Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Namun, kapan pertama kali lembaga pendidikan Islam ini dikenal, hingga sekarang belum ada data pasti awal berdiri dan asal usulnya. Bahkan, sejumlah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri, juga tidak bisa memastikan kapan lembaga tersebut mulai dikenal.

Peneliti Tarekat dan Tradisi Islam di Indonesia asal Belanda, Martin Van Bruinessen, pun ragu-ragu kapan pastinya lembaga pendidikan ini berdiri di Indonesia. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Zamachsyari Dhofier, mantan rektor IAIN Walisongo Semarang (Tradisi Pesantren, 1985), Mahmud Yunus (Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979), Soegarda Purbakawatja (Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka, 1970), Murni Jamal (Sejarah Pendidikan Islam, 1984-1985), hingga Nurcholis Madjid (Alm) dalam bukunya, Bilik-Bilik Pesantren (1997), juga tidak menemukan kepastian awal pertama kali lembaga pendidikan Islam ini dikenal. Yang pasti, ketika zaman penjajahan Hindia-Belanda, lembaga pendidikan pondok pesantren mulai bermunculan di masyarakat Jawa.

Belakangan, muncul pendapat yang mengatakan, bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo. Konon, lembaga ini pertama kali berdiri pada tahun 1724. Hal ini didasarkan pada survei yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Dan, Martin Van Bruinessen berpendapat bahwa pesantren telah ada pada abad ke-18. Namun, ungkap Bruinessen, sebelum abad ke-18 atau sebelum berdirinya Pesantren Karang (Tegalsari), belum ada lembaga yang layak disebut sebagai pesantren. Yang ada, kata dia, hanyalah tempat pengajaran perseorangan dan tidak terstruktur.

Sebelumnya, juga muncul berbagai klaim pesantren yang pertama kali didirikan. Misalnya, ada yang menyebutkan pesantren berdiri sejak abad ke-16 atau seiring dengan masuknya Islam di Banten. Namun, pendapat ini juga diragukan kebenarannya. Begitu juga dengan tokoh Jayengresmi yang hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram pada paruh abad ke-17 yang konon mempunyai lembaga pendidikan bernama pesantren.

Dan, ada pula yang menyebutkan bahwa founding father-nya pesantren di Indonesia adalah Sunan Ampel dengan pesantren Ampel Denta-nya di Surabaya.

Beberapa pendapat lain mengungkapkan, pesantren berasal dari kata santri (bahasa India/sansekerta, shastri yang berarti orang yang tahu atau ahli tentang buku-buku suci). Kata ini dikaitkan dengan siswa atau murid yang mengikuti pendidikan di tempat pengajian. Sedangkan, istilah pondok dikaitkan dengan kata funduq yang berasal dari Bahasa Arab, yang berarti hotel (tempat tinggal). Sehingga, istilah pondok pesantren bisa diartikan dengan tempat tinggal para siswa yang sedang menuntut ilmu.

Di pesantren, umumnya para santri tinggal di asrama-asrama. Dan, saat belajar, mereka akan mendatangi tempat tinggal kiai (pemimpin atau pengasuh pondok pesantren) di masjid, di mushala, maupun di surau. Para santri ini mengaji kepada kiai, baik baca Alquran, hadis, kitab-kitab fikih, tasawuf, hingga tata Bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghoh, dan mantiq).
Para santri ini ada yang tinggal di asrama (umumnya berasal dari luar daerah) dan ada pula yang tetap tinggal bersama orang tuanya. Santri yang terakhir ini biasanya disebut dengan istilah santri kalong. Mondok atau nyantri di pesantren saat jam-jam pelajaran berlangsung. Dan, sehabis belajar, mereka kembali pulang ke rumah.

Dari beberapa pendapat itu, semuanya sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Bahkan, Nurcholis Madjid (Alm) pun mengungkapkan kekagumannya terhadap pesantren. ‘Seandainya negeri kita (Indonesia—Red) ini tidak mengalami masa penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur pendidikan yang ditempuh pesantren. Sehingga, perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair atau yang lain, tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.” (Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 1997, hal 3-5).


Jenis-Jenis Pesantren
Pada awalnya, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional yang diajarkan di surau, mushala, masjid, atau serambi seorang guru. Karena itu, muncul istilah pengajian bandongan dan sorogan. Pelajaran model ini lebih bersifat monolog (satu arah, dari guru ke murid). Dan, para siswanya pun cukup dengan memakai baju koko dan kain sarung serta kitab-kitab fikih. Kitab-kitab ini umumnya ditulis dalam bahasa Arab tanpa baris (harakat). Biasanya disebut dengan kitab gundul (tanpa harakat) atau kitab kuning (karena kertasnya berwarna kekuning-kuningan).

Belakangan, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sistem pengajaran di pesantren tidak lagi hanya bersifat satu arah. Pendidikan di pesantren sudah lebih terformulasi. Siswanya dikelompokkan dalam satu kelas untuk pelajaran tertentu.

Dari gambaran yang telah disebutkan tadi, pesantren dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu:

a. Pesantren Salaf
Model pesantren ini, sistem pengajarannya tetap seperti aslinya, yakni sistem tradisional. Para santri mengaji di kediaman atau tempat tinggal kiai (pengasuh).
Pesantren jenis ini, umumnya tidak memiliki sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, selain mengaji Alquran dan pelajaran kitab kuning. Model pesantren ini, para santri lulusannya biasanya sangat mahir dalam mengaji dan membahas kitab-kuning kuning.

b. Pesantren Semi-Modern
Model pesantren ini, para santri dikelompokkan ke dalam kelas. Selain menerima pelajaran kitab kuning, para santri juga menerima pelajaran lain, seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan sosial. Namun, untuk pelajaran agama (kitab fikih) hanya diajarkan sesuai kebutuhan. Artinya, santri tidak diwajibkan untuk mengikuti pendidikan atau pelajaran kitab kuning, namun diwajibkan mengikuti pendidikan umum, atau sebaliknya, tidak diwajibkan mengikuti pendidikan umum, namun diwajibkan untuk mengikuti pelajaran kitab kuning. Bahkan, ada juga yang tidak diwajibkan kedua-duanya.

Di pesantren model ini, para santrinya juga ada yang tinggal di asrama dan sebagian masih menjadi santri kalong. Santrinya juga diperbolehkan menggunakan pakaian bebas namun pantas. Sedangkan, fasilitas pendukung pendidikan masih sangat sederhana. Dan, para santri diberlakukan aturan yang sangat ketat, mulai dari cara berpakaian hingga pergaulan sehari-hari.

c. Pesantren Khalaf (Modern)
Jenis pesantren ini merupakan perpaduan kedua jenis pesantren di atas (salaf dan semimodern). Para santri diberikan kebebasan dalam hal berpakaian selama tetap dalam koridor yang tidak menyalahi aturan agama. Selain itu, para santri boleh menentukan lembaga pendidikan yang diinginkan (SMP atau MTS, SMA, SMK, Madrasah ‘Aliyah, atau Kuillyatul Mu’allimin dan Muallimat).

Jenis pesantren ini,juga memiliki kelebihan lain dibandingkan kedua jenis pesantren di atas. Pesantren Modern umumnya sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung pendidikan, seperti laboratorium MIPA, perpustakaan, komputer, internet, laboratorium bahasa (umumnya bahasa Arab dan Inggris).

Namun, dari beberapa jenis pesantren modern ini, ada pula yang tidak mengunggulkan pendidikan atau pelajaran kitab kuning. Para santri umumnya didorong untuk menguasai ilmui-lmu pengetahuan umum. Sedangkan, ilmu pengetahuan agama hanya cukup sebagai pengetahuan. Tetapi, ada juga pesantren yang sangat mendorong santrinya untuk menguasai kedua bidang, agama dan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih