Menyingkap Jam Air Ridhwan Al-Sa’ati

Berbagai riset telah diupayakan untuk menemukan jawaban memuaskan. Ini tentang sebuah jam air yang ada di Masjid Umayyah, Damaskus, Suriah. Setiap jam, bunyi berdentang terdengar terdengar dari itu. Ternyata, jam ini sudah ada enam abad sebelum pembuatan Big Ben di London, Inggris, pada 1959.

Pada akhirnya, sejumlah manuskrip terkumpul.
Selubung misteri jam tersebut pun ikut tersingkap. Manuskrip-manuskrip yang ada mengisahkan, jam itu diletakkan pintu masuk sebelah timur Masjid Umayyah atau di sebelah kanan pintu keluar masjid yang berdekatan dengan istana pemerintah, Qasr al-Khandhra.

Pintu masuk sebelah timur dinamakan Bab al-Sa’at yang disebut pula sebagai Gerbang Jam.
Ada pula nama lain yang disematkan pada pintu masuk itu, diantaranya Bab Jayrun dan Bab El-Labbadin. Keberadaan dan kerja jam air itu digambarkan oleh operator awal jam tersebut, Ridhwan.

Ini terungkap dalam sebuah manuskrip tahun 600 Hijriyah atau 1202 Masehi. Jam itu dinamai dengan nama sang operator tersebut, yaitu Ridhwan al-Sa’ati. Keberadaan jam itu merupakan salah satu warisan perangkat mekanik muslim yang membenamkan teknologi maju di dalamnya.


Memang, pada jam ini, terdapat sejumlah keunikan dan kecanggihan teknologi. Jam ini menunjukkan pentingnya perkiraan waktu dan ditempatkan di lokasi yang strategis, antara istana pemerintah dan masjid.
Jadi, jam ini berada di dekat pusat pemerintahan dan pusat kegiatan umat.

Keunikan lain yang melekat pada jam ini adalah kemampuannya menghubungkan kalender Hijriyah terkait perubahan musim dengan kondisi udara, menetapkan sudut sinar matahari, serta membagi waktu siang dan malam masing-masing selama 12 jam yang tak terpengaruh apakah lebih panjang atau pendek dalam setahun.


Tak hanya itu, jam ini juga memberitahukan khalayak mengenai pergantian waktu setiap jam dengan dentangan suaranya. Dengan keberadaan semua kemampuan pada jam tersebut, Ridhwan sebagai operator jam dianugrahi setatus tinggi sebagai seorang menteri dalam pemerintahan.


Di sisi lain, pemerintah juga mengalokasikan anggaran khusus untuk pemeliharaan dan keberlangsungan alat itu. Sejumlah pakar mengatakan, jam Ridhwan termasuk dalam kelompok perangkat waktu hidrolik yang terkenal pada masa lalu, seperrti Clepsydra dan Ghati. Ini juga menunjukkan perkembangan konstruksi pembuatan jam dari waktu ke waktu.


Terutama saat Khalifah Harun al-Rasyid pada 786 Masehi menghadiahkan jam air yang terbuat dari kayu kepada Charlemagne I yang merupakan raja kaum Frank di Barat. Diyakini pula, bentuk berbeda dari perangkat sejenis itu ada di wilayah lain di dunia Islam. Jadi. Jam itu menyebar luas di wilayah Islam.


Menurut manuskrip Ridhwan al-Sa’ati; ayah Ridhwan, yaitu Abu ‚Abdullah Muhammad bin Naser bin Saghir bin khalid al-Kaysarani, merupakan orang pertama yang mengoperasikan jam tersebut. Ini terjadi sebelum Sultan Nur Ed-din Mahmud bin Zanki mengambil alih Damaskus pada 1154 Masehi.


Kaysarani sendiri merupakan seorang terpelajar yang ahli dalam puisi, astronomi,tehnik, dan matematika. Setelah dia, ada Muhammad bin Ali al-Khurasani yang merekonstruksi jam itu setelah terbakar pada 1166. Ridhwan al-Sa’ati menyebutkan pula tiga orang yang mengoperasikan jam itu setelah kematian ayahnya.


Mereka adalah al-Muhadhab bin al-Naqqash, al-Muhadhab bin al-Hajib, dan Abu al-Fadhl al-Najjar. Kemudian, Ridhwan yang akhirnya mengoperasikan jam itu. Ridhwan dikenal sebagai Fakhr al-din Ridhwan al-Sa’ati al-Khurasani al-Dimashqi. Dia menjabat sebagai menteri pada masa Raja Isa bin al-Malik.


Isa menugaskan pula pemberian anggaran khusus untuk pemeliharaan dan pengoperasian jam itu. Di sisi lain, keberadaan jam itu juga sangat terkenal. Sejumlah pelancong menggambarkannya.
Ada Rabbi Benjamin dari Tuleda yang mengunjungi Damaskus antara 1159 dan 1174. Menurut dia, Damaskus memiliki sebuah sinagog pengikut Muhammad.

Benjamin menyatakan, itu pasti istana Ibnu Hadda. Salah satu dindingnya dibangun dengan kekuatan ajaib. Pada dinding bangunan itu terdapat sebuah perangkat yang disinari matahari dan tertera jumlah hari dari tahun matahari. Perangkat itu terbagi dalam dua belas tingkat untuk menyesuaikan waktu dalam sehari.


Ini merupakan gambaran jam matahari, yang dianggap terletak di dekat masjid tersebut, tak sesuai dengan gambaran jam yang dilakukan oleh Ridhwan dan dua pelancong lainnya, yaitu Ibnu Jubayr dan Ibnu Battuta.
Menurut lama Muslimheritage, gambaran Rabbi Benjamin itu secara salah dikutip Donald R Hill dalam bukunya Arabic Water Clocks.

Ibnu Jubayr menceritakan pula jam air ini saat ia melakukan perjalanan dan tinggal di Damaskus pada 1184. Gambaran dia tentang jam itu sangat mendekati apa yang diungkap dalam menuskrip Ridhwan al-Sa’ati. Gambaran yang dibuat Ibnu Battuta pada 1326 mendekati gambaran Ibnu Jubayr, namun lebih ringkas.


Berdasarkan survey dan analisis terhadap semua literatur tentang jam Ridhwan, terungkap bahwa seorang insinyur dari Mesir bernama Abdullah Baylak al-Qabagaqi merupakan orang yang paling mengerti jam air itu. Sebab, dia bersentuhan langsung dengan perangkat bersangkutan. Selain itu, catatannya dimasukkan dalam salinan naskah asli Ridhwan.


Pada awal abad kedua puluh, seorang ahli fisika dan sejarah Jerman, yaitu Eilard Wiedemann dan Fritz Hauser, mempelajari perangkat jam air itu.


Mereka bahkan mencapai tingkat pemahaman yang tinggi atas cara kerja jam tersebut. Lalu, mereka menerbitkan hasil penelitiannya pada 1915 dalam beberapa artikel. Meski karya mereka dianggap sebagai karya perintis, mereka melahirkan konsepsi tidak lengkap soal jam air itu. Sejumlah kesalahan pun muncul dari penjelasan mereka.


Seorang penulis, Syekh Muhammad Ahmad Dahman, pernah mengedit naskah Ridhwan dan menggunakan teks tersebut untuk memahami jam air. Ia menganggap teks asli Ridhwan cukup jelas untuk membantu dalam merekonstruksi jam air tersebut.
Namun, dia tidak menambahkan komentar untuk menjelaskan operasi dan konstruksi dari jam air tersebut.

Paling tidak, ada tiga manuskrip yang mengungkap keberadaan jam itu. Pertama, manuskrip asli yang didiktekan oleh Ridhwan sendiri dan sekarang ada diperpustakaan Forschungsbibliothek di Gotha, Jerman. Kedua, adalah salinan yang ditulis Baylak Abdullah al-Qabagaqi. Naskah ini ada 56 tahun setelah keberadaan manuskrip asli.


Manuskrip itu disimpan di Istanbul, Turki. Sedangkan, manuskrip ketiga merupakan salinan naskah al-Qabagaqi. Kini, naskah itu ada di Kairo, Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafadhal,,,uktub yang shalih