Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya

Silang Budaya Cina-Jawa
Cheng Ho dikenal sebagai seorang laksamana era Dinasti Ming, Cina (Tiongkok). Atas perintah Kaisar Chu Li (kaisar ke3), Laksamana Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara.

Cheng Ho yang beragama Islam berperan dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Oleh karena itu, namanya diabadikan pada sejumlah masjid dengan nama Masjid Cheng Ho. Antara lain, Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya. yang diresmikan pada 13 Oktober 2002; Masjid Cheng Ho di Pasuruan diresmikan pada Juni 2008; ada juga di Palembang yang diresmikan pada Agustus 2008.

Selain itu, Cheng Ho juga dikenal sebagai seorang yang memiliki andil besar dalam membangun keharmonisan lintas rasa, suku, budaya, dan agama.

Sejarah mencatat pada abad ke-15 terdapat iring-iringan 62 kapal besar dan 225 kapal kecil bergerak dari Tiongkok ke negara-negara di Benua Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Dalam ekspedisi tersebut, terdapat 27 ribu awak kapal yang terdiri atas prajurit, ahli astronomi, ahli geognafi, politikus, ahli bahasa, tabib, juru tulis, intelektual, serta ahli agama. Ekspedisi yang diperintahkan oleh Kaisar Chu-Li, kaisar ketiga Dinasti Ming, tersebut diakui sebagai yang pertama dan yang terbesar sepanjang zaman. Kapal yang ditumpangi Cheng Ho bernama ‘kapal pusaka’. Panjangnya mencapai 140 meter; lebar 56 meter; lima kali lebih besar dari kapal Columbus.

Berbeda dengan penjelajah asal Eropa, semacam Columbus dan Vasco da Gama yang mengusung semangat imperialisme, ekspidisi muhibah Cheng Ho justru membawa pesan perdamaian. Dalam kurun waktu 1405-1433 M, ia singgah di kepulauan Nusantara di antaranya kota-kota di Jawa, seperti Semarang, Tuban, Gresik, dan Trowulan (Mojokerto) yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit.

Di kota-kota itu, semangat persaudaraan Cheng Ho diterjemahkan dalam pendirian tempat-tempat ibadah yang memadukan gaya arsitektur Tiongkok dan Jawa hingga ciri kedua budaya yang menyatu secara serasi. Fakta itu menggambarkan keterbukaan kedua kelompok masyarakat: pribumi dan pendatang, yang sama-sama berkomitmen membangun keharmonisan sosial di atas perbedaan. Sayang, keharmonisan itu akhirnya runtuh akibat politik pecah belah negara-negara penjajah.

Jasa-jasa Cheng Ho memberikan inspirasi Pembina Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITT) Surabaya untuk mendirikan masjid atas namanya, Masjid Muhammad Cheng Ho. Nama asli Cheng Ho adalah Ma Ho. Dikatakan oleh Freddy H Ista dalam Semangat Admiral Cheng Ho dan Ekspresi Toleransi Masjid Muhammad Cheng Ho Indonesia, kebanyakan dari komunitas Muslim Tionghoa di selatan Tiongkok niemiliki nama keluarga ‘Ma’ yang sering dikaitkan dengan nama ‘Muhammad’. Nama itulah yang akhirnya juga disematkan pada masjid indah itu.

Makna arsitektur masjid

Aristektur Masjid Muhammad Cheng Ho memiliki desain yang cukup menarik. Freddy Istanto memaparkan elemen-elemen masjid dan nilai-nilai spiritualnya dengan lugas dan detail. Ia menjelaskan, secara umum, bangunan Tiongkok berorientasi pada konsep dasar Feng Shui berupa upaya menjaga keseimbangan tiga wujud alam, yaitu, langit, bumi, dan manusia. Konsep Feng Shui ini diaplikasikan dalam bentuk-bentuk ruang dan pewarnaan. Warna merah, kuning, dan hijau mendominasi seluruh elemen bangunan yang mirip klenteng itu.

Desain bangunan yang kental dengan nuansa Tiongkok, mengingatkan masyarakat Tionghoa bahwa sebagian nenek moyang mereka adalah penganut Islam, namun tetap memelihara warisan budaya. Sementara itu, ornamen Islam dihadirkan melalui lafal “Allah” di puncak atap dan “Allah Muhammad” di atas pintu masuk serta hiasan kaligrafi pada dinding-dinding bagian luar dan dalam masjid.

Gaya
arsitektur Masjid Muhammad Cheng Ho mendapatkan pengaruh dari masjid tertua di Tiongkok, Niu Jie, yang dibangun pada tahun 996 M. Pengaruh itu terutama terdapat pada atapnya yang mirip pagoda. Menurut Freddy, model atap pagoda yang tinggi menggambarkan pentingnya ruang di bawahnya, yaitu ruang ibadah utama. Urgensi ruangan ini dideskripsikan lewat nuansa Tiongkok yang kental, mulai dari bentuk, warna, hingga ornamen-ornamennya.

Menariknya, bentuk atap Masjid Muhammad Cheng Ho mengisyaratkan adanya kemiripan antara bentuk atap pagoda dan tajuk di Jawa. Keduanya berbentuk piramidal bersusun tiga. Inilah perpaduan ciri seni arsitektur dari dua negeri, Tiongkok dan Jawa. Hiasan berbentuk lengkung pada ujung-ujung atap merupakan ciri khas arsitektur Tiongkok yang dihadirkan dalam bentuk lebih sederhana.

Tatanan atap Msjid Muhammad Cheng Ho berbentuk segi delapan. Dalam kepercayaan orang Tiongkok kuno, angka delapan (pat kwa) bermakna kejayaan atau keberuntungan. Numorologi dalam arsitektur masjid ini tidak hanya berlaku pada atapnya, tetapi juga ruang ibadah utama berukuran 9 x 11 meter yang berada tepat di bawahnya. Angka 11 merupakan representasi dan ukuran Ka’bah ketika pertama kali dibangun. Sementara itu, angka sembilan adalah simbolisasi jumlah Walisongo yang berjasa besar pada proses Islamisasi penduduk di tanah Jawa.

Elemen lainnya yang mencerminkan akulturasi budaya Tiongkok dengan budaya lokal adalah dinding dan tiang. Kontruksi tiang-tiang sederhana Masjid Muhammad Cheng Ho mengadopsi gaya arsitektur Jawa. Sedangkan, gaya lengkungan setengah lingkaran pada dinding-dindingnya dipengaruhi oleh arsitektur Arab dan India. Dinding berlapis keramik batu bata merah mengingatkan pada susunan batu bata pada masjid-masjid Kuno di Jawa, seperti Masjid Menara Kudus.

Tak ketinggalan, sebuah beduk juga dihadirkan di dalamnya, tepatnya di sebelah utara masjid. Tentu, keberadaan benda ini, menyimpan nilai cultural tersendiri. Sejatinya, beduk merupakan ciri khas masjid-masjid masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran beduk di masjid ini untuk menyempurnakan unsur-unsur yang lazim ada dalam masjid di Nusantara. Secara kultural, beduk di sini dapat dimaknai sebagai simbol keterbukaan masjid bagi umat Muslim nonketurunan Tionghoa.

Refleksi keharmonisan lintas ras

Bagi komunitas Muslim Tionghoa di Surabaya khususnya, kehadiran Masjid Muhammad Cheng Ho merupakan refleksi keharmonisan masyarakat lintas ras. Masjid itu terdiri atas rangkaian simbol-simbol arsitektural Tiongkok, Islam, dan Jawa untuk menumbuhkan kesadaran akan sejarah dan budaya pada masyarakat bahwa kedua etnis pernah hidup berdampingan secara damai. Jika saja kesadaran sejarah dan budaya tertanam kuat, tentu akan berimplikasi positif pada relasi sosial antarwarga di masa kini. Tinggal bagaimana setiap individu melakukan internalisasi nilai karya seni itu, kemudian mewujudkannya lewat tindakan-tindakan konstruktif dalam kehidupan sosial dan keagamaan.

Secara keseluruhan, arsitektur masjid ini sangat kental dengan nuansa Tiongkok kuno. Bentuknya yang demikian unik membawa fantasi para pengunjung jauh ke suatu zaman yang sangat lama, namun tetap ada dalam bayangannya. Bukan hanya baying-bayang fisik, tetapi juga bayangan tatanan sosial yang ideal yang pernah dipelopori oleh Laksamana Cheng Ho untuk diterapkan di masa mendatang.

Joyce M Laurens dalam Imaji dan Peran Media Desain dalam Proses Desain Arsitektur mengatakan, arsitektur yang kompleks menggambarkan keberadaannya di masa kini, namun ia mengingatkan orang di masa lalu dan membuat orang berpikir akan masa depan.

Antara Masjid dan Legenda Cheng Ho

Sebagian masyarakat Indonesia pernah mendengar Sam Poo Kong dan Cheng Ho. Namun, nams legendaris, seperti Zheng He; Ma Sanbao, Ma He, Haji Mahmud Shams, masih terasa asing. Nama-nama itu adalah nama lain dari Cheng Ho. Saking melegeridanya, kini nama Cheng Ho diambil sebagai nama beberapa mesjid di Indonesia, salah satunya di Surabaya. Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya mulai dibangun pad 10 Maret 2002 dan diresmikan pada 13 Oktober 2002.

Masjid yang diarsiteki oleh Ir Aziz Johan asal Bojonegoro, JaWa Timur, ini berlokasi di Jalan Gading Nomor 2, Surbaya. Wujudnya yang sekarang merupakan pengembangan dan bangunan lama yang berupa mushala di area kompleks Gedung Serbaguna Pembinaan Iman Tauhid Indonesia (PITI) Jatim. Dana sebesar Rp 700 juta dari swadaya komunitas Muslim Tionghoa Indonesia berhasil dikumpulkan untuk membiayai pembengunan masjid hingga selesai.

Kini, Masjid Muhammad Cheng Ho mampu menampung 200 jamaah. Aktivitas di dalamnya tidak hanya dibatasi bagi warga Muslim Tionghoa, tetapi terbuka bagi umat Muslim lainnya. Tak jarang juga masjid ini digunakan sebagai tempat bersejarah bagi sepasang mempelai di saat akad nikah atau seorang mualaf keturunan Tionghoa mengucapkan dua kalimat syahadat.

Pada butan suci Ramadhan, aktivitas keagamaan meningkat sebagaimana di masjid-masjid lain di Tanah Air. Uniknya, menurut beberapa informasi, penduduk Tionghoa non-Muslim yang tinggal di sekitar masjid turut menyumbang aneka makanan dan minuman untuk takjil saat berbuka puasa.

Apakah ini menandakan semangat Laksamana Cheng Ho menghargai perbedaan-perbedaan tercapai? Mungkin demikian. Bagaimanapun, masyarakat Tionghoa, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, sama-sama mengagungkan sosok Cheng Ho sebagai pahlawan. Penghargaan terhadapnya diekspresikan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah pendirian masjid ini dan monumen replika kapal Cheng Ho di sebelahnya.

Kisah-kisah heroik seorang Laksamana Cheng Ho menempati posisi penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa. Terlepas, apakah kehebatan Cheng Ho merupakan fakta sejarah ataukah sekadar cerita fiksi belaka, namun kisah tentangnya memiliki nilai edukasi yang baik bagi pengagumnya. Ia adalah suri tauladan bagi mereka yang terobsesi menjadi manusia ideal, yaitu manusia yang cerdas, kuat, religius, terpercaya, berbudaya, dan berjasa bagi bangsa dan negaranya.

Bayangkan, dalam satu kisah dikatakan bahwa seorang Cheng Ho mampu mengalahkan ratusan, bahkan ribuan tentara musuh. Tapi, bukankah kisah serupa juga ada di tanah masyarakat Jawa dan Melayu. Di mata orang Jawa, kehebatan Patah Gadjah Mada tak ubahnya Laksamana Cheng Ho bagi orang Tionghoa atau Hang Tuah bagi masyarakat melayu.

Oleh karena itu, mencermati fungsi sosial budaya dan kisah atau legenda bagi masyarakat pemiknya adalah penting, di samping mengkaji secara kritis apakah kisah tersebut termasuk dalam sejarah atau karya satra. Dalam konteks ini, Masjid Muhammad Cheng Ho yang sejauh ini telah menjalankan fungsi sosial keagamaan secara baik dapat dijadikan contoh positif yang lahir dari kisah kepahlawanan Cheng Ho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih