Masjid yang didirikan pada abad ke-15 M oleh Walisongo INi diselimuti banyak cerita mistis yang hingga kini masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat. Karena itu, agak sulit membedakan manakah cerita yang bernilai sejarah dan yang bukan.
Masyarakat mempunyai cara sendiri untuk mengungkap nilai agama dan sejarah masjid ini. Kisah-kisah yang beredar berkisar awal mula pendirian masjid, tokoh-tokoh pendirinya, latar belakang pemberian namanya, dan cerita-cerita lainnya. Mungkin karena banyaknya kisah itu, tahun pendirian masjid ini memiliki beragam versi.
Dalam buku Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DM1) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), disebutkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa berdiri pada 1498 M. Sedangkan dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein, dikatakan berdirinya pada 1480 M. Ada pula yang mengatakan pada tahun 1478 M dan l489M.
Tak hanya itu. Siapa tokoh pendiri masjid ini pun menjadi bahan perdebatan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, terdapat nilai agama, sejarah, dan budaya di Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang sangat penting bagi masyarakat
Azan, misalnya, yang dikumandangkan oleh tujuh orang sekaligus (azan pitu) menanamkan kepercayaan akan kekuatan kalimat ‘Allahu Akbar’ (Allah Mahabesar). Ada cerita yang melatari azan pitu itu.
Konon, dahulu ada seorang pendekar sakti bernama Menjangan Wulung. Pendekar berilmu hitam ini suka mengganggu orang-orang Islam karena tidak senang dengan penyebaran agama Islam. Suatu ketika, Menjangan Wulung bertengger di atap masjid dan menyerang setiap orang yang mengumandangkan azan.
Keadaan ini membuat umat Islam resah. Maka, Sunan Gunung Jati bermusyawarah dengan para ulama dan memohon petunjuk Allah. Muncullah jalan keluar; yaitu mengumandangkan azan yang disuarakan oleh tujuh orang secara bersama-sama. Suara azan yang dikumandangkan secara bersamaan itu membuat Menjangan Wulung kebingungan mengenai arah sumber suara. Akhirnya, Menjangan Wulung pun kalah dan tidak pernah mengganggu lagi.
Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid Agung Cirebon ini. Dahulu azan dengan cara ini dilantunkan setiap waktu shalat, namun kini hanya dilakukan pada saat shalat Jumat, yaitu pada azan pertama.
Ada
Pesona arsitektur masjid
Menyimak sejumlah kisah tersebut di atas, tersibak fakta peran Walisongo dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa dan membentengi akidah umat Islam. Di antara aktivitas mereka adalah mendirikan masjid-masjid.
Menurut beberapa versi, Sunan Gunung Jati adalah penggagas berdirinya Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Sunan Gunung Jati kemudian menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya dan dibantu oleh arsitek Majapahit bernama Raden Sepat. Pembangunannya melibatkan 500 orang yang berasal dari Majapahit, Demak, dan
Konstruksi saka guru masjid (pilar utama) berjumlah 12 buah, menyangga atap utama yang berbentuk limasan susun tiga. Satu dan yang lain dihubungkan dengan balok-balok melintang dan masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan diikat. Tiang ini dikenal dengan nama sokotatal.
Ada
Di dalam ruang shalat utama terdapat mihrab dari batu putih berukir motif bunga teratai hasil kreasi Sunan Kalijaga. Bentuknya merupakan hasil adaptasi dari ragam hias arsitektur Hindu. Di mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Konon, ubin tersebut disusun oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.
Elemen masjid bagian dalam lainnya yang sarat dengan nilai budaya adalah mimbar. Mimbar itu berukir hiasan sulur-suluran, dan pada kakinya ada bentuk seperti kepala macan. Hiasan ini mengingatkan kita pada zaman kejayaan Prabu Siliwangi di tanah Pasundan.
Dinding-dinding ruangan dihiasi porselen buatan Tiongkok berbentuk piring warna merah dan biru. Menurut cerita, piring-piring porselen itu dibuat pada masa Dinasti Ming.
Ruang utama masjid berukuran 17,8 x 13,30 meter. Di sini terdapat sembilan pintu dan 44 lubang angin. Jumlah pintu melambangkan jumlah wali yang berjasa menyebarkan Islam di Tanah Jawa (Walisongo).
Satu pintu utama terletak di bagian timur empat pintu lainnya berukuran kecil, dan empat pintu lagi berukuran sedang. Pintu utamanya bernama Narpati berukuran tinggi 240 cm dan lebar 124 cm. Pintu utama ini hampir tidak pernah dibuka, kecuali pada saat Shalat Ied atau pada waktu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Pada hari-hari biasa, pengunjung masuk ke ruang dalam masjid melalui pintu kecil dan pendek. Untuk melewatinya harus membungkukkan badan. Ini juga mengandung makna simbolis bahwa orang Muslim harus merendahkan diri dan tidak sombong ketika berhadapan dengan Allah SWT.
Sejak didirikan hingga sekarang, Masjid Agung Sang Cipta Rasa telah mengalami beberapa kali perbaikan. Perbaikan pertama dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1934. Pada 1960 dilakukan perbaikan pada atap dan talang. Pemerintah Daerah Cirebon menambahkan serambi depan pada tahun 1972-1974. Dan tahun 1975-1978, dilakukan pemugaran secara keseluruhan dengan tetap mempertahankan elemen-elemen aslinya.
Makna di Balik Sang Cipta Rasa
Mungkin bagi kebanyakan umat Muslim, penggunaan kosakata bahasa lokal untuk nama masjid kurang akrab terdengar. Apalagi jika itu masjid agung, Biasanya, masjid-masjid di nusantara dilabeli dengan nama berbahasa Arab. Seperti masjid Kidayah, lstiqal, Darussalam, dan At-Tauhid. Menarikkah jika masjid diberi nama dali bahasa okal? Tentu sangat menarik. Apalagi jika mengandung makna yang apik.
Dari beberapa masjid agung yang punya nama lokal, salah satunya adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dikenal uga dengan nama Masjid Kasepuhan, karena berada di lingkungan Peraton Kasepuhan. Konon, yang memberikan nama Sang Cipta Rasa adalah .Sunan Gunung Jati. Menurut banyak kalangan, ada makna filosofis di balik nama masjid tersebut.
Sebenarnya, tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan makna kata itu oleh Sunan Gunung Jati sendiri. Hanya ada catatan-catatan lepas dari beberapa orang yang berusaha menafsirkannya. Ada yang memaknainya dengan sangat sederhana bahwa kata ‘sang’ berarti keagungan, ‘cipta’ berarti penciptan, dan rasa’ berarti perasaan. Jadi artinya, rnemahami penciptaan Yang Kuasa dengan pikir dan rasa.
Ada
Di sinilah pentingnya memahami tanda-tanda kebesaran Allah melalui ayat-ayatNya yang terhampar luas di semesta ini. Di balik kata ‘cipta’ ada daya hidup yang sangat kuat. Maka, sebagai seorang Muslim, semestinya mengikuti daya hidup itu dengan ketajaman penglihatan mata dan hati, sampai tampak.olehnya mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang hak dan yang bathil; dan mana yang hanif dan yang sesat.
Apa pun hasil penafsirannya semuanya mengarah kepada kebaikan bagi umat manusia, Dengan nama itu, Masjid Sang Cipta Rasa yang terletak di.Jalan Keraton Kasepuhan Nomor 43 itu, turut serta memupuk kesadarsn sajarah dan budaya umat Islam akan kebesaran peradabannya pada mesa lalu.
Meniti Jejak Langkah Sunan Gunung Jati
Dikisahkan dalam Babad Cirebon, suatu ketika para wali berkumpul dan bermusyawarah di Gunung Ciremai, dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah itu memutuskan dibentuknya Dewan Walisongo’, dan Sunan Gunung Jati terpilih sebagai Wali Katib-nya, atau imam para wali.
Siapa Sunan Gunung Jati tu, sehingga mendapatkan kehormatan sedemikian tinggi dari para wali? Sedikit sekali catatan sejarah yang merekam perjalanan hidup Sang Sunan. Berita-berita yang beredar tentangnya lebih banyak berbau mitos daripada fakta sejarah. Oleh karena itu, pencantuman tahun peristiwa seputar Sunan Gunung Jati banyak yang tidak sesuai antara data yang satu dengan lainnya.
Dari data sejarah yang sedikit itu, Claude Guillot dan Henri Chamber-Loir, antropolog asal Prancis, menghimpun riwayat hidup Sang Sunan dalam buku berjudul Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Dalam sebuah silsilah legendaris, Sunan Gunung Jati digambarkan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau lahir. Namun, diperkirakan Sang Sunan lahir pada abad ke-15 di Pasai, Aceh. Pada 1520-an, ia belajar ilmu agama di Makkah selama beberapa tahun.
Sekembalinya dari Makkah, Sunan Gunung Jati memilih
Menurut catatan sejarah yang dihimpun oleh Guillot dan Chamber-Loir, makam Sunan Gunung Jati dikunjungi oleh peziarah sejak abad ke-17. Hingga kini, makam tersebut menjadi salah satu tujuan ziarah yang paling ramai di Pulau Jawa.
Setiap Jumat Kliwon, orang berdesak-desakan pada malam hari di depan pintu gerbang makam. Ziarah paling ramai terjadi pada hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada waktu tu, Kota Cirebon menjadi tempat meriah yang dihadiri ratusan ribu orang.
Pada hari itu juga, benda-benda pusaka keraton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tafadhal,,,uktub yang shalih