Sebab, Habibie termasuk orang pertama yang bisa memperlihatkan kepada dunia ilmu pengetahuan bagaimana menghitung crack propagation on random, retakan pada struktur pesawat, hingga ke atom-atomnya.
Dalam bukunya, The True Life of Habibie, Andi Makmur Makka menuliskan, B Lascka, seorang ahli aerodinamika dan teman Habibie di Jerman Barat, juga menyampaikan pengakuan atas prestasi Habibie itu.
Menurut Lasca, crack propagation yang amat penting dan sulit hasil penemuan Habibie, cukup memesona. Inilah yang menjadi dasar munculnya reputasi Habibie dalam dunia kedirgantaran yang digelutinya.
Retakan dalam struktur pesawat, menjadi suatu hal yang dicemaskan para perekayasa struktural dan terjadinya penyebaran retakan sulit diperhitungkan. Dan Habibie, mampu menemukan cara menghitung retakan tersebut dengan cermat.
Ini bermula, dari fanonema pada 1960-an. Kecelakaan pesawat terbang akibat kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi sering terjadi. Sebab, saat itu belum ada detektor bersensor laser yang di dukung unit pengolah data komputer untuk mengatasi masalah itu.
Kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi ini biasanya terjadi pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Sambungan itu sering mengalami guncangan keras dan terus menerus.
Hal itu terjadi baik saat pesawat lepas landas maupun mendarat. Saat lepas landas, sambungan tubuh dengan sayap mendapatkan tekanan udara sangat besar. Begitu pula saat mendarat, sambungan pada sayap mendapat empasan tubuh pesawat.
Peristiwa yang terus menerus terjadi ini menimbulkan crack atau retakan. Terkadang, titik rambat retakan itu sangat kecil, bahkan hanya berukuran kurang dari satu sentimeter. Namun, retakan terus melebar hingga bercabang cabang.
Jika retakan tersebut tidak terdeteksi dangan cepat, akan sangat membahayakan penumpang pesawat terbang. Sebab, sayap bisa patah ketika lepas landas karena mendapatkan tekanan udara yang sangat kuat.
Akibatnya, pesawat bisa jatuh dan banyak penumpang yang terluka, bahkan meninggal. Padahal, retakan itu sendiri sulit terdeteksi. Sebab, retakan bisa terjadi pada pesawat yang tubuhnya mulus, seperti tak ada cacat jika dilihat dari luar.
Namun, Habibie mampu mengatasi masalah tersebut. Berkat penemuannya menghitung crack propagation secara rinci, para produsen pesawat kemudian membuat konstruksi pesawat yang lebih tangguh lagi.
Sebelumnya, para insinyur yang merancang pesawat terbang mengantisipasi kemungkinan terjadinya keretakan konstruksi pesawat dengan meningkatkan faktor keselamatan. Ini di lakukan dengan meningkatkan bahan konstruksi.
Bahkan, peningkatan bahan konstruksi itu terkadang jauh diatas angka kebutuhan teoretisnya. Sehingga, material yang diperlukan juga lebih berat. Tubuh pesawat terbang dibuat dari campuran alumunium dan baja.
Namun, setelah di temukan hitungan crack propagation, kekuatan bahan konstruksi yang berat bisa dikurangi dengan cara membuat campuran material pembuat pesawat yang lebih ringan. Bahan baja dikurangi dan aluminium diperbanyak.
Dengan memperbanyak campuran aluminium, berat tubuh pesawat tanpa penumpang bisa dikurangi sebesar 10 persen dari berat sebelumnya. Bahkan, angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen.
Namun, pengurangan berat ini tak membuat total berat pesawat ditambah penumpang dan bahan baker ikut menurun sehingga daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya semakin jauh. Akibatnya, secara ekonomi, kinerja pesawat semakin meningkat.
Penemuan Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan perbagian kerangka pesawat. Ini, membuat sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat lepas landas.
Selain terkenal dengan crack propagation-nya, Habibie juga menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, dan aerodinamika. Temuan-temuan Habibie disebut dengan Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie.
Boeing 747 yang sangat terkenal juga pernah mendapatkan sentuhan Habibie. Ini terjadi saat pesawat tersebut mengalami masalah pada fuselage pada bagian haluan dan buritan. Bermula, pada tegangan di sekeliling semua lubang berbentuk elips.
Habibie menstimulasi retakan dengan mendegerasikan suatu poros dengan ukuran panjang nol. Ini menghasilkan penemuan penting, terutama bila dialami beban angina badai. Habibie juga berhasil memperkenalkan Airbus A-300 B ke dunia penerbangan.
Hal itu dilakukan saat Habibie bekerja di perusahaan penerbangan Messerchmitt Bolkow Blohm (MBB), di devisi pesawat sipil, Jerman. Di perusahaan ini, ia pun memiliki prestasi kerja mengagumkan.
Tak heran pada 1974, Habibie diangkat menjadi wakil presiden dan direktur teknologi MBB. Jabatan tersebut, merupakan jabatan tertinggi yang pernah diduduki oleh orang asing yang bekerja di perusahaan penerbangan tersebut.
Setelah merantau di Jerman, untuk menuntut ilmu dan bekerja, akhirnya Habibie pun pulang ke Tanah Air. Saat itu, ia dipanggil Presiden Soeharto, untuk memanfaatkan ilmunya dalam mengembangkan teknologi kedirgantaraan di Tanah Air.
Kemudian, lahirlah Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang dalam kerja sama dengan CASA, Spanyol, berhasil merancang dan memproduksi pesawat terbang CN 235. Tak lama kemudian, IPTN merancang dan memproduksi sendiri N 250.
Lalu, IPTN beralih ke jet N 2130 yang masih dalam rancangan. Akibat krisis keuangan yang mendera pada 1997, akhirnya program tersebut dihentikan.
Lebih Memilih Tanah Air
Satu posisi terhormat ditawarkan pada Bacharuddin Jusuf Habibie. Jika bersedia, ia mendapatkan kursi profesor di almamaternya, Technische Hochschule Aachen, Jerman Barat. Namun, ia menolak tawaran itu.
Menurut penuturan cendekiawan Muslim, Achmad Tirtosudiro, dalam buku Prof DR Ing BJ Habibie, Half A Century, Habibie khawatir sangat terikat dengan universitas tersebut dan membuatnya sulit saat ia akan pulang ke Tanah Air.
Habibie memiliki keinginan kuat kembali ke Tanah Air, dan mendedikasikan dirinya untuk Indonesia. Ia pun berkeinginan ilmu yang dimilikinya, terkait konstruksi pesawat terbang, bisa ditularkan kepada bangsa Indonesia.
Sikap ini, menandakan Habibie tak kehilangan akar. Ia memiliki kecintaan yang dalam terhadap bangsanya,
Habibie lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil Habibie sangat suka membaca. Dia merasa tidak tenang jika sehari saja tanpa membaca buku. Dia juga bercita-cita menjadi orang insinyur.
Dalam ilmu agama, Habibie juga mumpuni. Dia merupakan siswa yang paling rajin dan tercepat dalam menghafal Alquran serta telah khatam beberapa kali. Ayah Habibie, meninggal pada 3 September 1950.
Sepeninggal suaminya, Tuti Marini Puspowardojo, bertekad menyekolahkan Habibie ke luar negeri karena melihat keseriusannya dalam belajar. Semua peninggalan ayahnya, terpaksa dijual demi kelanjutan studi Habibie.
Mereka sekeluarga akhirnya pindah ke Bandung. Habibie yang saat itu sekolah di SMP di Parepare, pindah ke SMP 5 Bandung, lalu masuk SMA Kristen di Dago. Selama menjadi pelajar, nilai-nilainya selalu teratas, terutama dalam bidang matematika maupun fisika.
Selepas SMA, pada 1954, Habibie sempat kuliah di ITB selama 6 bulan, namun studinya di jurusan elektro terpaksa ditinggal karena dia mendapatkan beasiswa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ke Technische Hochschule Aachen, Jerman Barat.
Di Jerman, Habibie nyaris tak punya waktu untuk bersantai. Di samping tugas kuliah yang berat, dia juga tidak memiliki banyak uang. Sebab, ongkos sehari-harinya dibiayai oleh ibunya sendiri. Sehingga, hidupnya sangat pas-pasan.
Namun, perjuangan yang berat untuk bertahan di Jerman justru membuatnya semakin tekun dan giat belajar. Pada musim liburan di mana para mahasiswa lain berlibur dan bersantai, dia tetap belajar dengan penuh semangat.
Hasilnya, hanya dalam waktu 4 tahun dia bisa menyabet gelar Dipl Ing (Diploma Ingenieur), dengan nilam cumlaude, di mana nilai akademiknya rata-rata 9,5. Ini ia capai saat berusia 24 tahun, pada 1960.
Dua tahun setelah lulus, ia pulang ke Tanah Air dan menikah dengan dokter Hasri Ainun Besari yang memberikannya 2 orang putra yang bernama Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Habibie kemudian memboyong keluarganya ke Jerman.
Habibie, kembali untuk menyelesaikan program doktornya. Akhirnya tahun 1965, dia berhasil meraih gelar doktor dengan predikat Summa Cumlaude, dengan indeks prestasi rata-rata 10. Ia pun kemudian bekerja di perusahaan pesawat terbang.
Habibie bekerja di perusahaan pesawat terbang. Hamburger Flugzzeugbau (HFB), yang kemudian setelah merger berubah namanya menjadi MBB. Setelah pulang ke Tanah Air, ia merintis dan membangun Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Kemampuannya di bidang teknologi kemudian membawanya pula ke posisi menteri riset dan teknologi. Lalu, ia pun menjadi wakil presiden. Hingga akhirnya, pada 21 Mei 1998, ia disumpah menjadi
Mantab... segera belikan domain tld.
BalasHapus