bahwa upaya itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara saksama. Dan, kerja sama antar beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada umat manusia) tersebut, Ahmad Dahlan gigih membina kaum muda yang belum begitu banyak bersinggungan dengan hal-hal yang berbau keislaman. Bersama dengan kaum muda tersebut, Ahmad Dahlan melakukan dakwah dan mengajak umat pada ajaran Alquran dan hadis. Di samping itu, membangkitkan semangat dan kesadaran umat untuk memajukan bangsa Indonesia, dari ketertinggalan akibat penjajahan di Tanah Air.
Strategi yang dipilih untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, adalah dengan mendidik para calon pamong praja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis
Dengan mendidik para calon pamong praja tersebut diharapkan akan segera memperluas gagasannya tersebut. Karena, mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru, diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah. Sebab, mereka mempunyai murid yang banyak.
Karena itu, Ahrnad Dahian juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Ia mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaruannya.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan menginginkan suatu pembaruan, dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Alquran dan hadis. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan, sejak awal ia telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik, tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Berjuang Untuk Kebaikan Umat
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnah, tuduhan, dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan, ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun, berbagai rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di Tanah Air, mampu mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda saat itu untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah Nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, di daerah lain, seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri, telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta, memakai nama lain. Misalnya, Nurul slam di Pekalongan, di Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo, berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF). Bahkan, dalam Kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan dan jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, HambudiSuci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, dan Syahratul Mubtadi.
Gagasan pembaruan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tablig ke berbagai
Semakin lama, Muhammadiyah makin berkembang hampir di seluruh
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya, dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan 12 kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah ,Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Sampai akhir hayatnya (wafat tahun 1923), KH Ahmad Dahlan menjadi ketua Pusat Muhammadiyah. Dengan bendera Muhammadiyah yang dikibarkannya sejak 1912, ia telah melakukan banyak pekerjaan besar bagi kemajuan bangsa dan masa depan umat Islam. Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini, melalui pembaruan Islam dan pendidikan, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden No 657 Tahun 1961.
Benahi Arah Kiblat
Kehidupan beragama d kalangan umat Islam pada masa kolonial mengalami emerosotan. Praktik-praktik ibadah yang dijalankan umat Islam pada saat itu.bercampur dengan tradisi masyarakat setempat. Salah satu contohnya, banyaknya bangunan masjid di Tanah Jawa yang pembangunannya tidak didasarkan pada kepentingan agama, tetapi didasarkan pada kerapian pembangunan negara. Akibatnya, hanyak masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arab Masjidil Haram di Makkah.
Bangunan masjid kala itu kebanyakan mengikuti rentetan jalan yang sudah ada. Malah, ada masjid yang menghadap ke arah timur laut dan kiblatnya ke arab barat daya. Karena, jalan besar yang mukanya membujur dari timur dan ke barat laut, tidak dari selatan ke utara menurut petunjuk kompas. Ada juga masjid yang kiblatnya tepat ke arab Masjidil Haram, namunjumlahnya tidak banyak. Masjid-masjid tersebut, antara lain, masjid di Demak, daerah Semarang, masjid di Pasargede, dan masjid Panembahan Senopati di Yogyakarta.
Masalah arah kiblat ini tidak menjadi perhatian kaum Muslimin pada saat itu. Mengetahui bahwa masjid-masjid di Indonesia pada umumnya dan di Tanah Jawa pada khususnya, banyak yang kiblatnya tidak tepat menuju ke arah Masjidil Haram di Mekkah, sebagai orang yang ahli dalam ilmu falak, KH Ahmad Dahlan pun berusaha untuk membenarkan kiblat shalatnya kaum Muslimin Indonesia dalam masjid-masjidnya, terutama di Yogyakarta.
Langkah yang ditempuh KH Ahmad Dahlan saat itu terbilang unik. Ia tidak bertindak secara frontal, melainkan dengan kata-kata bijak. Dalam suatu kesempatan, kepada jamaah, dia mengatakan bahwa bengunan surau yang sudah bendiri harus diperbesar dan dipanjangkan, serta diperindah dan kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Makkah. Sehingga, seluruh jamaah dapat ditampung di dalam surau tersebut. Usulan tersebut ditenima sepenuhnya eleh jamaah.
Apa yang dilakukan olehnya tidak berhenti sebatas itu. Untuk memperbaiki surau-surau dan masjid-masjid di tempat lain, yang masih kurang sempurna kiblatnya, KH Ahmad Dahlan pun berinisiatif mengumpulkan para tokoh ulama di Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, untuk melakukan musyawarah. Dalam hal ini, setiap takoh ulama tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda. Namun demikian, KH Ahmad Dahlan.tetap merasa gembira. Karena sesuai dengan hasil yang diperoleh, musyawarah tersebut telah membawa pengaruh yang besar bagi kaum Muslimin di Tanah Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih